Thursday, March 19, 2015

Membuat Keputusan Berdasarkan Pendapat Kedua (MUKTAMAR NU KE-1 NO.3)

Soal : 
Bolehkah hakim memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) dalam masalah Syiqaq (perselisihan antara suami istri)?
Jawab : 
Boleh. Hakim diperbolehkan memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) apabila untuk kemaslahatan suami-istri dan tidak terdapat jalan lain kecuali dengan mempergunakan al-qauluts tsani tersebut.

Referensi :

1. Al-Mahalli ‘ala al-Minhaj Juz 3 hal. 308 :

وَ يُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إِنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَ عَلَى الثَّانِي لاَ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ. وَ إِذَا رَأٰى حُكْمُ الزَّوْجِ الطَّلاَقَ اِسْتَقَلَّ بِهِ وَ لاَ يَزِيْدُ عَلَى طَلْقَةٍ
Artinya:
Kedua orang pengambil keputusan berhak memisahkan keduanya (suami-istri) jika mereka memandang perpisahan tersebut sebagai hal yang benar. Menurut (pendapat) yang kedua, dengan mengutus kedua orang pengambil keputusan tersebut berarti kerelaan suami istri tidak disyaratkan. Jika pengambil keputusan si suami memutuskan perceraian, maka ia punya otoritas untuk memutuskan sendiri (tanpa persetujuan suami), tetapi tidak boleh lebih dari satu thalaq.

2. Al-Fawaid al-Makkiyah hal. 53 :

نَعَمْ لَهُ ذَلِكَ أَيْ الْقَضَاءُ وَ الْإِفْتَاءُُ بِالمَرْجُوْحِ لِحَاجَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ

Artinya :
Ya, memang berhak untuk memberikan keputusan dan fatwa dengan pendapat hukum yang tidak diunggulkan, karena pertimbangan sesuatu keperluan atau kemaslahatan umum.

3. Al-Tanbih  juz 2 hal. 639 :

وَ هُمَا حُكْمَانِ مِنْ جِهَةِ الْحَاكِمِ فِى الْقَوْلِ الْآخَرِفَيَجْعَلُ الْحَاكِمُ ،إِلَيْهِمَا الْإِصْلاَحَ أَوِ التَّفْرِيْقَ مِنْ غَيْرِ رِضَا الزَّوْجَيْنِ أَوْ اَحَدِهِمَا وَ هُوَ الْأَصَحُّ
Artinya :
Keduanya merupakan ketetapan hukum dari pihak hakim dari pendapat yang lain. Maka hakim boleh menetapkan “damai” atau “pisah” (thalaq) tanpa kerelaan suami-istri atau salah satunya. Pendapat ini adalah yang paling benar.

Pendapat Tokoh (Imam) yang Boleh Difatwakan (MUKTAMAR NU KE-1 NO.2)

Soal :

Di antara pendapat-pendapat yang berbeda di kalangan ulama Syafi’iyyah, pendapat siapa yang dapat/boleh dipergunakan untuk berfatwa?

Jawab :

Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
  1. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
  2. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.
  3. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
  4. Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
  5. Pendapat ulama yang terpandai.
  6. Pendapat ulama yang paling wira’i.
Referensi : I'anah al-Tholibin juz 1 hal. 27

إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهِبِ لِلْحُكْمِ وَ الْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ الأَكْثَرُ فَالأَعْلَمُ فَالأَوْرَعُ ...... (فَإِنْ قُلْتَ) مَا الَّذِي يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَ مَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَ مِنَ الشُّرُوْحِ وَ الْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَالرَّمْلِيَيْنِ وَشَيْخِ الإِسْلاَمِ وَالْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ وَالْمَحَلِّي وَالزِّيَادِي وَالشِّبْرَامَلِيْسِي وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَالْقَلْيُوْبِي وَغَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَ هَلْ يَجُوْزُ الأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنَ الْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟ إِلَى أَنْ قَالَ، (اَلْجَوَابُ) كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُلِ اَلْمَكِّيِّ وَ الْعُمْدَةُ عَلَيْهِ: كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَ مُعَوَّلٌ عَلَيْهَا, لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ, وَاْلأَخْذُ فِي الْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَ أَمَّا الإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عِنْدَ الإِخْتِلاَفِ: التُّحْفَةُ وَالنِّهَايَةُ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيَّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا اِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِحِ . ثُمَّ بَعْدَ ذٰلِكَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ فِى شَرْحِهِ الصَّغِيْرِ عَلَى الْبَهْجَةِ، ثُمَّ شَرْحِ الْمَنْهَجِ لَهُ، لٰكِنْ فِيْهِ مَسَائِلُ ضَعِيْفَةٌ

Sesungguhnya [pendapat] yang dijadikan pedoman yang kuat dalam madzhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh Imam Nawawi, (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wira’i) ...... Apabila Anda bertanya: Kitab-kitab apa sajakah, berupa Syarah dan hawasyi (catatan pinggir), yang dapat dijadikan pedoman untuk berfatwa? Dan mana yang didahulukan?  Seperti kitab karangan Ibnu Hajar al-Haitami, dua al-Ramli (Syihabuddin ar-Ramli dan Syamsuddin ar-Ramli), Syaikh al Islam (Zakaria al-Anshari), al-Khatib, Ibnu Qasim, al-Mahalli, az-Ziyadi, asy-Syibramalisi, Ibnu Ziyad al-Yamani, al-Qalyubi dan yang lainnya? Apakah kitab-kitab mereka ini dapat dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak mengambil pendapat dari masing-masing ulama yang telah disebutkan tersebut, ketika mereka berbeda pendapat? Sampai pada kata-kata, Jawabannya adalah sebagaimana jawaban yang diperoleh dari al-‘Allamah Sa’id bin Muhammad Sunbuli al-Makky dan jawaban yang dijadikan sandaran, bahwa seluruh kitab-kitab tersebut dapat dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi dengan memperhatikan mana yang  harus didahulukan. Sedangkan manakala untuk pengamalan diri sendiri maka boleh menggunakan keseluruhannya. Adapun dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan pendapat, maka mendahulukan kitab Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj daripada yang lain. Jika keduanya berbeda pendapat, maka seorang mufti dapat mengambil salah satunya apabila ia bukan ahli tarjih (mampu mengunggulkan salah satunya). Jika ia ahli tarjih maka ia harus berfatwa dengan pendapat yang rajih (yang dipandang lebih unggul). Kemudian pendapat Syaikhul Islam dalam kitabnya Syarhush Shoghir 'alal Bahjah dan kitabnya Syarah Manhajuth Thullab, akan tetapi di dalamnya [Syarah Manhajuth Thullab] terdapat [hukum] masalah-masalah yang dha’if (lemah).

Wednesday, March 18, 2015

HUKUM BERMADZHAB (MUKTAMAR NU KE-1 NO.1)

Pertanyaan : 
Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat Madzhab?
Jawab : 
Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat Madzhab yang tersohor dan aliran Madzhabnya telah dikodifikasi (mudawwam). Empat Madzhab itu ialah :
·      Madzhab Hanafi. Yaitu Madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu'man bin Tsabit, lahir di Madinah pada tahun 80 H dan meninggal pada tahun 150 H.
·      Madzhab Maliki. Yaitu Madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, lahir di Kufah pada tahun 90 H dan meninggal pada tahun 179 H.
·      Madzhab Syafi'i. Yaitu Madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi'i, lahir di Gazza pada tahun 150 H dan meninggal pada tahun 204 H.
·      Madzhab Hambali. Yaitu Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, lahir di Marwaz pada tahun 164 H dan meninggal pada tahun 241 H.
 REFERENSI :
[1]. al-Mizan al-Kubro
كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ إِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ الْآنَ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ الْأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الوُقُوْعِ فِى الضَّلَالِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ
Artinya :
Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti Madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata : "Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan". Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang zaman sekarang ini.
______________‘Abdul Wahhab asy-Sya’rani, al-Mizanul Kubra, (Mesir: Maktabah Musthofa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, halaman 34.
______________
[2]. Al-Fatawa al-Kubro

وَبِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. وَقَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ
Artinya :
Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu mazhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena mazhab-mazhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengkhususan hukum yang bersifat umum, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain. 
____________________
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Kubra al-Fiqhiyyah, (Beirut: Darul Fikr, 1403/1983), Jilid IV, hal. 307.
____________________
[3]. Sullam al-Wushul
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ“. وَلَمَّا انْدَرَسَتْ الْمَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ اْلأَرْبَعَةَ الَّتِى اِنْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اِتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ اْلأَعْظَمِ
Artinya :
Nabi Saw. bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari mazhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.
___________________Muhammad Bahith al-Muti’i, Sullamul Wushul Syarh Nihayatus Sul, (Mesir: Bahrul Ulum, t. th.), Jilid III, h. 921 dan Jilid IV, h. 580 dan 581, ibarah ini pada Jilid III Hadits itu sebagai dasar Ijma’ dan ibarah pada Jilid IV dimaksud merupakan kesimpulan tentang al-istifta’. Tentang Hadits ini selengkapnya adalah:
إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْإِخْتِلَافَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
"Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kamu melihat suatu perbedaan maka wajib bagimu mengikuti as-sawadul a’zham" (HR. Ibnu Majah dari Anas ibn Malik). Ibarah ini sesungguhnya terdapat pada kitab ‘Iqdul Jid fi Ahkamil Ijtihad karya Syekh Ahmad Waliyullah al-Dahlawi, Cet. Cairo: al-Matba’ah as-Salafiyah, 1965 M, h. 13. Untuk pengertian yang sama dapat dirujuk pula kepada pendapat Fakhruddin Muhammad ar-Razi dalam kitabnya al-Mahshul fi Ilmi Ushulil Fiqh, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1408 H/1988 M), Cet. ke-1, Juz II, hal. 535-540.
___________________
اِنْدَرَسَ = terhapus, hilang bekasnya
اَلْاِنْقِرَاضُ = sirno, kemusnahan, kepadaman
=========
Sumber :
Buku MUKTAMAR NU hlm: 2

Friday, March 13, 2015

RAJIN SHOLAT JAMA'AH NAMUN RAJIN MAKSIAT


Alloh SWT berfirman :
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ (العنكبوت : ٤٥(
Artinya: "Sesungguhnya shalat itu mencegah (perbuatan-perbuatn) keji dan munkar."(Al-'ankabut : 45)
Berkaitan dengan ayat ini, Ats-Tsa'labi meriwayatkan sebuah Hadis dari sahabat Anas R.A sebagai berikut :
أَنَّ رَجُلًا كَانَ يُصَلِّى الْخَمْسَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لَا يَدَعُ شَيْئًا مِنَ الْفَوَاحِشِ اِلَّا اِرْتَكَبَهُ فَأَخْبَرُوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذٰلِكَ فَقَالَ اَنَّ صَلَاتَهُ تَنْهَاهُ يَوْمًا مَا فَلَمْ يَلْبَثْ اَنْ تَابَ وَحَسُنَ حَالُهُ فَقَالَ اَلَمْ اَقُلْ لَكُمْ اَنَّ صَلَاتَهُ تَنْهَاهُ يَوْمًا مَا. إهـ .﴿المجالس السنية شرح الأربعين النووية صـ : ٦٧﴾
Artinya : Bahwa ada seorang laki-laki selalu ikut sholat berjama'ah bersama Nabi SAW, tetapi semua perbuatan maksiat masih tetap dilakukannya. Ketika hal itu diberitahukan orang kepada Nabi SAW, Beliau bersabda : "Suatu hari kelak, sholatnya itu akan mencegahnya dari perbuatan-perbuatan maksiat tersebut". Ternyata tak lama setelah itu, laki-laki tersebut bertaubat dan menjadi baik kelakuannya. Maka Nabi SAW bersabda : "Bukankah sudah ku katakan bahwa sholatnya itu suatu hari kelak akan mencegahnya".
 Sumber :
al-Majalisus Saniyyah Syarah al-Arbain an-Nawawiyyah (penerbit : al-Haromain Surabaya) halaman 67.


Thursday, March 12, 2015

WANITA HAID MENGAJAR AL-QUR'AN

Pertanyaan :
Wanita yang sedang haid dilarang baca al-qur'an kecuali dengan qosdudz dzikiri (niat dzikir). Bagaimana hukumnya kalau dengan qosdut ta'lim (niat mengajar), semisal ustadzah-ustadzah TPQ ?
 Jawab :
Hukumnya boleh.
 Referensi : Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 26
مَسْئَلَةٌ ي : يَكْرَهُ حَمْلُ التَّفْسِيْرِ وَمَسُّهُ اِنْ زَادَ عَلٰى الْقُرْأٰنِ وَ اِلَّا حَرُمَ، وَتَحْرُمُ قِرَاءَةُ الْقُرْأٰنِ عَلٰى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِهَا لَا مَعَ الْاَطْلَاقِ عَلٰى الرَّاجِحِ، وَلَا يَقْصُدُ غَيْرَ الْقِرَاءَةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وَتَعْلِيْمٍ وَتَبَرُّكٍ وَدُعَاءٍ
Artinya :
"Permasalahan [fatwa dari] ي (Syeh Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya Al-Hadlromiy [berdomisili di Hadlro Maut, Yaman]) : Makruh membawa dan menyentuh kitab tafsir jika tafsir (penjelasannya) lebih banyak dari pada Al-Qur'annya, dan haram jika tidak [Al-Qur'annya lebih banyak dari pada tafsirnya]. Dan haram membaca al-qur'an bagi semisal orang junub bila bertujuan untuk membacanya meskipun al-qurannya bersama tulisan lain, namun tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya menurut pendapat yang kuat, dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya seperti saat membenarkan bacaan yang salah, mengajar, mencari keberkahan dan berdoa".
 Kesimpulan :
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan; diperbolehkan bagi orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub atau wanita yang haid untuk membaca al-qur'an apabila tujuan/niat pembacaannya untuk mengajar atau membetulkan bacaan al-qur'an yang salah. Wallohu a'lam.


PENGERTIAN TENTANG KEMUNGKARAN

Dalam kitab “AT-TA`RIFAT” (Surabaya : Al-Haromain) Halaman 232 di sebutkan:

وَالْمُنْكَرُ مَا لَيْسَ فِيْهِ رِضَا اللهِ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ، وَالْمَعْرُوْفُ ضِدُّهُ
Artinya :
Kemungkaran adalah Ucapan atau perbuatan yang tidak di ridloi oleh Allah Swt. Dan kebaikan adalah lawan kata dari kemungkaran.

Kemungkaran dibagi menjadi dua macam. Sebagaimana Imam Al-Ghozali dalam kitab “IHYA`U ULUMIDDIN” Juz 2 Halaman 330 telah mengatakan:

إِعْلَمْ اَنَّ الْمُـنْكَرَاتِ تَنْقَسِمُ اِلٰى مَكْـرُوْهَةٍ وَاِلٰى مَحْـظُوْرَةٍ
Artinya :
Ketahuilah bahwa kemungkaran itu ada 2 macam:
1. Kemungkaran yang di benci oleh Allah (Makruhah).
2. Kemungkaran yang di haramkan oleh Allah (Muharromah).

Perbedaan Antara Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah

  • Pertanyaan :
Apa perbedaan antara fardlu ain dengan fardlu kifayah?
  • Jawab :
Fardlu ain adalah kewajiban yang dibebankan pada setiap individu atau masing-masing orang, seperti shalat lima waktu. Sementara fardlu kifayah adalah kewajiban yang dibebankan pada sebagian, yang apabila dilakukan oleh sebagian tersebut gugur tanggung jawab (dosa) bagi yang lain, apabila tidak ada yang melaksanakan maka dosa semua, sebagaimana jihad dan shalat jenazah.