Saturday, August 5, 2017

DEBAT TERBUKA: DAHRI VS IMAM HANAFI JUNIOR

Dalam pembahasan sebagian ulama' diterangkan bahwa pada masa Hammad, yakni guru Imam Abu Hanifah, terdapat seorang dahri (orang yang anti Tuhan atau atheis) yang selalu menantang para ulama' untuk berdebat. Masalah yang selalu dipertanyakan adalah: "Kalau Alloh itu memang ada, kenapa Dia tidak bisa dilihat?" Dengan pertanyaan yang seperti ini banyak sekali para ulama' yang telah dikalahkannya. Sehingga suatu saat sampailah tantangan dahri itu kepada Hammad. Dan oleh penguasa (khalifah) setempat Beliaupun diperintah untuk melayani tantangan itu.
Hammad yang sudah mengetahui materi-materi pertanyaan yang selalu diajukan, menjadi tidak dapat tidur karena terus berfikir mencari jawaban yang bisa masuk di akal sang pendebat. Beliau menyadari bahwa sang pendepat itu tidak menerima dalil naqli, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits yang telah nyata-nyata menyebutkan keberadaan Alloh. Karenanya dalil yang harus diketengahkan dalam debat nanti adalah dalil aqli (rasional) dan Beliaupun terus memikirkannya sepanjang malam.
Di keesokan harinya datanglah Abu Hanifah yang kala itu masih tergolong remaja. Dia memang berguru kepada Hammad. Melihat raut wajah gurunya yang tidak cerah dan terkesan menyimpan masalah itu, diapun bertanya: "Wahai guru, apa yang membuatmu seperti ini, engkau kelihatan bingung dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu?".
Hammad berkata: "Aku diperintahkan oleh khalifah untuk berdebat dengan seorang dahri. Sudah banyak ulama' yang terpojok dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dan kini akupun tidak dapat menyembunyikan rasa cemasku, karena dia selalu menuntut dalil-dalil yang bisa diterima akal. Terlebih semalam aku bermimpi, mimpi buruk sekali."
"Apa mimpimu itu wahai guru?" tanya Abu hanifah. Hammad berkata: "Aku bermimpi melihat satu dusun yang luas dan indah. Di sana terdapat sebuah pohon yang sarat dengan buahnya. Kemudian dari salah satu penjuru dusun itu keluar seekor babi yang langsung memakan buah pohon itu hingga habis berikut daun, cabang dan ranting-rantingnya sehingga yang tinggal cuma batangnya saja. Setelah itu, dari batang pohon tersebut keluar seekor harimau dan langsung memakan babi itu hingga mati."
Mendengar mimpi tersebut Abu Hanifah berkata: "Alloh telah mengajariku ta'bir mimpi. Kalau engkau izinkan, maka aku akan ta'biri mimpi itu."
Hammad pun mengizinkan. Maka mulailah Abu Hanifah menta'biri mimpi itu. "Dusun yang luas dan indah adalah agama islam. Pohon kayu yang berbuah adalah para ulama'. Batangnya yang tersisa adalah engkau. Babi yang memakan buah, daun serta cabang dan rantingnya adalah dahri. Sementara harimau yang membunuhnya itu adalah aku. Jelas, ini adalah mimpi yang baik maka pergilah engkau ke medan perdebatan, insya Alloh aku akan bersamamu."
Mendengar hal itu gembiralah Hammad dan ia pun segera berangkat menuju ke sebuah masjid Jami' yang menjadi arena perdebatan itu dan Beliau diiringi oleh muridnya Abu Hanifah. Di sana orang-orang sudah pada menunggu. Mereka ingin sekali menyaksikan jalannya perdebatan. Khalifah pun ikut hadir.
Tak lama kemudian tampillah dahri dan langsung naik ke atas mimbar sementara Hammad duduk di atas kursi yang berhadapan dengan mimbar itu. Di samping Beliau berdiri Abu Hanifah.
Dahri memulai perdebatan dengan pertanyaan pembuka: "Siapa yang akan menjawab pertanyaanku?" Abu Hanifah menyahut: "Sebut saja pertanyaanmu itu! insya Alloh orang yang mengetahui akan menjawabnya."
Mendengar sahutan Abu Hanifah itu sang dahri pun berkata: "Siapakah kamu wahai anak kecil? Sudah banyak para ulama' yang punya ketinggian dan kebesaran serta mengenakan baju dan sorban besar kalah dalam perdebatan denganku, apalagi kamu yang masih kecil?"
Abu Hanifah berkata: "Alloh tidak memberikan ketinggian dan kebesaran pada mereka yang mengenakan baju dan sorban yang besar. Akan tetapi seperti firman Alloh: وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (Alloh akan mengangkat derajat orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan). Jadi ketinggian dan kebesaran terletak pada berilmu atau tidaknya seseorang, bukan pada baju dan sorban besarnya."
"Jadi engkau yang akan menjawab pertanyaanku?" Kata dahri.
"Benar! Dengan taufik Alloh, akulah yang akan menjawab pertanyaanmu." sahut Abu Hanifah.
Dahri pun mulai bertanya: "Apakah Alloh itu ada?" "Ya, Alloh itu ada," jawab Abu Hanifah. "Apakah dia bisa dilihat?" tanya dahri. "Tidak, Alloh tidak bisa dilihat," jawab Abu Hanifah. "Kenapa...? Bukankah sesuatu yang diyakini adanya itu harus bisa dilihat?" tanya dahri. "Jawabannya ada pada dirimu sendiri," timpal Abu Hanifah. "Apa maksudmu?" tanya dahri.
Maka mulailah Abu Hanifah balik bertanya: "Apakah kamu yakin bahwa kamu punya nyawa?" "Jelas saya yakin, kalau tidak ada nyawa maka tidak mungkin saya bisa hidup," jawab dahri. "Kalau begitu pernahkah engkau melihat nyawa itu?" tanya Abu Hanifah. "Tidak pernah!" jawab dahri. "Kenapa tidak pernah?" tanya Abu Hanifah. Dahri-pun bingung......
Abu Hanifah berkata: "Kamu meyakini adanya nyawa karena tanpa nyawa maka kamu akan mati namun kamu sendiri tidak bisa melihatnya. Begitulah pula dengan Alloh. Dia wajib kita yakini adanya, karena tanpa Dia maka alam semesta berikut isinya ini, termasuk kita, akan menjadi tidak ada. Jadi, walaupun Alloh itu tidak bisa kita lihat, namun kita wajib meyakini bahwa Dia ada karena memang keberadaan-Nya sangat dapat kita rasakan sebagaimana juga kita dapat mersakan keberadaan nyawa. Tidaklah mesti bahwa apa yang tidak bisa kita lihat akan otomatis menjadi tidak ada.
Dahri itupun menjadi tidak berkutik. Namun selanjutnya dia mengajukan pertanyaan lain. "Apakah ada yang terdahulu dari Alloh dan apakah ada yang terkemudian dari-Nya?" Abu Hanifah menjawab: "Tidak ada bagi Alloh itu yang terdahulu dan tidak ada pula yang terkemudian." Dahri bertanya: "Bagaimana dapat dimengerti bahwa ada sesuatu namun tidak ada yang terdahulu dan tidak ada pula yang terkemudian daripadanya?" Abu hanifah berkata: "Jawabannya ada pada dirimu sendiri." "Apa maksudmu?" tanya dahri. "Lihat saja jari-jari taganmu! Apakah ada yang terdahulu dari ibu jarimu dan apakah ada yang terkemudian dari jari kelingkingmu?" jawab Abu Hanifah.
Karena si dahri bingung dan tercengana maka Abu hanifah melanjutkan: "Kamu saksikan sendiri bahwa tidak ada yang terdahulu dari ibu jarimu dan tidak ada yang terkemudian dari jari kelingkingmu. Begitulah pula Alloh, tidak ada sesuatu yang terdahulu dari-Nya dan tidak ada pula yang terkemudian dari-Nya."
Mendengar itu, dahri pun dengan agak kesal berkata: "Baiklah, tinggal satu pertanyaan lagi. Apa yang diperbuat oleh Alloh sekarang?" Abu hanifah berakata: "Karena yang bertanya itu adalah engakau dan yang menjawab adalah aku, maka sepantasnyalah kamu turun dari mimbar dan akau yang akan naik ke atasnya. Jangan terbalik seperti ini. Masak yang bertanya di atas sementara yang menjawab ada di bawah."
Mendengar itu turunlah dahri dari mimbar dan selanjutnya Abu Hanifah naik ke atasnya dan langsung menjawab pertanyaan yang terakhir: "Ketahuilah bahwa perbuatan Alloh yang sekarang adalah menggugurkan yang batil seperti kamu dan mengangkat yang benar seperti saya."
Akhirnya dahri itupu kalah dalam perdebatan tersebut, karena dalil-dalil aqli yang menjadi senjata pamungkasnya dapat dipatahkan oleh dalil-dalil aqli dari Abu Hanifah. Andai Abu Hanifah tidak mau menggunakan dalil aqli maka tidaklah bisa dia menghentikan si dahri dari penentangannya terhadap keberadaan Alloh.
Wallohu A'lam.
✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧
SUMBER:
Kitab FATHUL MAJID halaman 13-14
karya Syeh Nawawi Banten
terbitan Darul Kutubil Islamiyyah Jakarta
✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧




TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 30


وَقَالَ نِسْوَةٌ فِى الْمَدِيْنَةِ امْرَاَتُ الْعَزِيْزِ تُرَاوِدُ فَتٰهَا عَنْ نَفْسِهٖ. قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا. اِنَّا لَنَرٰهَا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ﴿٣٠

ARTI PER KATA :

وَقَالَ : dan berkata
نِسْوَةٌ : para wanita
فِى الْمَدِيْنَةِ : di kota (Mesir)
امْرَاَتُ : istri (Zulaikha)
الْعَزِيْزِ : al-Aziz/yang mulia (Qithfir)
تُرَاوِدُ : dia merayu/menggoda
فَتٰهَا : pelayan mudanya
عَنْ : terhadap
نَفْسِهٖ : dirinya (pelayan)
قَدْ : sungguh
شَغَفَهَا : sangat mendalam pada (Zulaikha)
حُبًّا : cinta (kepada pelayannya)
اِنَّا : sesungguhnya Kami
لَنَرٰهَا : benar-benar kami melihat dia (zulaikha)
فِيْ : di dalam
ضَلٰلٍ : kesesatan
مُبِيْنٍ : yang nyata

TERJEMAH:
Dan perempuan-perempuan di kota berkata: "Istri al-Aziz menggoda pelayannya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesunguhnya cintanya kepada pelayannya itu sangat mendalam. Sesungguhnya kami benar-benar memandangnya dalam kesesatan yang nyata." (QS. Yusuf : 30)

TAFSIR:
﴿وَقَالَ نِسْوَةٌ فِى الْمَدِيْنَةِ﴾ أَيْ أَشْعَثَ الْأَمْرَ فِيْ مِصْرَ
Dan perempuan-perempuan di kota [Mesir] itu berkata) yakni menyebarkan perkara [Nabi Yusuf dan Zulaikha] itu ke seluruh Mesir.

﴿امْرَاَتُ الْعَزِيْزِ﴾ أَيِ الْمَلِكِ قِطْفِيْرَ
("Istri al-Aziz) yakni [istrinya] raja Qithfir

﴿تُرَاوِدُ فَتٰهَا عَنْ نَفْسِهٖ﴾ أَيْ وَقَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ النِّسَاءِ، وَكُنَّ خَمْسًا وَهُنَّ اِمْرَأَةُ صَاحِبِ دَوَابِّ الْمَلِكِ، وَامْرَأَةُ صَاحِبِ سِجْنِهِ، وَامْرَأَةُ خَبَّازِهِ، وَامْرَأَةُ صَاحِبِ مَطْبَخِهِ وَامْرَأَةُ سَاقِيْهِ. فَتَحَدَّثْنَ فِيْمَا بَيْنَهُنَّ وَقُلْنَ: اِمْرَأَةُ الْعَزِيْزِ تُرَاوِدُ عَبْدَهَا الْكَنْعَانِيَّ عَنْ نَفْسِهِ وَهْوَ يَمْتَنِعُ مِنْهَا
(menggoda pelayannya untuk menundukkan dirinya [kepadanya]) yakni sekumpulan perempuan yang berjumlah lima orang; mereka adalah istri kepala pengurus kandang kuda raja, istri kepala penjara, istri kepala juru masak, istri kepala pembuat roti dan istri kepala juru pemberi minum. Kemudian mereka bergunjing di antara sesamanya dengan mengatakan: "Istri al-Aziz merayu budak laki-lakinya yang berasal dari Kan'an untuk menundukkan diri pelayannya itu [kepadanya], akan tetapi budaknya itu menolaknya."

﴿قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا﴾ أَيْ قَدْ شَقَّ فَتَاهَا شَغَافَ قَلْبِهَا مِنْ جِهَةِ الْحُبِّ. وَقَرَأَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ "شَعَفَهَا" ؛بِالْعَيْنْ الْمُهْمَلَةِ أَيْ قَدْ أَحْرَقَ حُبُّهَا فَتَاهَا حِجَابَ قَلْبِهَا. وَالْمَعْنٰى أَنَّ اِشْتِغَالَهَا بِحُبِّهِ صَارَ حِجَابًا بَيْنَهَا وَبَيْنَ كُلِّ مَا سِوٰى هٰذِهِ الْمَحَبَّةِ فَلَا يَخْطُرُ بِبَالِهَا إِلَّا هُوَ
(sesunguhnya cintanya kepada pelayannya itu sangat mendalam.) yakni sesungguhnya pelayan muadanya itu telah merobek selaput jantungnya dengan sebab cintanya [Zulaikha] kepada pelayannya. Segolongan sahabat dan tabi'in membaca lafadz شَغَفَهَا dengan memakai 'ain tanpa titik menjadi شَعَفَهَا [telah melandanya/memenuhi hatinya], yakni sesungguhnya cintanya [Zulaikha] kepada pelayannya itu telah membakar dinding hatinya [membuat hatinya mabuk kepayang]. Artinya sesungguhnya kesibukan Zulaikha dengan mencintai pelayannya itu menjadi hijab [dinding penghalang] antara dirinya dan sagala hal selain cintanya ini, sehingga tidak ada yang terlintas di hatinya kecuali dia [pelayannya].

﴿اِنَّا لَنَرٰهَا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ﴾ أَيْ إِنَّا نَعْلَمُهَا فِيْ ضَلَالٍ وَاضِحٍ عَنْ طَرِيْقِ الرُّشْدِ بِسَبَبِ حُبِّهَا إِيَّاهُ.
(Sesungguhnya kami benar-benar memandangnya dalam kesesatan yang nyata") yakni sesungguhnya kami mengetahuinya berada dalam kesesatan yang nyata jauh dari jalan yang benar disebabkan oleh kecintaannya kepada pelayannya.

===========
SUMBER:
Kitab tafir al-Munir/Muroh Labid karya Syeh Nawawi Banten
===========