Dalam pembahasan sebagian ulama' diterangkan bahwa pada masa
Hammad, yakni guru Imam Abu Hanifah, terdapat seorang dahri (orang yang anti
Tuhan atau atheis) yang selalu menantang para ulama' untuk berdebat. Masalah
yang selalu dipertanyakan adalah: "Kalau Alloh itu memang ada, kenapa Dia
tidak bisa dilihat?" Dengan pertanyaan yang seperti ini banyak sekali para
ulama' yang telah dikalahkannya. Sehingga suatu saat sampailah tantangan dahri
itu kepada Hammad. Dan oleh penguasa (khalifah) setempat Beliaupun diperintah
untuk melayani tantangan itu.
Hammad yang sudah mengetahui materi-materi pertanyaan yang selalu
diajukan, menjadi tidak dapat tidur karena terus berfikir mencari jawaban yang
bisa masuk di akal sang pendebat. Beliau menyadari bahwa sang pendepat itu
tidak menerima dalil naqli, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits yang telah
nyata-nyata menyebutkan keberadaan Alloh. Karenanya dalil yang harus
diketengahkan dalam debat nanti adalah dalil aqli (rasional) dan Beliaupun
terus memikirkannya sepanjang malam.
Di keesokan harinya datanglah Abu Hanifah yang kala itu masih
tergolong remaja. Dia memang berguru kepada Hammad. Melihat raut wajah gurunya
yang tidak cerah dan terkesan menyimpan masalah itu, diapun bertanya:
"Wahai guru, apa yang membuatmu seperti ini, engkau kelihatan bingung dan
sepertinya sedang memikirkan sesuatu?".
Hammad berkata: "Aku diperintahkan oleh khalifah untuk
berdebat dengan seorang dahri. Sudah banyak ulama' yang terpojok dengan
pertanyaan-pertanyaannya. Dan kini akupun tidak dapat menyembunyikan rasa
cemasku, karena dia selalu menuntut dalil-dalil yang bisa diterima akal.
Terlebih semalam aku bermimpi, mimpi buruk sekali."
"Apa mimpimu itu wahai guru?" tanya Abu hanifah. Hammad
berkata: "Aku bermimpi melihat satu dusun yang luas dan indah. Di sana
terdapat sebuah pohon yang sarat dengan buahnya. Kemudian dari salah satu
penjuru dusun itu keluar seekor babi yang langsung memakan buah pohon itu
hingga habis berikut daun, cabang dan ranting-rantingnya sehingga yang tinggal
cuma batangnya saja. Setelah itu, dari batang pohon tersebut keluar seekor
harimau dan langsung memakan babi itu hingga mati."
Mendengar mimpi tersebut Abu Hanifah berkata: "Alloh telah
mengajariku ta'bir mimpi. Kalau engkau izinkan, maka aku akan ta'biri mimpi
itu."
Hammad pun mengizinkan. Maka mulailah Abu Hanifah menta'biri mimpi
itu. "Dusun yang luas dan indah adalah agama islam. Pohon kayu yang
berbuah adalah para ulama'. Batangnya yang tersisa adalah engkau. Babi yang
memakan buah, daun serta cabang dan rantingnya adalah dahri. Sementara harimau
yang membunuhnya itu adalah aku. Jelas, ini adalah mimpi yang baik maka
pergilah engkau ke medan perdebatan, insya Alloh aku akan bersamamu."
Mendengar hal itu gembiralah Hammad dan ia pun segera berangkat
menuju ke sebuah masjid Jami' yang menjadi arena perdebatan itu dan Beliau
diiringi oleh muridnya Abu Hanifah. Di sana orang-orang sudah pada menunggu.
Mereka ingin sekali menyaksikan jalannya perdebatan. Khalifah pun ikut hadir.
Tak lama kemudian tampillah dahri dan langsung naik ke atas mimbar
sementara Hammad duduk di atas kursi yang berhadapan dengan mimbar itu. Di
samping Beliau berdiri Abu Hanifah.
Dahri memulai perdebatan dengan pertanyaan pembuka: "Siapa
yang akan menjawab pertanyaanku?" Abu Hanifah menyahut: "Sebut saja
pertanyaanmu itu! insya Alloh orang yang mengetahui akan menjawabnya."
Mendengar sahutan Abu Hanifah itu sang dahri pun berkata:
"Siapakah kamu wahai anak kecil? Sudah banyak para ulama' yang punya
ketinggian dan kebesaran serta mengenakan baju dan sorban besar kalah dalam
perdebatan denganku, apalagi kamu yang masih kecil?"
Abu Hanifah berkata: "Alloh tidak memberikan ketinggian dan
kebesaran pada mereka yang mengenakan baju dan sorban yang besar. Akan tetapi
seperti firman Alloh: وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (Alloh
akan mengangkat derajat orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan). Jadi
ketinggian dan kebesaran terletak pada berilmu atau tidaknya seseorang, bukan
pada baju dan sorban besarnya."
"Jadi engkau yang akan menjawab pertanyaanku?" Kata
dahri.
"Benar! Dengan taufik Alloh, akulah yang akan menjawab
pertanyaanmu." sahut Abu Hanifah.
Dahri pun mulai bertanya: "Apakah Alloh itu ada?"
"Ya, Alloh itu ada," jawab Abu Hanifah. "Apakah dia bisa
dilihat?" tanya dahri. "Tidak, Alloh tidak bisa dilihat," jawab
Abu Hanifah. "Kenapa...? Bukankah sesuatu yang diyakini adanya itu harus
bisa dilihat?" tanya dahri. "Jawabannya ada pada dirimu
sendiri," timpal Abu Hanifah. "Apa maksudmu?" tanya dahri.
Maka mulailah Abu Hanifah balik bertanya: "Apakah kamu yakin
bahwa kamu punya nyawa?" "Jelas saya yakin, kalau tidak ada nyawa
maka tidak mungkin saya bisa hidup," jawab dahri. "Kalau begitu
pernahkah engkau melihat nyawa itu?" tanya Abu Hanifah. "Tidak
pernah!" jawab dahri. "Kenapa tidak pernah?" tanya Abu Hanifah.
Dahri-pun bingung......
Abu Hanifah berkata: "Kamu meyakini adanya nyawa karena tanpa
nyawa maka kamu akan mati namun kamu sendiri tidak bisa melihatnya. Begitulah
pula dengan Alloh. Dia wajib kita yakini adanya, karena tanpa Dia maka alam
semesta berikut isinya ini, termasuk kita, akan menjadi tidak ada. Jadi,
walaupun Alloh itu tidak bisa kita lihat, namun kita wajib meyakini bahwa Dia
ada karena memang keberadaan-Nya sangat dapat kita rasakan sebagaimana juga
kita dapat mersakan keberadaan nyawa. Tidaklah mesti bahwa apa yang tidak bisa
kita lihat akan otomatis menjadi tidak ada.
Dahri itupun menjadi tidak berkutik. Namun selanjutnya dia
mengajukan pertanyaan lain. "Apakah ada yang terdahulu dari Alloh dan
apakah ada yang terkemudian dari-Nya?" Abu Hanifah menjawab: "Tidak
ada bagi Alloh itu yang terdahulu dan tidak ada pula yang terkemudian."
Dahri bertanya: "Bagaimana dapat dimengerti bahwa ada sesuatu namun tidak
ada yang terdahulu dan tidak ada pula yang terkemudian daripadanya?" Abu
hanifah berkata: "Jawabannya ada pada dirimu sendiri." "Apa
maksudmu?" tanya dahri. "Lihat saja jari-jari taganmu! Apakah ada
yang terdahulu dari ibu jarimu dan apakah ada yang terkemudian dari jari
kelingkingmu?" jawab Abu Hanifah.
Karena si dahri bingung dan tercengana maka Abu hanifah
melanjutkan: "Kamu saksikan sendiri bahwa tidak ada yang terdahulu dari
ibu jarimu dan tidak ada yang terkemudian dari jari kelingkingmu. Begitulah
pula Alloh, tidak ada sesuatu yang terdahulu dari-Nya dan tidak ada pula yang
terkemudian dari-Nya."
Mendengar itu, dahri pun dengan agak kesal berkata: "Baiklah,
tinggal satu pertanyaan lagi. Apa yang diperbuat oleh Alloh sekarang?" Abu
hanifah berakata: "Karena yang bertanya itu adalah engakau dan yang
menjawab adalah aku, maka sepantasnyalah kamu turun dari mimbar dan akau yang
akan naik ke atasnya. Jangan terbalik seperti ini. Masak yang bertanya di atas
sementara yang menjawab ada di bawah."
Mendengar itu turunlah dahri dari mimbar dan selanjutnya Abu
Hanifah naik ke atasnya dan langsung menjawab pertanyaan yang terakhir:
"Ketahuilah bahwa perbuatan Alloh yang sekarang adalah menggugurkan yang
batil seperti kamu dan mengangkat yang benar seperti saya."
Akhirnya dahri itupu kalah dalam perdebatan tersebut, karena
dalil-dalil aqli yang menjadi senjata pamungkasnya dapat dipatahkan oleh
dalil-dalil aqli dari Abu Hanifah. Andai Abu Hanifah tidak mau menggunakan
dalil aqli maka tidaklah bisa dia menghentikan si dahri dari penentangannya
terhadap keberadaan Alloh.
Wallohu
A'lam.
✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧
SUMBER:
Kitab
FATHUL MAJID halaman 13-14
karya
Syeh Nawawi Banten
terbitan
Darul Kutubil Islamiyyah Jakarta