وَ مِنْهَا وَعَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ بَصِيْرًا بِزَمَانِهِ مُقْبِلًا عَلٰى شَـأْنِهِ حَافِظًا لِلِسَانِهِ
Dan di antara isi shuḥuf Nabi Ibrohīm adalah: "Wajib bagi orang yang berakal, hendaknya ia sangat mengerti dengan zamannya, bersiap sedia untuk melakukan hal penting baginya, lagi sebagai pemelihara terhadap lidahnya.
وَمَنْ عَدَّ كَلَامَهُ مِنْ عَمَلِهِ قَلَّ كَلَامُهُ إِلَّا فِيْمَا يَعْنِيْهِ
Dan siapa saja yang memperhitungkan ucapannya dari perbuatannya, maka sedikitlah ucapannya, kecuali dalam hal yang penting baginya.”
بِفَتْحِ أَوَّلِهِ مِنْ بَابِ رَمٰى أَيْ مَا تَتَعَلَّقُ عِنَايَتُهُ بِهِ كَمَا قَالَ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ فَتْحِ الْمُبِيْنِ.
[Lafazh يَعْنِيْهِ] dengan di-fatḥah-kan awalnya, termasuk dari babnya lafazh رَمٰى, yakni sesuatu yang perhatian seseorang berkaitan dengan sesuatu itu, sebagaimana Syaikh Ibnu Ḥajar telah berkata di dalam kitab Fatḥul Mubīn.
قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ أَيْضًا: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ فَمَا كَانَتْ صُحُفُ مُوْسٰى؟ قَالَ: كَانَتْ كُلُّهَا عِبَرًا.
Sayyidinā Abū Dzarr berkata pula: “Aku berkata: “Wahai Rasūlulloh, apa yang terdapat di shuḥuf [lembaran-lembaran] Nabi Mūsā itu?” Nabi s.a.w. bersabda: “Adalah seluruhnya berisi nasehat-nasehat."
بِكَسْرِ الْعَيْنِ وَفَتْحِ الْبَاءِ جَمْعُ عِبْرَةٍ بِسُكُوْنِهَا مِثْلُ سِدَرٍ، وَ سِدْرَةٍ أَيْ مَوَاعِظُ.
[lafazh عِبَرًا] dengan kasrah huruf ‘ain dan fatḥah huruf bā’, yaitu jama‘ lafazh عِبْرَةٌ dengan sukūn huruf bā’-nya, sama seperti lafazh سِدَرٌ dan سِدْرَةٌ, [dan lafazh عِبَرًا] yakni (maksudnya adalah) nasehat-nasehat.
وَمِنْهَا عَجْبِتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْمَوْتِ كَيْفَ يَفْرَحُ
Dan di antara isi shuḥuf Nabi Mūsā adalah: Aku heran kepada orang yang yakin dengan kematian, bagaimana ia bisa bergembira?
عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالنَّارِ كَيْفَ يَضْحَكُ
Aku heran kepada orang yang yakin dengan adanya neraka, bagaimana ia bisa tertawa?
عَجِبْتُ لِمَنْ يَرَى الدُّنْيَا وَتَقَلُّبَهَا بِأَهْلِهَا كَيْفَ يَطْمَئِنُّ إِلَيْهَا
Aku heran kepada orang yang melihat dunia padahal dunia membuat ketidakstabilan terhadap penghuninya, bagaimana ia bisa merasa tenang kepada dunia?
عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْقَدَرِ ثُمَّ يَتْعَبُ، وَفِيْ نُسْخَةٍ: كَيْفَ يَغْضَبُ.
Aku heran kepada orang yang yakin dengan takdir Alloh, kemudian ia masih saja bersusah payah?” Dan di dalam naskhah lain [disebutkan]: “Bagaimana [bisa] ia marah (sulit menerima kenyataan)?”
عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْحِسَابِ ثُمَّ لَا يَعْمَلُ.
Aku heran kepada orang yang yakin dengan hisab (perhitungan amal), kemudian ia tidak melakukan ‘amal [kebajikan]?”