DESKRIPSI MASALAH:
Betapa kagetnya Parjo saat mendengar temannya Kadir meninggal dunia. Ia merasa punya banyak salah pada Kadir semasa hidupnya. Lebih-lebih dia masih punya tanggungan hutang yang lumayan banyak pada Kadir. Parjo pun bingung bagaimana caranya dia minta maaf kepada Kadir.
Betapa kagetnya Parjo saat mendengar temannya Kadir meninggal dunia. Ia merasa punya banyak salah pada Kadir semasa hidupnya. Lebih-lebih dia masih punya tanggungan hutang yang lumayan banyak pada Kadir. Parjo pun bingung bagaimana caranya dia minta maaf kepada Kadir.
PERTANYAAN:
Bgaimana cara meminta maaf pada orang yang sudah meninggal dunia?
JAWAB:
Diperinci sebagai berikut:
❖ Jika berkaitan dengan harta, maka caranya dengan mengembalikannya kepada ahli waris atau meminta kehalalan dari mereka. Jika tidak menemukan ahli waris, maka cukup menyedekahkan harta tersebut pada orang-orang faqir atas nama orang yang sudah meninggal tersebut dan janji akan mengembalikan kepada ahli waris jika sudah ketemu.
❖ Jika tidak berkaitan dengan harta, seperti menggunjing, menghasut, mendengki, dll, maka cukup mendoakan orang yang sudah meninggal. Hal ini sesuai hadits:
إِنَّ مِنْ كَفَّارَةِ الْغِيْبَةِ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ تَقُوْلُ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلَهُ (رَوَاهُ الْحَاكِمُ)
Artinya:
"Sesungguhnya termasuk kafarot (pelebur dosa) ghibah (menggunjing) adalah engkau memohonkan ampunan untuk orang yang telah kau gunjing dengan doa: Ya Alloh semoga engkau berkenan mengampuni dosa kami dan ia." (HR. Hakim)
Catatan:
Menurut Imam Syeh Abu Hasan as-Syadzili dianjurkan membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlash, Mu'auwidzatain dan pahalanya ditujukan pada buku catatan amal mayit tersebut.
REFERENSI:
Catatan:
Menurut Imam Syeh Abu Hasan as-Syadzili dianjurkan membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlash, Mu'auwidzatain dan pahalanya ditujukan pada buku catatan amal mayit tersebut.
REFERENSI:
➊ Kitab Salalimul Fudhola' (سَلَالِمُ الْفُضَلَاءِ), karya Syeh Nawawi Banten, halaman 25 :
إِذَا تَعَلَّقَ بِالتَّائِبِ حَقٌّ لِآدَمِيٍّ اُشْتُرِطَ تَبْرِئَتُهُ بِأَنْ يُؤَدِّيَ الْمَالَ إِنْ بَقِيَ وَيَغْرَمُ بَدَلَهُ إِنْ تَلِفَ أَوْ يَسْتَحِلُّ الْمُسْتَحِقَّ لِيُبْرِئَهُ وَيَجِبُ إِعْلَامُهُ إِلَّا إِذَا كَانَ الْحَقُّ حَدًّا فَلَهُ السَّتْرُ عَلٰى نَفْسِهِ وَلَا يَجِبُ عَلٰى مَنْ سَرَقَ مَالًا وَرَدَّهُ أَنْ يُخْبِرَ بِأَنَّهُ أَخْذَهُ سَرِقَةً فَإِنْ مَاتَ الْمُسْتَحِقُّ سَلَّمَهُ إِلَى الْوَارِثِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ فَإِلٰى قَاضٍ ثِقَةٍ تُرْضٰى سِيْرَتُهُ وَدِيَانَتُهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَإِلٰى عَالِمٍ مُتَدَيِّنٍ فَإِنْ تَعَذَّرَا صَرَّفَهُ إِلَى الْمَصَالِحِ كَالْقَنَاطِرِ بِنِيَّةِ الْغَرْمِ لَهُ إِذَا وَجَدَهُ فَإِنْ عَجَزَ عَنْهُ أَوْ شَقَّ عَلَيْهِ لِخَوْفٍ أَوْ غَيْرِهِ تَصَدَّقَ بِهِ عَلَى الْأَحْوَجِ فَالْأَحْوَجِ وَلَهُ أَنْ يُصْرِفَ مِنْهُ عَلٰى نَفْسِهِ عِنْدَ الْحَاجَةِ هٰذَا كُلُّهُ إِنْ كَانَ مُوْسِرًا فَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا نَوَى الْأَدَاءَ إِنْ قَدَرَ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَهُ فَالْمَرْجُوُّ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ الْمَغْفِرَةُ وَتَعْوِيْضُ صَاحِبِ الْحَقِّ .......... وَرَوَى الْحَاكِمُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ كَفَّارَةِ الْغِيْبَةِ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ تَقُوْلُ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلَهُ. وَهٰذَا إِذَا لَمْ تَبْلُغِ الْمَتَابَ وَإِنْ بَلَغَهُ اُشْتَرِطَ اسْتِحِلَالُهُ فَإِنْ تَعَذَّرَ لِمَوْتِهِ أَوْ تَعَسَّرَ لِغَيْبَتِهِ الْبَعِيْدَةِ اِسْتَغْفَرَ اللهَ لَهُ وَلَا اعْتِبَارَ بِتَحْلِيْلِ وَارِثِهِ كَذَا أَفَادَهُ عَلِيٌّ بْنُ أَبِي الْجَيْزِيِّ فِيْ تُحْفَةِ الْخَوَاصِّ.
Artinya:
Apabila orang yang bertaubat mempunyai keterkaitan dengan hak manusia, maka disyaratkan baginya untuk meminta pembebasan dengan cara menyerahkan harta, jika masih tersisa. Dan ia berhutang sebagai pengganti harta itu jika rusak, atau ia memohon pembebasan kepada orang berhak tersebut, agar ia membebaskannya [tidak mengganti rugi]. Dan ia wajib mengumumkannya, kecuali apabila hak itu berupa had [hukum pidana], maka ia harus menutupi dirinya [menyembunyikannya]. Dan tidak wajib bagi orang yang mencuri harta dan telah mengembalikannya untuk memberitahukan bahwa ia telah mengambil harta itu dengan mencuri. Lalu jika orang yang berhak menerimanya telah mati, maka harta curian tersebut diserahkan kepada ahli warisnya. Lalu jika tidak ada dan terputus kabar ahli warisnya, maka [harta itu diserahkan] kepada Qodhi [hakim] yang terpercaya, yang diridhoi tingkah laku dan ilmu agamanya [diakui kredibilitasnya]. Lalu jika tidak ada, maka [diserahkan] kepada orang alim yang konsisten menjalankan agama. Lalu jika darurat [sulit], maka diserahkan untuk kepentingan-kepentingan sosial, seperti membangun jembatan-jembatan dengan niat untuk melunasi hutangnya, apabila ia menemukan hal itu. Jika ia tidak mampu atau ia merasa keberatan karena takut atau lainnya, maka ia boleh menyedekahkannya kepada orang yang paling membutuhkan, lalu kepada orang yang lebih membutuhkan. Dan hal itu dilakukannya ketika kebutuhan sudah mendesak [bagi mereka] dan semua ini [dapat dibebankan] jika keadannya orang kaya. Namun jika ia orang miskin, [ia wajib] berniat menunaikan apabila ia telah mampu. Jika ia mati sebelum melakukan hal itu, maka semoga saja Alloh mengampuninya dan mengganti pemilik hak [dengan berlipat ganda] .......... Imam al-Hakim meriwayatkan dari Anas, dari Rosululloh Saw: "Sesungguhnya diantara kafarot [tebusan] ghibah [menggunjing] adalah engkau harus memohonkan ampunan untuk orang yang telah engkau gunjingi, seraya engkau berdoa : 'Ya Alloh ampunilah aku dan dirinya'." Ini apabila ghibah-nya belum sampai [kepada orang itu], dan jika ghibah-nya telah sampai kepadanya, maka disyaratkan meminta kehalalan darinya. Lalu jika ada kendala [sulit] karena telah mati atau kesulitan karena orang yang di-ghibah bertempat tinggal juah, maka ia memohon ampunan kepada Alloh untuk orang yang di-ghibah-nya, dan tidak diperhitungkan meminta kehalalan [pembebasan] dari ahli warisnya. Demikian faedah dari Syeh Ali bin Ahmad al-Jaiziy dalam kitab Tuhfatul Khowash.
➋ Kitab al-Minahus Saniyyah (اَلْمِنَحُ السَّنِيَّةِ), karya Syeh Abdul Wahab as-Sya'roni halaman 54 :
(تَنْبِيْهٌ) اَلْأَعْرَاضُ أَشَدُّ مِنَ الْأَمْوَالِ. قَالَ الْعُلَمَاءُ لَوْ أَنَّ شَخْصًا أَخَذَ مَالَ شَخْصٍ ثُمَّ تَوَرَّعَ فَجَاءَ بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ إِلٰى وَرَثَتِهِ وَإِلٰى جَمِيْعِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَجَعَلُوْهُ فِيْ حِلِّ مَا كَانَ فِيْ حِلٍّ فَعِرْضُ الْمُؤْمِنِ أَشَدُّ مِنْ مَالِهِ. وَمِنْ كَلَامِ الشَّيْخِ أَبِي الْمَوَاهِبِ الشَّاذِلِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالٰى مِمَّا يُوْقِفُ الْمُرِيْدَ عَنِ التَّرَقِّيْ وُقُوْعُهُ فِيْ غِيْبَةِ أَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ اُبْتُلِيَ بُوُقُوْعِهِ فِيْ ذٰلِكَ فَلْيَقْرَأِ الْفَاتِحَةَ وَسُوْرَةَ الْإِخْلَاصِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَيَجْعَلُ ثَوَابَهُنَّ فِيْ صَحَائِفِ ذٰلِكَ الشَّخْصِ فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ فِي الْمَنَامِ وَأَخْبَرَنِيْ بِذٰلِكَ وَقَالَ إِنَّ الْغِيْبَةَ وَالثَّوَابَ يَقِفَانِ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالٰى وَأَرْجُوْ أَنْ يَتَوَازَنَا فَاعْلَمْ ذٰلِكَ يَا أَخِيْ.
Artinya:
(Peringatan) [penganiayaan terhadap] harga diri adalah lebih berat daripada [penganiayaan terhadap] harta. Para ulama' berkata: "Seandainya seseorang mengambil harta orang lain, kemudian ia menahan diri [dari mempergunakan harta orang lain itu], lalu ia datang dengan membawa harta itu, setelah kematian orang yang ia ambil hartanya, kepada ahli warisnya [orang yang ia ambil hartanya] dan kepada seluruh penghuni bumi, lalu mereka [ahli waris dan seluruh penghuni bumi] menghalalkannya, maka ia tetap tidak berada dalam kehalalan [belum terhalalkan]. Namun, masalah harga diri seorang mukmin adalah lebih berat [urusannya] daripada masalah hartanya." Dan termasuk diantara perkataan Syeh Abul Mawahib imam as-Syadzili, semoga Alloh merahmati Beliau, adalah: "Termasuk diantara hal-hal yang bisa menghentikan seorang murid dari menaiki [tangga kemuliaan berthoriqoh] adalah ia jatuh di dalam ghibah [menggunjing] terhadap salah seorang dari kaum muslimin. Dan barang siapa yang tertimpa musibah dengan jatuh dalam ghibah tersebut, maka hendaklah ia membaca surat al-Fatikhah, al-Ikhlash dan mu'awwidzataian [surat al-Falaq dan an-Nas]. Dan ia jadikan pahala dari bacaannya itu berada di dalam lembaran-lembaran amalnya orang yang ia gunjingkan tersebut. Karena sesungguhnya aku telah melihat Rosululloh Saw di dalam mimpi, dan Beliau telah memberitahuku tentang hal itu. Dan Rosululloh juga besabda: 'Sesungguhnya ghibah dan pahala bacaan surat-surat itu, keduanya akan berhenti di hadapan Alloh Ta'ala, dan aku berharap keduanya akan saling seimbang.' Maka ketahuilah hal itu wahai saudaraku!"
(Peringatan) [penganiayaan terhadap] harga diri adalah lebih berat daripada [penganiayaan terhadap] harta. Para ulama' berkata: "Seandainya seseorang mengambil harta orang lain, kemudian ia menahan diri [dari mempergunakan harta orang lain itu], lalu ia datang dengan membawa harta itu, setelah kematian orang yang ia ambil hartanya, kepada ahli warisnya [orang yang ia ambil hartanya] dan kepada seluruh penghuni bumi, lalu mereka [ahli waris dan seluruh penghuni bumi] menghalalkannya, maka ia tetap tidak berada dalam kehalalan [belum terhalalkan]. Namun, masalah harga diri seorang mukmin adalah lebih berat [urusannya] daripada masalah hartanya." Dan termasuk diantara perkataan Syeh Abul Mawahib imam as-Syadzili, semoga Alloh merahmati Beliau, adalah: "Termasuk diantara hal-hal yang bisa menghentikan seorang murid dari menaiki [tangga kemuliaan berthoriqoh] adalah ia jatuh di dalam ghibah [menggunjing] terhadap salah seorang dari kaum muslimin. Dan barang siapa yang tertimpa musibah dengan jatuh dalam ghibah tersebut, maka hendaklah ia membaca surat al-Fatikhah, al-Ikhlash dan mu'awwidzataian [surat al-Falaq dan an-Nas]. Dan ia jadikan pahala dari bacaannya itu berada di dalam lembaran-lembaran amalnya orang yang ia gunjingkan tersebut. Karena sesungguhnya aku telah melihat Rosululloh Saw di dalam mimpi, dan Beliau telah memberitahuku tentang hal itu. Dan Rosululloh juga besabda: 'Sesungguhnya ghibah dan pahala bacaan surat-surat itu, keduanya akan berhenti di hadapan Alloh Ta'ala, dan aku berharap keduanya akan saling seimbang.' Maka ketahuilah hal itu wahai saudaraku!"