Monday, April 30, 2018
TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.39
﴿تَتْمِيْمٌ﴾ رُوِيَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ فَمَا كَانَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيْمَ؟
﴾Pelengkap﴿ Diriwayatkan dari hadits-nya Sayyidina Abu Dzar, beliau berkata: Aku pernah berkata: “Wahai Rasululloh, apa yang terdapat di dalam shuhuf (lembaran-lembaran) Nabi Ibrohim itu?”
قَالَ: كَانَتْ كُلُّهَا أَمْثَالًا مِنْهَا: أَيُّهَا الْمَلَكُ الْمُسَلَّطُ الْمُبْتَلٰى الْمَغْرُوْرُ إِنِّيْ لَمْ أَبْعَثْكَ لِتَجْمَعَ الدُّنْيَا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
Beliau bersabda: “Adalah seluruhnya berisi berbagai petuah (pesan sarat makna). Di antara isi shuhuf Nabi Ibrohom adalah: "Wahai malaikat yang dikuasakan yang diuji lagi yang terperdaya, sesungguhnya Aku (Tuhan) tidak mengutusmu, agar engkau mengumpulkan dunia, sebagiannya kepada sebagian yang lain.
وَلٰكِنْ بُعِثْتُكَ لِتَرُدَّ عَنِّيْ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنِّيْ لَا أَرُدُّهَا وَلَوْ كَانَتْ مِنْ فَمٍ كَافِرٍ.
Akan tetapi Aku mengutusmu, agar engkau dapat mengirimkan kepada-Ku permohonan orang yang dizholimi, karena sesungguhnya Aku tidak akan menolaknya, walaupun permohonan itu dari mulut orang kafir."
وَمِنْهَا: وَعَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ سَاعَةٌ يُنَاجِيْ فِيْهَا رَبَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَسَاعَةٌ يُحَاسِبُ فِيْهَا نَفْسَهُ وَسَاعَةٌ يَتَفَكَّرُ فِيْهَا صُنْعَ اللّٰهِ تَعَالٰى وَسَاعَةٌ يَخْلُوْ أَيْ يَتَجَرَّدُ فِيْهَا لِحَاجَتِهِ مِنَ الْمَطْعَمِ وَ الْمَشْرَبِ.
Dan di antara isi shuhuf Nabi Ibrohim adalah: "Wajib bagi orang berakal, agar ia memiliki satu waktu, yang ia bermunajat di waktu tersebut kepada Tuhannya yang Maha Perkasa dan Maha Agung. Dan satu waktu, yang ia mengintrospeksi di waktu itu tentang dirinya. Dan satu waktu, yang ia dapat berfikir di waktu itu tentang ciptaan Alloh Ta‘ala. Dan satu waktu yang ia meluangkan diri, yakni ia mengkhususkan diri di waktu itu untuk berbagai kebutuhannya, berupa makanan dan minuman."
وَمِنْهَا: وَعَلَى الْعَاقِلِ أَنْ لَا يَكُوْنَ طَامِعًا أَيْ مُؤَمِّلًا إِلَّا فِيْ ثَلَاثٍ تَزَوَّدٌ لِمَعَادٍ وَمَرَمَّةٌ لِمَعَاشٍ وَلَذَّةٌ فِيْ غَيْرِ مُحَرَّمٍ.
Dan di antara isi shuhuf Nabi Ibrohim adalah: "Wajib bagi yang berakal, agar ia tidak berlaku sebagai orang yang ambisi, yakni orang yang sangat mengharapkan sesuatu, Kecuali pada tiga hal, yaitu: ➊ berbekal untuk akhirat, ➋ berbuat perbaikan bagi penghidupan, dan ➌ kelezatan dalam hal yang tidak diharamkan."
قَوْلُهُ مَرَمَّةٌ بِفَتْحَاتٍ وَتَشْدِيْدِ الْمِيْمِ أَيْ إِصْلَاحٌ.
Sabda Nabi: “مَرَمَّةٌ”, dengan dibaca fathah semua hurufnya, dan huruf mim-nya ber-tasydid, maksudnya adalah perbaikan.
Saturday, April 28, 2018
TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.38
﴿وَ﴾ ثَالِثُهَا أَنْ تُؤْمِنَ بِــ﴿كُتُبِهِ﴾ مَعْنَى الْإِيْمَانِ بِالْكُتُبِ التَّصْدِيْقُ بِأَنَّهَا كَلَامُ اللّٰهِ الْمُنَزَّلُ عَلٰى رُسُلِهِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ.
﴾Dan﴿ rukun iman yang ketiga adalah engkau [harus] beriman kepada ﴾kitab-kitab-Nya﴿. Arti beriman dengan kitab-kitab adalah membenarkan bahwasanya kitab tersebut adalah firman Alloh yang diturunkan kepada para utusan-Nya, [semoga tercurah] atas mereka rohmat dan keselamatan.
وَكُلُّ مَا تَضَمَّنَتْهُ حَقٌّ وَنُزُوْلُهَا بِأَنْ كَانَتْ مَكْتُوْبَةً عَلَى الْأَلْوَاحِ كَالتَّوْرَاةِ أَوْ مَسْمُوْعَةً مِنَ السَّمْعِ بِالْمُشَاهَدَةِ كَمَا فِيْ لَيْلَةِ الْمِعْرَاجِ أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ كَمَا وَقَعَ لِمُوْسٰى فِي الطُّوْرِ.
Dan setiap sesuatu yang dikandung oleh kitab-kitab suci itu adalah benar, dan [mengenai] diturunkannya [juga benar adanya] dengan sekiranya berwujud firman yang ditulis di atas beberapa lempengan, seperti kitab Taurot. Atau diperdengarkan dari pendengaran dengan penyaksian langsung, sebagaimana yang terjadi di malam Mi‘roj. Atau [diperdengarkan] dari balik hijab, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Musa di dalam gua Thursina.
أَوْ مِنْ مَلَكٍ مُشَاهَدٍ كَمَا رُوِيَ أَنَّ الْيَهُوْدَ قَالُوْا لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا تُكَلِّمُ اللّٰهَ وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ إِنْ كُنْتَ نَبِيًّا كَمَا كَلَّمَهُ مُوْسٰى وَنَظَرَ إِلَيْهِ. فَقَالَ: لَمْ يَنْظُرْ مُوْسٰى إِلَى اللّٰهِ.
Atau [diperdengarkan] dari malaikat yang bisa disaksikan, sebagaimana diriwayatkan bahwa kaum Yahudi berkata kepada Rasululloh s.a.w.: "Tidakkah engkau dapat bercakap-cakap dengan Alloh, dan engkau dapat melihat-Nya, jika [memang] dirimu [adalah] sebagai Nabi, sebagaimana Nabi Musa dapat berbicara dengan-Nya, dan ia [juga] dapat melihat kepada-Nya?” Lalu Nabi bersabda: “Musa tidak memandang kepada Alloh.”
فَنَزَلَ: وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللّٰهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَائِيْ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ.
Lalu turunlah [ayat]: “Dan tidak ada bagi seorang manusia-pun bahwa Alloh berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki…..” (QS. asy-Syuro: 51)
قَالَ السُّحَيْمِيُّ فِيْ تَفْسِيْرِ ذٰلِكَ: أَيْ مَا صَحَّ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا أَنْ يُوْحِيَ إِلَيْهِ وَحْيًا أَيْ كَلَامًا خَفِيًّا يُدْرَكُ بِسُرْعَةٍ كَمَا سَمِعَ إِبْرَاهِيْمُ فِي الْمَنَامِ أَنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكَ بِذَبْحِ وَلَدِكَ
Telah berkata Syeh as-Suhaimiy di dalam menafsirkan ayat itu: “Maksudnya adalah tidak benar bagi seorang manusia bahwa Alloh bercakap-cakap dengannya, kecuali Alloh mewahyukan kepadanya dengan suatu wahyu, yakni firman yang samar (yang tak terinderawi), yang dapat difahami dengan cepat. Sebagaimana Nabi Ibrohim mendengar di dalam tidur (mimpi beliau): “Sesungguhnya Allah memerintahkan anda untuk menyembelih putra anda.”
وَكَمَا أُلْهِمَتْ أُمُّ مُوْسٰى أَنْ تَقْذِفَهُ فِي الْبَحْرِ. أَوْ مِنْ وَرَائِيْ حِجَابٍ أَوْ إِلَّا أَنْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا أَيْ مَلَكًا جِبْرِيْلُ فَيُكَلِّمُ الرَّسُوْلَ أَيِ الْمُرْسَلَ إِلَيْهِ بِأَمْرِ رَبِّهِ مَا يَشَاءُ.
Dan sebagaimana Ibu Nabi Musa diberi ilham untuk melemparkan bayi Musa di lautan. Atau di belakang tabir , atau hanya saja Alloh pasti mengutus sesosok utusan, yakni satu malaikat, yaitu malaikat Jibril. Lalu malaikat itu akan mengatakan kepada sang Rosul, yakni yang malaikat itu diutus kepadanya dengan berdasarkan perintah Tuhannya akan semua wahyu yang dikehendaki oleh Alloh.
﴿فَرْعٌ﴾ قَالَ سُلَيْمَانُ الْجَمَلُ وَعَنِ الْحَرْثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يَأْتِيْكَ الْوَحْيُ؟ فَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَحْيَانًا يَأْتِيْنِيْ فِيْ مِثْلِ صَلْصَلَةِ الْجَرْسِ وَ هُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيَفْصِمُ عَنِّيْ وَقَدْ وَعَيْتُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيْ اَلْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِيْ فَأَعِيْ مَا يَقُوْلُ.
﴾Cabang﴿ Syeh Sulaiman al-Jamal berkata: “Dan [diriwayatkan] dari Sayyidina al-Harth bin Hisyam, bahwasanya beliau pernah bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Bagaimana wahyu mendatangi anda?” Lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Terkadang wahyu medatangiku, seperti bunyi lonceng, dan hal itu adalah paling beratnya wahyu bagiku, lalu bunyi itu terhenti dari diriku, dan sungguh telah dapat dihafalkan olehku, apa yang bunyi itu katakan. Dan terkadang, malaikat menyerupakan diri kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu ia bercakap-cakap denganku, lalu aku dapat menghafal apa yang ia ucapkan (sampaikan).”
وَالْجَرَسُ بِفَتْحِ الْجِيْمِ وَالرَّاءِ وَهُوَ مَا يُعَلَّقُ عَلٰى عُنُقِ الْحِمَارِ.
اَلْجَرَسُ (loceng), dengan dibaca fathah huruf jim dan ro', adalah sesuatu yang digantungkan di atas leher keledai.
وَقَوْلُهُ: فَيَفْصِمُ عَنِّيْ أَيْ يَنْفَصِلُ عَنِّيْ وَيُفَارِقُنِيْ.
Dan sabda Nabi s.a.w.: "فَيَفْصِمُ عَنِّيْ" (lalu terhenti dariku), yakni (maksudnya adalah) memisahkan diri dari diriku dan meninggalkan diriku.
وَقَوْلُهُ: وَعَيْتُ مِنْ بَابِ وَعَدَ أَيْ حَفِظْتُ مَا قَالَ
Dan sabda Nabi s.a.w.: “وَعِيْتُ” (aku telah menghafal), dari bab lafazh وَعَدَ (berjanji), yakni aku telah hafal apa yang ia katakan.
وَالْمُرَادُ بِالْكُتُبِ مَا يَشْمُلُ الصُّحُفَ وَقَدِ اشْتَهَرَ أَنَّهَا مِائَةٌ وَأَرْبَعَةٌ وَقِيْلَ إِنَّهَا مِائَةٌ وَأَرْبَعَةَ عَشَرَ.
Dan yang dimaksud dengan kitab-kitab adalah sesuatu yang mencakup lembaran-lembaran, dan sungguh telah masyhur (populer) bahwasanya kitab-kitab itu ada 104 kitab. Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Sesungguhnya kitab-kitab itu ada 114 kitab.”
وَقَالَ السُّحَيْمِيُّ: وَالْحَقُّ عَدَمُ حَصْرِ الْكُتُبِ فِيْ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ فَلَا يُقَالُ إِنَّهَا مِائَةٌ وَأَرْبَعَةٌ فَقَطْ لِأَنَّكَ إِذَا تَتَبَّعْتَ أَيْ فَتَشْتَ الرِّوَايَاتِ تَجِدُهَا تَبْلُغُ أَرْبَعَةً وَثَمَانِيْنَ وَمِائَةً.
Dan Syeh as-Suhaimiy berkata: “Yang benar adalah tidak adanya membatasi kitab-kitab dalam hitungan tertentu.” Maka tidak bisa dikatakan bahwa kitab-kitab itu berjumlah 104 saja, karena sesungguhnya engkau, apabila engkau meneliti, yakni engkau menyelidiki berbagai riwayat, maka engkau akan menemukan kitab-kitab itu mencapai jumlah 184 kitab.
فَيَجِبُ اعْتِقَادُ أَنَّ اللّٰهَ أَنْزَلَ كُتُبًا مِنَ السَّمَاءِ عَلَى الْإِجْمَالِ، لٰكِنْ يَجِبُ مَعْرِفَةُ الْكُتُبِ الْأَرْبَعَةِ تَفْصِيْلًا وَهِيَ التَّوْرَاةُ لِسَيِّدِنَا مُوْسٰى وَالزَّبُوْرُ لِسَيِّدِنَا دَاوُدَ وَالْإِنْجِيْلُ لِسَيِّدِنَا عِيْسٰى وَالْفُرْقَانُ لِخَيْرِ الْخَلْقِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ تَعَالٰى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ.
Makanya, wajib berkeyakinan bahwa Alloh telah menurunkan kitab-kitab suci dari langit, secara global. Akan tetapi wajib mengetahui kitab-kitab yang empat secara terperinci, yaitu kitab Taurot kepada Sayyidina Musa, kitab Zabur kepada Sayyidina Dawud, kitab Injil kepada Sayyidina ‘Isa, dan kitab al-Furqon (al-Qur'an) kepada sebaik-baik makhluk, yaitu Sayyidina Muhammad, semoga Allo Ta'ala melimpahkan rohmat dan keselamatan atas beliau dan atas mereka semuanya.
TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.37
﴿وَ﴾ ثَانِيْهَا أَنْ تُؤْمِنَ ﴿بِمَلَائِكَتِهِ﴾
﴾Dan﴿ rukun iman yang kedua adalah engkau [harus]
beriman ﴾kepada para malaikat-Nya﴿.
بِأَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّهُمْ أَجْسَامٌ نُوْرَانِيَّةٌ لَطِيْفَةٌ لَيْسُوْا ذُكُوْرًا وَلَا إِنَاثًا وَ لَا خُنَاثٰى لَا أَبَ لَهُمْ وَلَا أُمَّ لَهُمْ صَادِقُوْنَ فِيْمَا أَخْبَرُوْا بِهِ عَنِ اللّٰهِ تَعَالٰى لَا يَأْكُلُوْنَ وَلَا يَشْرَبُوْنَ وَلَا يَتَنَاكَحُوْنَ وَلَا يَتَوَالَدُوْنَ وَلَا يَنَامُوْنَ
Dengan engkau meyakini bahwa mereka (para malaikat) adalah jisim-jisim yang
berunsur cahaya lagi yang lembut. Mereka tidak berjenis laki-laki, dan tidak
berjenis perempuan, dan tidak pula berjenis kelamin ganda. Tidak ada ayah bagi
mereka, dan tidak ada ibu bagi mereka. Mereka sangat jujur pada segala apa yang
mereka kabarkan dari Alloh ta‘ālā. Mereka tidak makan, tidak minum, tidak
menikah, tidak melahirkan anak, dan tidak tidur.
وَلَا تُكْتَبُ أَعْمَالُهُمْ لِأَنَّهُمُ الْكُتَّابُ وَلَا يُحَاسَبُوْنَ لِأَنَّهُمُ الْحُسَّابُ وَلَا تُوَزَّنُ أَعْمَالُهُمْ لِأَنَّهُمْ لَا سَيِّئَاتِ لَهُمْ
Dan tidak
dicatat segala perbuatan mereka, karena sesungguhnya merekalah sang pencatat
amal. Dan mereka tidak di-ḥisāb (dihitung
amalnya), karena sesungguhnya merekalah sang peng-ḥisāb (penghitung amal). Dan tidak ditimbang
segala perbuatan mereka, karena sesungguhnya mereka, tidak ada
perbuatan-perbuatan dosa bagi mereka.
وَيُحْشَرُوْنَ مَعَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ يَشْفَعُوْنَ فِيْ عُصَاةِ بَنِيْ آدَمَ وَيَرَاهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ فِي الْجَنَّةِ وَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَ يَتَنَاوَلُوْنَ النِّعْمَةَ فِيْهَا بِمَا شَاءَ اللهُ.
Dan mereka
akan dihimpun bersama dengan jin dan manusia. Mereka dapat memberi syafaat
kepada orang-orang yang bermaksiat (berdosa) dari golongan manusia. Dan orang-orang
beriman akan melihat mereka di surga, dan mereka (para malaikat) akan masuk
surga dan memperoleh nikmat di sana dengan segala nikmat yang Alloh kehendaki.
لٰكِنْ قَالَ أَحْمَدُ السُّحَيْمِيُّ: وَجَاءَ عَنْ مُجَاهِدٍ مَا يَقْتَضِيْ أَنَّهُمْ لَا يَأْكُلُوْنَ فِيْهَا وَلَا يَشْرَبُوْنَ وَلَا يَنْكِحُوْنَ وَأَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَمَا كَانُوْا فِي الدُّنْيَا وَهٰذَا يَقْتَضِيْ أَنَّ الْحُوْرَ وَالْوِلْدَانَ كَذٰلِكَ. اهـ.
Akan tetapi Syaeh Aḥmad as-Suḥaimī berkata: “Dan telah datang dari
Imām Mujāhid suatu keterangan yang memastikan, bahwa para malaikat, mereka tidak makan di surga, dan mereka
tidak minum, dan mereka tidak menikah [di sana]. Dan bahwasanya mereka berwujud
sama seperti wujud mereka saat berada di dunia. Dan ketentuan ini memastikan
bahwa para bidadari dan para pemuda surga seperti itu pula”. Selesai.
وَيَمُوْتُوْنَ بِالنَّفْخَةِ الْأُوْلٰى إِلَّا حَمَلَةَ الْعَرْشِ وَالرُّؤَسَاءَ الْأَرْبَعَةَ. فَإِنَّهُمْ يَمُوْتُوْنَ بَعْدَهَا أَمَّا قَبْلَهَا فَلَا يَمُوْتُ أَحَدٌ مِنْهُمْ
Dan para
malaikat itu akan wafat dengan sebab tiupan sangkakala yang pertama, kecuali
para malaikat pemikul ‘Arasy dan empat pimpinan malaikat. Karena sesungguhnya
mereka (malaikat pemikul ‘Arasy dan empat pimpinan malaikat) itu akan wafat
setelah tiupan sangkakala yang pertama, adapun sebelum masa itu, maka tak akan
wafat, satupun dari mereka.
tersebut.
فَيَجِبَ الْإِيْمَانُ بِأَنَّهُمْ بَالِغُوْنَ فِي الْكَثْرَةِ إِلٰى حَدٍّ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللهُ تَعَالَى عَلَى الْإِجْمَالِ إِلَّا مَنْ وَرَدَ تَعْيِيْنُهُ بِاسْمِهِ الْمَخْصُوْصِ أَوْ نَوْعِهِ فَيَجِبُ الْإِيْمَانُ بِهِمْ تَفْصِيْلًا.
Maka wajib
beriman, bahwa para malaikat itu mencapai jumlah yang banyak sekali, hingga
batas yang tidak ada yang mengetahuinya, kecuali hanya Alloh ta‘ālā, [dengan
beriman] secara global. Kecuali malaikat yang telah datang penentuan dirinya,
dengan namanya yang khusus atau [dengan] macamnya. Maka wajib beriman kepada
para malaikat tersebut secara terperinci.
فَالْأَوَّلُ كَجِبْرِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ وَعِزْرَائِيْلَ وَمُنْكَرٍ وَنَكِيْرٍ وَرِضْوَانَ وَمَالِكٍ وَرَقِيْبٍ وَعَتِيْدٍ وَرُوْمَانَ. وَالثَّانِيْ كَحَمَلَةِ الْعَرْشِ وَ الْحَفَظَةِ وَ الْكَتَبَةِ.
Adapun
[kelompok malaikat] yang pertama adalah seperti malaikat Jibrīl, Mīkā’īl,
Isrofīl, Izro’īl, Munkar, Nakīr, Ridhwān, Mālik, Roqīb, ‘Atīd dan Rūmān. Dan [kelompok
malaikat] yang kedua seperti malaikat pemikul ‘Arasy, malaikat Ḥafazhah,
dan malaikat Katabah.
قَالَ أَحْمَدُ الْقَلْيُوْبِيُّ: وَاعْلَمْ أَنَّ جِبْرِيْلَ أَفْضَلُ الْمَلَائِكَةِ مُطْلَقًا حَتّٰى مِنْ إِسْرَافِيْلَ عَلَى الْأَصَحِّ.
Syeh Aḥmad al-Qolyūbī berkata: “Ketahuilah, bahwa malaikat Jibrīl
adalah malaikat yang paling utama secara mutlak, sekalipun dibandingkan [dengan]
malaikat Isrāfīl, menurut pendapat yang paling shoḥīḥ.
قَالَ الْجَلَالُ السُّيُوْطِيُّ: وَإِنَّهُ يَحْضُرُ مَوْتَ مَنْ يَمُوْتُ عَلٰى وُضُوْءٍ.
Syeh al-Jalāl
as-Suyūthī berkata: “Dan bahwasanya malaikat Jibrīl akan hadir pada kematian
orang yang meninggal dalam keadaan berwudhu”.
قَالَ بَعْضُهُمْ: وَأَفْضَلُ الْمَلَائِكَةِ جِبْرِيْلُ ثُمَّ إِسْرَافِيْلُ وَقِيْلَ عَكْسُهُ ثُمَّ مِيْكَائِيْلُ ثُمَّ مَلَكُ الْمَوْتِ.
Sebagian
ulama berkata: “Dan malaikat yang paling utama adalah malaikat Jibrīl, lalu
malaikat Isrofīl. Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: ‘Sebaliknya’. Kemudian
malaikat Mikā’īl, kemudian Malaikat Maut (‘Izro’īl).”
وَقَالَ الْفَخْرُ الرَّازِيُّ: أَفْضَلُ الْمَلَائِكَةِ مُطْلَقًا حَمَلَةُ الْعَرْشِ وَ الْحَافِظُوْنَ بِهِ ثُمَّ جِبْرِيْلُ ثُمَّ إِسْرَافِيْلُ ثُمَّ مِيْكَائِيْلُ ثُمَّ مَلَكُ الْمَوْتِ ثُمَّ مَلَائِكَةُ الْجَنَّةِ فَمَلَائِكَةُ النَّارِ ثُمَّ الْمُوَكَّلُوْنَ بِأَوْلَادِ آدَمَ ثُمَّ الْمُوَكَّلُوْنَ بِأَطْرَافِ الْعَالَمِ.
Dan berkata Syaikh Fakhrur Rozī: “Malaikat yang paling utama secara mutlak adalah malaikat pemikul ‘Arsy dan para malaikat penjaga ‘Arsy, kemudian malaikat Jibrīl, kemudian malaikat Isrofīl, kemudian malaikat Mīkā’īl, kemudian malaikat Maut, kemudian malaikat Surga, lalu malaikat Neraka, kemudian para malaikat yang diserahi mengurus terhadap anak-anak Ādam [manusia], lalu para malaikat yang diserahi tugas mengendalikan berbagai penjuru alam semesta.
وَ قَالَ الْغَزَالِيُّ: أَقْرَبُ الْعِبَادِ إِلَى اللّٰهِ تَعَالَى وَ أَعْلَاهُمْ دَرَجَةً إِسْرَافِيْلُ ثُمَّ بَقِيَّةُ الْمَلَائِكَةِ ثُمَّ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ ثُمَّ السَّلَاطِيْنُ الْعَادِلُوْنَ ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ، اِنْتَهَى.
Dan telah berkata Imām al-Ghozālī: “Para hamba yang paling dekat kepada Alloh Ta‘ālā dan paling tinggi derajatnya di antara mereka adalah malaikat Isrofīl, kemudian malaikat lainnya, kemudian para Nabi, kemudian para Ulama yang mengamalkan ilmunya, kemudian para penguasa yang adil, kemudian para orang shaḥīḥ”. Selesai [perkataan] Imām al-Ghozālī .
وَأَنْتَ خَبِيْرٌ بِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُ مِنَ الْقُرْبِ التَّفْضِيْلُ فَالْوَجْهُ تَقْدِيْمُ جِبْرِيْلَ عَلَى إِسْرَافِيْلَ اِنْتَهَى قَوْلُ الْقَلْيُوْبِيُّ.
Dan engkau mengerti bahwasanya tidak memestikan dari sisi kedekatan dengan Allah itu, mengenai perolehan pengutamaan. Maka pendapat yang kuat adalah mengedepankan (menilai lebih unggul) malaikat Jibrīl atas malaikat Isrofīl.” Selesai perkataan Syaeh al-Qolyūbī.
TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.36
أَحَدُهَا ﴿أَنْ تُؤْمِنَ بِاللّٰهِ﴾ بِأَنْ تَعْتَقِدَ عَلَى التَّفْصِيْلِ أَنَّ اللّٰهَ تَعَالٰى مَوْجُوْدٌ قَدِيْمٌ بَاقٍ مُخَالِفٌ لِلْحَوَادِثِ مُسْتَغْنٍ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَاحِدٌ قَادِرٌ مُرِيْدٌ عَالِمٌ حَيٌّ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ مُتَكَلِّمٌ
Rukun Iman yang pertama adalah ﴾engkau
harus beriman kepada Alloh﴿ dengan sekiranya engkau meyakini secara terperinci,
bahwa Alloh Ta‘ālā adalah
Dzat yang wujud, terdahulu, kekal, berbeda dengan makhluk, tidak butuh kepada
segala sesuatu, Esa, berkuasa, berkehendak, mengetahui, Maha hidup, mendengar,
melihat, lagi berbicara.
وَعَلَى الْإِجْمَالِ أَنَّ لِلّٰهِ كَمَالَاتٍ لَا تَتَنَاهٰى
Dan [meyakini] secara global, yaitu sesungguhnya
Alloh memiliki berbagai kesempurnaan yang tidak terhingga.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَوْجُوْدَاتِ بِالنِّسْبَةِ لِلْاِسْتِغْنَاءِ عَنِ الْمَحَلِّ وَ الْمُخَصِّصِ وَ عَدَمِهِ أَرْبَعَةٌ
Dan ketahuilah bahwa berbagai perkara yang wujud dalam kaitannya terhadap ketidak-butuhannya kepada tempat dan mukhoshshish (pemberi
kekhususan pada sesuatu), dan ketidak-adaannya (butuhnya kepada tempat dan mukhoshshish) itu ada empat.
اَلْأَوَّلُ مَا لَا يَفْتَقِرُ لَهُمَا مَعًا وَهُوَ ذَاتُ اللّٰهِ
Pertama, sesuatu yang tidak
butuh kepada keduanya (tempat dan mukhoshshish),
secara bersamaan yaitu Dzat Alloh.
اَلثَّانِيْ عَكْسُهُ وَهُوَ صِفَاتُ الْحَوَادِثِ
Kedua, kebalikannya (sesuatu
yang butuh kepada keduanya secara bersamaan), yaitu sifat-sifat makhluk.
اَلثَّالِثُ مَا يَقُوْمُ بِمَحَلٍّ دُوْنَ الْمُخَصِّصِ وَهُوَ صِفَةُ الْبَارِيْ أَيِ الَّذِيْ يَخْلُقُ الْخَلْقَ وَيُظْهِرُهُمْ مِنَ الْعَدَمِ
Ketiga, sesuatu yang
bertempat pada suatu tempat (obyek) dengan tanpa [peran serta] mukhoshshish, yaitu sifat Sang Pencipta, yakni Dzat
yang menciptakan makhluk dan memunculkan mereka dari ketiadaan.
اَلرَّابِعُ عَكْسُهُ وَهُوَ ذَاتُ الْمَخْلُوْقِيْنَ
Keempat, kebalikannya (sesuatu
yang bertempat pada suatu tempat dengan peran serta mukhoshshish) yaitu dzat para
makhluk.
﴿فَائِدَةٌ﴾ مَنْ تَرَكَ أَرْبَعَ كَلِمَاتٍ كَمُلَ إِيْمَانُهُ أَيْنَ وَكَيْفَ وَمَتٰى وَكَمْ
﴾Faedah﴿. Siapa saja yang meninggalkan empat kalimah (kata), maka
sempurnalah imannya, yaitu أَيْنَ (dimana), كَيْفَ (bagaimana), مَتٰى (kapan), dan كَمْ (berapa).
فَإِنْ قَالَ لَكَ قَائِلٌ: أَيْنَ اللّٰهُ؟ فَجَوَابُهُ لَيْسَ فِيْ مَكَانٍ وَلَا يَمُرُّ عَلَيْهِ زَمَانٌ
Maka jika berkata kepadamu, seorang yang
berkata: “Di mana Alloh?” Maka jawabannya adalah: “Alloh tidak berada
di suatu tempat, dan tidak terlewati atas diri-Nya, suatu zamanpun.”
وَإِنْ قَالَ لَكَ: كَيْفَ اللّٰهُ؟ فَقُلْ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Dan jika ia berkata kepadamu: “Bagaimanakah [wujud] Alloh
itu?” Maka katakanlah: “Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. asy-Syūrā: 11)
وَإِنْ قَالَ لَكَ: مَتَى اللّٰهُ؟ فَقُلْ لَهُ: أَوَّلٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ وَآخِرٌ بِلَا انْتِهَاءٍ
Dan jika ia berkata kepadamu: “Kapan Alloh [wujud]?” Maka
katakanlah kepadanya: “Alloh adalah Dzat yang awal tanpa permulaan, dan Dzat
yang akhir tanpa penghabisan.”
وَإِنْ قَالَ لَكَ قَائِلٌ: كَمِ اللّٰهُ؟ فَقُلْ لَهُ: وَاحِدٌ لَا مِنْ قِلَّةٍ. قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
Dan jika berkata kepadamu, seseorang yang
berkata: “Ada berapakah Alloh itu?” Maka katakan kepadanya: “Alloh adalah Dzat
Yang Esa, tidak kurang sedikit [juga tidak lebih sedikit]. Katakanlah: “Dia-lah Alloh, Yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlāsh: 1].Saturday, April 21, 2018
TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.35
﴿فَصْلٌ﴾ فِيْ بَيَانِ جَمِيْعِ مَا وَجَبَ بِهِ الْإِيْمَانُ وَالْبَرَاهِيْنِ الدَّالَّةِ عَلٰى حَقِيْقَةِ الْإِيْمَانِ ﴿أَرْكَانُ الْإِيْمَانِ سِتَّةٌ﴾ فَإِفَاضَةِ الْأَرْكَانِ مِنْ إِضَافَةِ الْمُتَعَلَّقِ بِفَتْحِ اللَّامِ إِلَى الْمُتَعَلِّقِ بِكَسْرِهَا
﴾Fasal﴿ dalam menjelaskan semua perkara yang wajib diimani dan
bukti-bukti yang menunjukkan hakikat (kebenaran) iman. ﴾Rukun-rukun iman itu
ada enam﴿ Adapun idhofahnya lafazh أَرْكَانُ termasuk
dari idhofahnya sesuatu yang digantungkan, ---lafazh الْمُتَعَلَّقِ (sesuatu yang digantungkan) dengan dibaca fathah huruf
lam-nya---, kepada sesuatu yang menggantung, ---lafazh الْمُتَعَلِّقِ (sesuatu
yang menggantung) dengan dibaca kasroh huruf lam-nya---.
أَيْ جَمِيْعُ مَا وَجَبَ الْإِيْمَانُ بِهِ وَالْبَرَاهِيْنُ الدَّالَّةُ عَلٰى حَقِيْقَةِ الْإِيْمَانِ سِتَّةٌ لِأَنَّ الْإِيْمَانَ الَّذِيْ هُوَ التَّصْدِيْقُ الْقَلْبِيُّ يَتَعَلَّقُ بِمَعْنًى يُتَمَسَّكُ بِذٰلِكَ.
Yakni, semua perkara yang wajib untuk diimani dan bukti-bukti yang
menunjukkan hakikat iman itu ada enam. Karena sesungguhnya iman yang merupakan
pembenaran yang dilakukan oleh hati itu berkaitan dengan suatu makna yang
dijadikan pegangan dengan 6 perkara tersebut.
فَالْإِيْمَانُ لُغَةً مُطْلَقُ التَّصْدِيْقِ سَوَاءٌ كَانَ بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ أَوْ بِغَيْرِهِ. وَشَرْعًا التَّصْدِيْقُ بِجَمِيْعِ مَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ لَا مُطْلَقًا.
Maka [adapun] iman menurut bahasa adalah membenarkan secara mutlak, baik
membenarkan terhadap apa saja yang telah dibawa oleh Nabi, ataupun terhadap
yang lainnya. Sedangakan [iman] menurut syara’ adalah membenarkan semua perkara
yang telah dibawa oleh Nabi saw, yaitu berupa perkara-perkara dari urusan agama
yang dapat diketahui secara dhoruriy (mudah), bukan [membenarkan] secara
mutlak.
وَمَعْنَى التَّصْدِيْقِ هُوَ حَدِيْثُ النَّفْسِ التَّابِعُ لِلْجَزْمِ سَوَاءٌ كَانَ الْجَزْمُ عَنْ دَلِيْلٍ وَيُسَمّٰى مَعْرِفَةً أَوْ عَنْ تَقْلِيْدٍ
Dan makna التَّصْدِيْقُ (membenarkan) adalah
perkataan hati yang ikut kepada kemantapan hati, baik adanya kemantapan itu
[dihasilkan] dari dalil (pembuktian) ---dan hal ini disebut ma’rifat--- ataupun
[dihasilkan] dari taqlid (pengikutan kepada orang terpercaya).
وَمَعْنٰى حَدِيْثُ النَّفْسِ أَنْ تَقُوْلَ تِلْكَ النَّفْسُ أَيِ الْقَلْبُ رَضِيْتُ بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan makna حَدِيْثُ النَّفْسِ (perkataan hati) adalah jiwamu
itu mengatakan, yakni hati itu [mengatakan]: “Aku ridho dengan apa saja yang
telah dibawa oleh Nabi saw.”
﴿غُرَّةٌ﴾ مَرَاتِبُ الْإِيْمَانِ خَمْسَةٌ أَوَّلُهَا إِيْمَانُ تَقْلِيْدٍ وَهُوَ الْجَزْمُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَعْرِفَ دَلِيْلًا. وَهُوَ يَصِحُّ إِيْمَانُهُ مَعَ الْعِصْيَانِ بِتَرْكِهِ النَّظَرَ أَيِ الْاِسْتِدْلَالَ إِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الدَّلِيْلِ.
﴾Hal penting﴿. Tingkatan-tingkatan iman itu ada lima. Tingkatan pertama adalah iman
taqlid, yaitu kemantapan hati dengan sebab [mengikuti] perkataan orang lain
tanpa mengetahui dalilnya. Dan iman semacam ini adalah sah keimannanya namun
disertai dengan maksiat karena meninggalkan berfikir, yakni [meninggalkan]
pencarian dalil, jika memamng keadaannya sebagai orang yang mampu untuk
[melakukan pencarian] dalil tersebut.
ثَانِيْهَا إِيْمَانُ عِلْمٍ وَهُوَ مَعْرِفَةُ الْعَقَائِدِ بِأَدِلَّتِهَا وَهٰذَا مِنْ عِلْمِ الْيَقِيْنِ وَكِلَا الْقِسْمَيْنِ صَاحِبُهُمَا مَحْجُوْبٌ عَنْ ذَاتِ اللّٰهِ تَعَالٰى.
Tingkatan yang kedua adalah iman ilmu, yaitu mengetahui berbagai ‘aqidah
[berikut] dengan dalil-dalilnya. Dan iman semacam ini termasuk Ilmul Yaqin. Dan
orang yang memiliki masing-masing dari dua bagian ini (iman taqlid dan iman
ilmu) terhalang dari Zat-Nya Alloh Ta’ala.
ثَالِثُهَا إِيْمَانُ عِيَانٍ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللّٰهِ بِمُرَاقَبَةِ الْقَلْبِ فَلَا يَغِيْبُ رَبُّهُ عَنْ خَاطِرِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ بَلْ هَيْبَتُهُ دَائِمًا فِيْ قَلْبِهِ كَأَنَّهُ يَرَاهُ وَهُوَ مَقَامُ الْمُرَاقَبَةِ وَيُسَمّٰى عَيْنَ الْيَقِيْنِ.
Tingkatan yang ketiga adalah iman ‘iyan, yaitu mengetahui Zat Alloh
dengan pengawasan [tata krama] hati. Maka Tuhannya (Alloh) tidak akan pernah
hilang dari lintasana hatinya sekejap matapun. Bahkan keagungan wibawa Tuhannya
senantiasa ada di dalam hatinya, seakan-akan ia dapat melihatnya. Dan iman
semacam ini adalah kedudukan muroqobah dan disebut dengan ‘Ainul Yaqin.
رَابِعُهَا ّإِيْمَانُ حَقٍّ وَهُوَ رُؤْيَةُ اللّٰهِ تَعَالٰى بِقَلْبِهِ وَهُوَ مَعْنٰى قَوْلِهِمْ اَلْعَارِفُ يَرٰى رَبَّهُ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ مَقَامُ الْمُشَاهَدَةِ وَيُسَمّٰى حَقَّ الْيَقِيْنِ وصَاحِبُهُ مَحْجُوْبٌ عَنِ الْحَوَادِثِ.
Tingkatan yang keempat adalah iman haq, yaitu [seseorang] melihat Alloh
dengan hatinya, dan [pengertian ini] adalah makna dari ucapan para ulama’:
“Orang yang ma’rifat akan melihat Tuhannya (Alloh) dalam segala sesuatu.” Dan
iman semacam ini adalah kedudukan musyahadah dan disebut dengan Haqqul Yaqin.
Dan pemiliknya akan terhalang dari [menyaksikan] seluruh makhluq.
وَخَامِسُهَا إِيْمَانُ حَقِيْقَةٍ وَهُوَ الْفَنَاءُ بِاللّٰهِ وَالسَّكَرُ بِحُبِّهِ فَلَا يَشْهَدُ إِلَّا إِيَّاهُ كَمَنْ غَرَقَ فِيْ بَحْرٍ وَلَمْ يَرَ لَهُ سَاحِلًا.
Dan tingkatan yang kelima adalah iman hakikat, yaitu fana’ (rusak dan
melebur) dengan Alloh dan mabuk dengan mencintai-Nya. Maka ia tidak dapat
menyaksikan [apapun] kecuali hanya kepada-Nya. Seperti orang yang tenggelam di
lautan dan pantai tidak terlihat
olehnya.
وَالْوَاجِبُ عَلَى الشَّخْصِ أَحَدُ الْقِسْمَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ وَأَمَّا الثَّلَاثَةُ الْاُخَرُ فَعُلُوْمٌ رَبَّانِيَّةٌ يَخُصُّ بِهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ.
Dan yang wajib atas individu adalah salah satu dari dua bagian yang pertama (iman
taqlid dan iman ilmu). Dan adapun tiga bagian yang lain adalah merupakan
ilmu-ilmu robbaniyah (ilmu-ilmu ketuhanan) yang Alloh meng-khususkan dengannya kepada siapa saja yang Dia
kehendaki diantara para hamba-Nya.
Thursday, April 19, 2018
TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.34
﴿وَ﴾ خَامِسُهَا ﴿حِجُّ الْبَيْتِ﴾ أَيْ قَصْدُهُ لِلْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ ﴿مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا﴾ وَ هُوَ مِنَ الشَّرَائِعِ الْقَدِيْمَةِ بَلْ مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَحَجَّ خِلَافًا لِمَنِ اسْتَثْنٰى هُوْدًا وَصَالِحًا.
﴾Dan﴿ rukun Islam yang kelima adalah ﴾berhaji ke Baitulloh﴿ yakni menuju Baitulloh untuk melaksanakan haji atau umroh ﴾oleh orang yang telah mampu melakukan perjalanan menuju ke Baitulloh﴿. Dan, haji termasuk di antara syariat-syariat yang terdahulu, bahkan tidak ada di antara para Nabi, melainkan pasti sudah pernah beribadah haji. Berbeda halnya dengan pendapat ulama yang mengecualikan Nabi Hūd dan Nabi Sholiḥ.
وَرُوِيَ أَنَّ آدَمَ حَجَّ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً مِنَ الْهِنْدِ مَاشِيًا وَعِيْسٰى يَحْتَمِلُ أَنَّهُ حَجَّ قَبْلَ رَفْعِهِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ أَنَّهُ يَحُجُّ حِيْنَ يَنْزِلُ الْأَرْضَ.
Dan diriwayatkan bahwa Nabi Ādam berhaji selama 40 tahun dari India dengan berjalan kaki. Sedangkan Nabi ‘Īsā dimungkinkan [dua hal], yaitu bahwasanya beliau berhaji sebelum diangkatnya beliau ke langit, atau bahwasanya beliau akan berhaji ketika beliau turun kembali ke bumi.
وَفِي الْخَبَرِ: مَنْ قَضٰى نُسُكَهُ وَ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ يَدِهِ وَ لِسَانِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ مَا تَأَخَّرَ. وَ إِنْفَاقُ الدِّرْهَمِ الْوَاحِدِ فِيْ ذٰلِكَ يُعْدِلُ أَلْفَ أَلْفٍ فِيْمَا سِوَاهُ رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ.
Dan di dalam hadits [disebutkan]: “Siapa saja yang menunaikan ibadah hajinya, dan manusia selamat dari tangannya dan lidahnya, maka niscaya diampuni baginya segala sesuatu yang terdahulu dari dosanya, dan segala sesuatu yang akan datang [dari dosa-dosanya]. Dan ber-infak satu dirham dalam menjalankan haji adalah membandingi sejuta ganjaran di waktu selain haji.” Hadits riwayat Imām at-Turmudzī.
وَوَرَدَ فِي الْخَبَرِ: أَنَّ الْبَيْتَ الْحَرَامِ يَحُجُّهُ كُلَّ عَامٍ سَبْعُوْنَ أَلْفًا مِنَ الْبَشَرِ فَإِذَا نَقَصُوْا عَنْ ذٰلِكَ أَتَمَّهُمُ اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، وَإِذَا زَادُوْا عَلٰى ذٰلِكَ يَفْعَلُ اللّٰهُ مَا يُرِيْدُ، وَأَنَّ الْبَيْتَ الْمَعْمُوْرَ فِي السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ تَحُجُّ إِلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ كَمَا تَحُجُّ الْبَشَرُ إِلَى الْبَيْتِ الْحَرَامِ.
Dan disebutkan di dalam hadits: “Sesungguhnya Baitulloh al-Ḥarām, akan berhaji ke sana setiap tahun sebanyak 70,000 manusia. Lalu apabila para manusia kurang dari jumlah itu, maka Alloh ‘azza wa jalla menyempurnakan mereka dengan para malaikat. Dan apabila berlebih para manusia dari jumlah tersebut, maka Alloh Maha berbuat apapun yang Dia kehendaki. Dan sesungguhnya Baitul Ma’mur di langit ke empat, akan berhaji para malaikat kesana, sebagaimana para manusia berhaji ke Baitulloh al-Harom.“
﴿نُكْتَةٌ﴾ حُكِيَ عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ الْمُنْكَدِرِ أَنَّهُ حَجَّ ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ حَجَّةً. فَلَمَّا كَانَ آخِرَ حَجَّةٍ حَجَّهَا قَالَ وَهُوَ بِعَرَفَاتٍ: اَللّٰهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّيْ وَقَفْتُ فِيْ مَوْقِفِيْ هٰذَا ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ وَقْفَةً فَوَاحِدَةٌ عَنْ فَرْضِيْ وَالثَّانِيَةُ عَنْ أَبِيْ وَالثَّالِثَةُ عَنْ أُمِّيْ. وَأَشْهَدُكَ يَا رَبِّ أَنِّيْ قَدْ وَهَبْتُ الثَّلَاثِيْنَ لِمَنْ وَقَفَ مَوْقِفِيْ هٰذَا وَلَمْ تَتَقَبَّلْ مِنْهُ.
﴾Masalah Lembut﴿ Diceritakan dari Syekh Muḥammad bin al-Munkadir [wafat 131 H.] bahwasanya beliau berhaji sebanyak 33 kali haji. Lalu tatkala beliau berada di akhir haji yang dilaksanakannya, beliau berkata di saat beliau berada di ‘Arafah: “Ya Alloh, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku telah wuqūf di tempat wuqūf-ku ini sebanyak 33 kali. Maka satu kali wuqūf untuk [menunaikan] kewajibanku, dan wuqūf yang kedua untuk bapakku, dan wuqūf yang ketiga untuk ibuku. Dan aku bersaksi kepada-Mu wahai Tuhanku, sesungguhnya aku meng-hibah-kan 30 kali wuqūf-ku kepada siapa saja yang wuqūf di tempat wuqūf-ku ini, sedangkan Engkau tidak menerima wuqūf orang itu.
فَلَمَّا دَفَعَ أَيْ رَحِلَ مِنْ عَرَفَاتٍ نُوْدِيَ يَا ابْنَ الْمُنْكَدِرِ أَتَتَكَرَّمُ عَلَى مَنْ خَلَقَ الْكَرَمَ وَالْجُوْدَ وَعِزَّتِيْ وَجَلَالِيْ قَدْ غَفَرْتُ لِمَنْ يَقِفُ فِيْ عَرَفَاتٍ قَبْلَ أَنْ أَخْلُقَ عَرَفَاتٍ بِأَلْفِ عَامٍ.
Lalu tatkala beliau bertolak yakni berangkat meninggalkan ‘Arofah, maka beliau diseru: “Hai Ibnul Munkadir, apakah engkau akan bersikap dermawan kepada Dzat yang telah menciptakan kedermawanan dan kemurah-hatian. Demi kemuliaan-Ku dan Keagungan-Ku, sungguh Aku telah memberi ampunan kepada siapa saja yang wuqūf di ‘Arofah sebelum Aku menciptakan ‘Arofah seribu tahun [sebelumnya].”
﴿تَوْضِيْحٌ﴾ قَوْلُهُ حِجُّ بِفَتْحِ الْحَاءِ وَكَسْرِهَا وَهُوَ مَصْدَرٌ مُضَافٌ لِمَفْعُوْلِهِ وَمَنْ فَاعِلُهُ وَهُوَ اسْمُ مَوْصُوْلٍ مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُوْنِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ. وَالتَّقْدِيْرُ وَأَنْ يَحُجَّ الْبَيْتَ الْمُسْتَطِيْعُ.
﴾Keterangan Tambahan﴿. Ucapan pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair]. “حِجُّ” dengan di-fatḥah-kan huruf ḥā’-nya, dan dapat di-kasrah-kan huruf ḥā’-nya. Lafazh tersebut merupakan mashdar yang di-idhofah-kan kepada maf‘ūl-nya, dan kalimah مَنْ sebagai fā‘il-nya, dan kalimah مَنْ adalah isim maushūl yang mabnī atas sukūn dalam kedudukan rofa‘. Dan perkiraan kalimatnya adalah وَأَنْ يَحُجَّ الْبَيْتَ الْمُسْتَطِيْعُ (Dan mestilah berhaji ke Baitulloh orang yang mampu).
وَمِثْلُ ذٰلِكَ مَا فِي الْحَدِيْثِ الَّذِيْ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَهُوَ قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ إِلَى أَنْ قَالَ: وَ حِجُّ الْبَيْتِ كَمَا قَالَهُ عَلِيٌّ الْأَشْمُوْنِيُّ فِيْ كِتَابِهِ الْمُلَقَّبِ بِمَنْهَجُ السَّالِكِ.
Dan hal serupa dengan hal itu adalah kalimah yang terdapat di dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh asy-Syaikhān (Imām Bukhārī dan Imām Muslim), yaitu sabda Nabi s.a.w.: “Islam didirikan atas lima perkara”, sampai sabda “dan pergi haji ke Baitulloh”, sebagaimana Syaeh ‘Alī al-Asymūnī mengatakannya di dalam kitab beliau, yang diberi nama dengan Manhajus Sālik.
وَأَمَّا حِجُّ الْبَيْتِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا، فَلَا يُتَعَيَّنُ مَنْ لِلْفَاعِلِيَّةِ بَلْ يُحْتَمَلُ كَوْنُهُ بَدَلًا مِنَ النَّاسِ بَدَلَ بَعْضٍ مِنْ كُلٍّ حُذِفَ رَابِطُهُ لَفَهْمِهِ أَيْ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْهُمْ.
Dan adapun kalimat حِجُّ الْبَيْتِ di dalam firman Alloh Ta‘ālā "…. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitulloh....” (Āli ‘Imrān: 97). Maka tidak dipastikan lafazh مَنْ sebagai fā‘il, akan tetapi dimungkinkan keberadaannya sebagai badal (pengganti) dari lafazh النَّاسِ, yaitu badal sebagian dari keseluruhan, dibuang “lafazh penghubungnya” karena sudah dipahami, perkiraan kalimatnya adalah: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْهُمْ (Siapa saja yang telah mampu dari mereka).
وَأَنْ يَكُوْنَ مُبْتَدَأً خَبَرُهُ مَحْذُوْفٌ أَيْ فَعَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ، أَوْ شَرْطِيَّةً جَوَابُهَا مَحْذُوْفٌ أَيْ فَلْيَحُجَّ كَمَا قَالَهُ مُحَمَّدٌ الصَّبَّانُ فِيْ حَاشِيَتِهِ.
Dan [dimungkinkan] keadaannya sebagai mubtada’ yang khabar-nya dibuang, maksudnya adalah فَعَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ (maka yang wajib baginya adalah berhaji)”, atau sebagai syarath, yang jawab syarath-nya dibuang, perkiraan kalimat-nya adalah فَلْيَحُجَّ (maka hendaklah ia berhaji), sebagaimana Syeh Muḥammad ash-Shobbān telah mengatakan hal itu di dalam kitab Ḥāsyiyah beliau.
وَقَوْلُهُ إِلَيْهِ عَائِدٌ إِلَى الْبَيْتِ مُتَعَلِّقٌ بِاسْتَطَاعَ.
Dan ucapan pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair]: “إِلَيْهِ” sebagai ‘Ā’id [perkara yang kembali] kepada lafazh al-Bait, yang berketerkaitan dengan lafazh “اِسْتَطَاعَ”.
وَسَبِيْلًا إِمَّا مَفْعُوْلٌ بِهِ لِاسْتَطَاعَ أَوْ تَمْيِيْزٌ عَلٰى مَا اسْتَحْسَنَهُ شَيْخُنَا عُمَرُ الْبَقَاعِيُّ وَعُمَرُ الْجَبْرَتِيُّ أَيْ مِنْ جِهَةِ السَّبِيْلِ.
Dan lafazh “سَبِيْلًا” adakalanya menjadi maf‘ūl bih bagi kalimah "اِسْتَطَاعَ" atau menjadi tamyīz, menurut pendapat yang telah dianggap baik oleh guru kami Syeh ‘Umar al-Baqo‘ī, dan Syeh ‘Umar al-Jabrotī, yakni dari arah (segi) jalannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)