بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ عَلٰى قُطْبِ السَّالِكِيْنَ وَالْمَجْذُوْبِيْنَ سَيِّدِنَا
وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَرْبَابِ الْأَحْوَالِ
الْعَاشِقِيْنَ أَمَّا بَعْدُ:
Jadzab
menurut bahasa berasal dari fi'il maadli: جَذَبَ-يَجْذِبُ–جَذْبًا
yang berarti “menarik”.
Sedangkan al-Majdzub/اَلْمَجْذُوْبُ adalah bentuk Isim maf'ulnya yang berarti “Orang yang
ditarik”.
Jadzab menurut istilah tasawuf ialah: Penarikan langsung dari Alloh
Swt terhadap para hamba yang dikehendakinya, untuk dikenalkan kepada
kesempurnaan dzatnya, sifat-sifatnya, asma-asmarnya dan atsar-atsarnya.
Dengan dzauq yang dikaruniakan Alloh atas hamba-hambanya yang
mengalami jadzab ini, mereka bisa menyaksikan kesempurnaan dzatnya secara nyata.
Kemudian setelah itu mereka baru bisa memahami keterkaitan
sifat-sifat Alloh atas kesempurnaan dzat-Nya yang maha segala-galanya.
Kemudian mereka baru dikenalkan kepada makhluk-makhluk Alloh, yang
tak lain adalah atsar dari keagungan dan kesempurnaan dzat-Nya semata. Maka tak
heran, jika para wali yang mengalami jadzab ini sering kali mengatakan: "Aku
tidak melihat sesuatu, melainkan aku telah melihat Alloh terlebih dahulu".
Yang pertama kali dikenal oleh wali-wali jadzab ini adalah hakekat
dzat Alloh yang maha suci. Kemudian setelah itu baru sifat-sifat-Nya, kemudian
menyaksikan keterkaitan asma-asma Alloh dengan atsar-atsar-Nya (makhluk-makhluknya), kemudian baru dikenalkan terhadap keberadaan para makhluk.
menyaksikan keterkaitan asma-asma Alloh dengan atsar-atsar-Nya (makhluk-makhluknya), kemudian baru dikenalkan terhadap keberadaan para makhluk.
Keadaan orang yang jadzab ini merupakan kebalikan dari orang-orang
yang suluk (Saalikin). Karena yang pertama kali di saksikan oleh orang
yang suluk bukanlah dzat Alloh, namun Atsar Alloh (para makhluk),
kemudian tajalli af'al (penampakan atas perbuatan-perbuatan Alloh),
kemudian tajalli asma (penampakan asma-asma Alloh), kemudian tajalli
sifat (penampakan sifat-sifat Alloh), kemudian baru tajalli dzat (penampakan
atas kesempurnaan dzat Alloh).
Ketauhilah sesungguhnya jadzab itu manakala tidak dilalui dengan
jalan suluk yang lurus, maka jadzab semacam ini tidak lebih dari tingkah-polah
orang gila belaka. Paling-paling yang didapat hanyalah kebebasan dari siksa dan
tuntutan-tuntutan Syara' yang dibebankan atas orang-orang mukallaf (karena
termasuk dalam kategori orang gila). Karena sesungguhnya orang yang jadzab ini
tidak termasuk golongan orang-orang mukallaf sebagaimana di terangkan di dalam
kitab al-Mathoolib al-Wafiyyah.
Demikian pula orang yang suluk di jalan Alloh dengan mengikuti
perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya, tanpa dikaruniai jadzab
(penarikan), maka tidaklah banyak berarti, melainkan hanya menjadikannya
sebagai ahli ibadah dan orang yang ahli ilmu dhohir belaka.
Masyarakat menganggapnya sebagai orang yang punya kedudukan, karena
menguasai ilmu syari'at dan ahli ibadah, namun sebenarnya di hadapan Alloh
tidak memiliki kedudukan apapun, karena sama sekali tidak mengenali Alloh, baik
keagungan dzat-Nya, Sifat-Nya maupun Af'aal-Nya.
Adapun yang tergolong kekasih Alloh yang khusus dan teramat
Istimewa tak lain hanyalah orang yang suluk di jalan Alloh, kemudian mengalami
jadzab, kemudian kembali suluk di jalan Alloh.
Sesungguhnya hukum-hukum Syari'at itu manakala diamalkan dengan
sepenuh hati, maka akan membawa seseorang menuju haal jadzab (penarikan ke hadhirat
ilaahi) secaraperlahan, namun pasti.
Sedangkan amal yang tidak sesuai ketentuan Syara' itu akan jauh
sekali dari haal jadzab, karena sesungguhnya amal bidh'ah itu di tolak oleh
Alloh dan sama sekali tidak membawa atsar ruhaniah apapun terhadap qalbunya.
Amal-amal bidh'ah itu buruk sekali akibatnya, terlebih perbuatan-perbuatan
maksiat yang melanggar syari'at.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an, Hadits-hadits Nabi Saw, Siirah
para Sahabat, Taabi'in dan para Auliya' yang menerangkan perihal jadzab ini.
Antara lain firman Alloh:
فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَخَرَّ
مُوْسٰى صَعِقًا
"Tatkala
Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan".
(QS. al-A'rof : 143)
Alloh juga berfirman:
اَللّٰهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ
تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ إِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ
"Alloh
Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa, lagi
berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Alloh". (QS. az-Zumar : 23)
Rosululloh Saw bersabda:
أَقِيْلُوْا ذَوِى الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا
الْحُدُوْدَ
"Ampunilah
kesalahan orang-orang yang bertingkah (nyleneh) itu, kecuali dalam masalah Hudûd".
Asy-Syafi'i menafsiri Dzawil Hai’aat ini dengan tafsiran:
Orang-orang yang secara tidak sadar melakukan keburukan karena tidak bisa
membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Suatu ketika ditanyakan kepada Ibnu Suraij, perihal Husain
Al-Halaj yang sering berkata: "Ana Al-Haq" (aku ini yang
maha haqq).
Beliau menjawab: "Al-Halaj ini laki-laki penuh misteri, aku
tidak berani mengomentarinya". Ibnu Suraij memilih diam dan menahan diri.
Sementara itu Al-Qodli Abu Amr, Al-Junaid dan para Fuqoha' yang
sezaman dengan al-Halaj, memberikan fatwa : "Bahwa al-Hallaj ini telah
melakukan kekufuran".
Kemudian Khalifah Al-Muqtadir memerintahkan untuk menghukum
al-Hallaj dengan seribu kali cambukan, dan jika setelah itu belum mati, supaya
dipotong saja kedua tangan dan kakinya serta di pancung lehernya. Peristiwa tragis
ini terjadi pada bulan Dzulhijjah sekitar tahun 309 H.
Umat islam pun berbeda pendapat dalam menyikapi Al-Hallaj. Sebagian
sangat mengkultuskannya, sementara itu banyak juga yang menghukumi
"kafir", dengan alasan Al-Hallaj di bunuh dengan pedang syar'i.
Termasuk di antaranya Ibnu Al-Muqri yang menghukumi kafir terhadap
orang-orang yang meragukan kekufuran Ibnu Al-Arabi dan orang yang sepaham
dengannya.
Dengan dalih apa yang sering mereka katakan itu (menurut
lahiriahnya) merupakan paham "Manunggaling kawula Gusti".
Demikian itu sebenarnya hanya menurut pemahaman mereka saja. Karena
sesungguhnya Ibnu Al-Arabi dan para pengikutnya itu mempunyai istilah-istilah tersendiri
yang tidak sama dengan kebanyakan istilah ulama dhohir.
Berkata Syaikh Ahmad bin Shidiq di dalam kitab Tanwirul hijaa:
"Hendaknya urusan orang-orang jadzab ini di serahkan saja kepada Alloh
Swt, namun di dalam hati, kita harus tetap mengingkari perbuatan-perbuatannya
yang tidak sesuai Syari'at. Karena sesungguhnya kita semua berkewajiban menjaga
syari'at Alloh di muka bumi ini sebisa mungkin.
Syeikh Ibnu Tilmisani berkata: "Janganlah engkau mencela orang
yang sedang dimabuk cinta, karena sesungguhnya orang yang mabuk itu bebas dari
tuntutan syara'".
Berkata Syeikh Muhammad Husain Ali Al-Maliki: “Mereka (orang-orang
jadzab) itu melakukan maksiat karena tidak bisa menghindar, sebagaimana orang
yang terpelanting dari tempat yang tinggi".