AL-HAMDU, SALAM, SHOLAWAT, NABI DAN ROSUL, TAUHID, MABADI'
'ASYROH DAN AD-DIN
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰى صِلَاتِهِ ☼ ثُمَّ سَلَامُ اللّٰهِ مَعْ صَلَاتِهِ
عَلٰى نَبِيٍّ جَاءَ بِالتَّوْحِيْدِ ☼ وَقَدْ عَرَى الدِّيْنُ عَنِ التَّوْحِيْدِ
“Segala puji bagi
Alloh karena pemberianNya, ☼ kemudian salamulloh beserta salawat-Nya”
“Semoga tercurahkan
kepada seorang Nabi yang datang membawa tauhid ☼ padahal sebelumnya agama sungguh sunyi dari tauhid”
Al-Hamdu (اَلْحَمْدُ) menurut bahasa adalah: pujian dengan kalam untuk kebagusan yang ikhtiari (diusahakan)
dengan maksud mengagungkan, baik pujian itu dikarenakan satu kenikmatan atau
tidak.
Contoh pujian dikarenakan satu kenikmatan adalah: زَيْدٌ كَرِيْمٌ (Zaed seorang
yang mulia) dimana ucapan ini kita
sampaikan setelah Zaed memberikan penghormatan kepada kita.
Contoh pujian yang tidak dikarenakan
satu kenikmatan adalah: زَيْدٌ رَجُلٌ صَالِحٌ (Zaed seorang lelaki yang
salih) dimana ucapan ini kita
sampaikan setelah kita melihatnya melakukan salat dengan khusyuk.
Rukun al-Hamdu ada lima:
1.
Hamid (حَامِدٌ
= orang yang memuji)
2.
Mahmud (مَحْمُوْدٌ = orang yang dipuji)
3.
Mahmud bih (مَحْمُوْدٌ بِهِ = inti
dari lafaz pujian)
4.
Mahmud alaih (مَحْمُوْدٌ عَلَيْهِ = faktor
yang membangkitkan pujian)
5.
Shighot (صِيْغَةٌ = lafaz
pujian)
Contoh:
Ahmad memberikan sejumlah hadiah kepada Umar, lalu
Umar berkata kepada Ahmad: “Engkau orang yang dermawan”. Maka Umar sebagai
hamid, Ahmad sebagai mahmud, inti dari lafaz pujian yakni kedermawanan sebagai
mahmud bih, perbuatan memberi sejumlah hadiah sebagai mahmud alaih dan ucapan
“Engkau seorang yang dermawan” sebagai shighot.
Al-Hamdu (puji-pujian) itu ada empat macam:
1.
Puji Qodim bagi Qodim yakni pujian Alloh
kepada diri-Nya dengan diri-Nya sendiri. Contohnya adalah firman Alloh: نِعْمَ الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ
="Dialah Alloh sebagai
pelindung dan penolong terbaik”.
2. Puji Qodim
bagi Hadis yakni pujian Alloh kepada para nabi, para wali dan orang-orang yang
suci hatinya. Contohnya adalah firman Alloh kepada Nabi
kita Muhammad Saw. وَإِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٌ = “Sesungguhnya engkau wahai Muhammad
benar-benar memiliki perilaku yang agung”.
3. Puji Hadis bagi Qodim
yakni pujian kita (sekalian makhluk) kepada Alloh Swt. Contohnya
adalah ucapan Nabi Isa As. sebagai pujiannya kepada Alloh Swt.: تَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ
وَلَا أَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ = “Engkau mengetahui apa
yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam
diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui terhadap perkara-perkara
yang gaib".
4. Puji Hadis bagi Hadis yakni
pujian kita kepada sebagian kita yang lain. Contohnya adalah ucapan Rosululloh Saw.
yang memuji Abu Bakar Ra.: مَا
طَلَعَتِ الشَّمْسُ وَمَا غَرَبَتْ مِنْ بَعْدِيْ عَلٰى رَجُلٍ أَفْضَلَ مِنْ
أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ
= “Sepeninggalku
nanti matahari tidak terbit dan tidak pula terbenam kepada seseorang yang lebih
utama dibanding Abu Bakar shidiq".
Juga seperti ucapan kita dengan: نِعْمَ الرَّجُلُ زَيْدٌ = “Sebaik-baik lelaki
adalah Zaed”.
Ungkapan “untuk kebagusan yang ikhtiari” maksudnya
adalah untuk kebagusan yang merupakan hasil usaha meskipun dia adalah kebagusan
pada keyakinan orang yang dipuji (mahmud) dan persangkaan pada orang yang
memuji (hamid).
Dikecualikan
dengan kata-kata ikhtiari itu sesuatu yang idhthirori (sudah pasti, tanpa perlu
diusahakan) karena pujian terhadapnya tidak dinamai dengan al-Hamdu melainkan
al-Madhu (اَلْمَدْحُ)
seperti: مَدَحْتُ
اللُؤْلُؤَةَ عَلٰى حُسْنِهَا = "Saya memuji
batu permata itu karena keindahannya". Jadi tidak
diungkapkan pujian di situ dengan حَمِدْتُهَا.
Ungkapan “dengan
maksud mengagungkan” -sebagaimana dalam definisi itu- adalah untuk
mengecualikan pujian yang dimaksudkan sebagai ejekan dan olok-olokan seperti ucapan malaikat kepada Abu Jahal: ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ عَزِيْزُ الْكَرِيْمُ = "Rasakanlah
(azab itu)! Sesungguhnya engkau merasa dirimu perkasa lagi
mulia".
Yang
demikian itu adalah karena Abu Jahal -semoga Alloh melaknatinya- pernah berkata: أَنَا
أَعَزُّ الْبَوَادِيْ وَأَكْرَمُهُمْ = "Sayalah orang baduwi yang paling perkasa dan
paling mulia”. Maka
malaikat penjaga neraka mengucapkan yang demikian itu sebagai olok-olokan untuk
Abu Jahal.
Adapun pengertian al-Hamdu menurut
istilah adalah: “Suatu perbuatan
yang melambangkan pengagungan kepada sang pemberi nikmat dari segi kedudukannya
sebagai zat yang memberi nikmat kepada orang yang memuji atau selainnya, baik
perbuatan itu berupa ucapan dengan lidah, i’ktikad
dengan hati ataupun amalan dengan anggota-anggota tubuh sebagaimana dikatakan:
أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ
مِنِّيْ ثَلَاثَةً ☼ يَدِيْ وَلِسَانِيْ وَالضَّمِيْرَ
الْمُحَجَّبَا
“Nikmat-nikmat itu telah menyampaikan kepadamu tiga perbuatan
dariku ☼ yakni perbuatan tanganku,
lidahku dan hatiku yang terhijab”.
Makna Salamulloh (سَلَامُ اللّٰهِ) adalah penghormatan Alloh Swt. yang pantas dengan
kedudukan Nabi kita Muhammad Saw. Penghormatan
yang pantas untuk beliau sebagaimana diterangkan oleh Sanusi dalam syarah
al-Jaza'iriyyah adalah bahwa Alloh
memperdengarkan kepada beliau kalam-Nya yang
Qadim yang menunjukkan ketinggian maqomnya
yang agung.
Sebagian ulama
tidak menyetujui penafsiran salam dengan “keamanan” -meski disebutkan oleh
Sanusi dan yang lainnya- karena penafsiran itu mengesankan “ketakutan”
sedangkan Nabi Saw. bahkan juga
para pengikutnya tidak ada ketakutan atas mereka. Akan tetapi kalau ada riwayat
yang menyebutkan perihal takutnya Nabi
Saw. maka ketakutan itu adalah dalam rangka penghormatan dan pengagungan sebagaimana sabda Nabi
Saw.: إِنِّيْ لَأَخْوَفُكُمْ مِنَ اللّٰهِ = “Sesungguhnya
aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah Swt”.
Mengenai makna Sholawat
ada dua pendapat:
1. Rahmat yang disertai
pengagungan
2. Semata-mata rahmat, baik
disertai pengagungan atau tidak.
Menurut mayoritas ulama, sholawat itu kalau datangnya dari Alloh maka maknanya adalah rahmat, kalau datang dari malaikat
maknanya adalah istighfar dan kalau datang
dari selain mereka maknanya adalah doa.
Sholawat
itu dapat memberi manfaat kepada Nabi kita Muhammad Saw. sebagaimana
juga pada sekalian nabi. Akan tetapi seyogyanya kita tidak menyatakan yang demikian kecuali pada maqom ta'lim (tempat pengajian)
sebagaimana diisyaratkan oleh sebagian ulama:
وَصَحَّحُوْا بِأَنَّهُ يَنْتَفِعُ ☼ بِذِي الصَّلَاةِ شَأْنُهُ مُرْتَفِعُ
لٰكِنَّهُ لَا يَنْبَغِي التَّصْرِيْحُ ☼ لَنَا بِذَا الْقَوْلِ وَذَا صَحِيْحُ
“Mereka mensahihkan bahwa Nabi Muhammad beroleh manfaat dengan sholawat itu hingga
keadaannya bertambah tinggi.
“Akan tetapi tidaklah sepatutnya bagi kita untuk
menyatakan pendapat ini (secara terbuka), dan inilah yang sahih”.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa manfaat
itu hanya kembali pada diri orang yang bersholawat karena Nabi Saw.
telah sampai pada derajat kesempurnaan yang tertinggi. Namun pendapat ini
tertolak karena tidak ada satu kesempurnaan pun kecuali di sisi Alloh ada
yang lebih sempurna lagi. Dan sesuatu yang sempurna masih bisa menerima
kesempurnaan. Akan tetapi tidaklah pantas bagi orang yang bersholawat
untuk memperhatikan hal yang seperti itu. Hendaknya dia memperhatikan bahwa dia
bertawasul dengan Nabi Saw. di sisi Tuhannya dalam rangka mencapai segala
maksud dan tujuannya. Jadi janganlah orang yang bersholawat
itu bermaksud dengan sholawatnya tersebut untuk memberi manfaat kepada Nabi
Muhammad Saw. melainkan hendaknya dia maksudkan untuk tawasul.
Kata-kata Nabi jika diambil dari lafaz اَلنَّبَأُ yang berarti pemberitahuan maka maknanya ada dua:
1.
Bermakna mukhbir (مُخْبِرٌ)
yakni orang yang memberitahukan kepada kita tentang hukum-hukum dari Alloh Swt. jika dia nabi
sekaligus rosul. Adapun jika dia hanya seorang
nabi maka dia memberitahukan kepada kita tentang keadaannya sebagai nabi agar
dia dihormati.
2.
Bermakna mukhbar
(مُخْبَرٌ) yakni orang yang diberitahukan oleh Jibril tentang
Allah Swt.
Adapun jika diambil dari lafaz اَلنُّبُوَّةُ yang berarti ketinggian maka maknanya juga ada dua:
1. Orang yang menaikkan derajat
para pengikutnya.
2. Orang yang dinaikkan
derajatnya.
Para ulama memberikan definisi Nabi sebagai berikut:
إِنْسَانٌ ذَكَرٌ حُرٌّ مِنْ بَنِيْ آدَمَ سَلِيْمٌ عَنْ
مُنَفِّرٍ طَبْعًا أُوْحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ يَعْمَلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يُؤْمَرْ
بِتَبِلِيْغِهِ
“Manusia laki-laki yang merdeka dari keturunan Adam yang
selamat dari kondisi menjijikkan yang diwahyukan syari’at kepadanya dan dia mengamalkannya meski tidak diperintah
untuk menyampaikannya".
Mengenai Rosul, definisinya seperti itu juga namun dikaitkan dengan وَأُمِرَ بِتَبِلِيْغِهِ = “dan dia diperintah untuk
menyampaikannya".
Penyebutan kata “manusia” mengecualikan
hewan-hewan yang lain dan jatuh kafir orang yang berkata فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ نَذِيْرٌ dengan makna bahwa di setiap kelompok hewan ada rosulnya.
Penyebutan kata “laki-laki” mengecualikan perempuan
berdasarkan pendapat bahwa perempuan juga dikatakan dengan insan. Adapun jika
perempuan dikatakan dengan insanah maka cukuplah dia dikecualikan dengan lafaz
insan itu.
Pendapat tentang kenabian Siti Maryam, Asiyah
isteri Fir’aun, Siti Hawa dan ibu Musa yang bernama Yuhaniza adalah
pendapat yang lemah. Penulis kitab Bad'ul Amali berkata:
وَمَا كَانَتْ نَبِيًّا قَطْ اُنْثٰى ☼ وَلَا عَبْدٌ وَشَخْصٌ ذُوْ فَعَّالِ
“Tidaklah
sekali-kali perempuan itu menjadi nabi, ☼ tidak pula hamba sahaya dan orang
yang berkelakuan buruk”.
Penyebutan kata “yang merdeka” mengecualikan budak. Mengenai status
Lukmanul Hakim sebagai budak tidaklah mengapa karena dia bukan nabi berdasarkan
riwayat bahwa dia adalah murid 1000 orang nabi.
Penyebutan kata “dari keturunan Adam” mengecualikan jin dan malaikat
berdasarkan pendapat bahwa al-insan terambil dari kata an-naus (اَلنَّوْسُ)
yang artinya bergerak. Seseorang dikatakan dengan نَاسٌ apabila dia bergerak. Maka tercakuplah jin dan malaikat
sehingga perlu mengecualikan keduanya dengan kata “dari keturunan Adam”.
Adapun berdasarkan pendapat bahwa al-insan terambil dari kata al-ins “اَلْإِنْسُ”
(manusia) maka khususlah ia dengan “keturunan Adam” sehingga tidak perlu lagi
mengecualikan jin dan malaikat dengan kata tersebut.
Penyebutan kata “yang selamat dari kondisi
menjijikkan” mengecualikan orang yang tidak selamat daripadanya. Maka orang
yang buta, kusta dan lepra tidaklah menjadi nabi dan tidak juga menjadi rosul.
Hal ini tidak dibantah dengan peristiwa yang menimpa Nabi Ayyub dan kebutaan
yang menimpa Nabi Ya'kub karena itu adalah perkara yang bersifat zahir saja,
bukan sebenarnya. Dan tidak juga dibantah andai yang
demikian itu adalah perkara sebenarnya karena
datangnya itu sesudah nyata kenabian sedangkan pembicaraan di sini adalah pada
perkara yang mengiringi kenabian.
Mengenai jumlah para nabi terdapat
perbedaan pendapat. Sebagian ulama mengatakan 124.000, sebagian lagi mengatakan
200.024. Jumlah para rosul pun demikian juga. Ada yang mengatakan 313,
yang lain mengatakan 314 dan yang lainnya lagi mengatakan 315. Yang paling
selamat adalah menahan diri dari yang demikian karena Allah Swt.
berfirman:
مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ
نَقْصُصْ عَلَيْكَ
"Sebagian di antara mereka ada yang Kami ceritakan
kepadamu dan yang sebagian lagi tidak Kami ceritakan". (QS. Al-Mukmin: 78)
Nabi Muhammad diutus oleh Alloh
ketika berumur 40 tahun kepada sekalian mukalaf dari kalangan jin dan manusia.
Penyebutan jin dan manusia mengecualikan malaikat karena beliau tidak diutus
kepada mereka dengan irsal taklifi (diutus untuk membebankan perintah-perintah agama) melainkan dengan irsal tasyrif (diutus untuk memberikan penghormatan) karena ketaatan para malaikat merupakan satu tabiat, tidak
perlu lagi ditaklifkan. Inilah yang dikuatkan oleh Imam ar-Romli
dalam an-Nihayah.
Berbeda dengan Ibnu Hajar dalam
at-Tuhfah dimana beliau berkata: “Dan juga rasul-Nya kepada segenap ats-tsaqalain yakni jin dan manusia
berdasarkan ijmak yang diketahui dari agama dengan pasti hingga kafirlah orang
yang mengingkarinya. Begitu juga kepada sekalian malaikat sebagaimana dikuatkan
oleh ulama muhaqqiqin seperti Subki dan para pengikutnya”.
Pada perkataan pengarang dengan جَاءَ بِالتَّوْحِيْدِ terdapat baro'atul
istihlal yakni: Pembicara atau pengarang mendatangkan di
awal pembicaraannya hal-hal yang dapat
mengindikasikan kepada apa yang dimaksudkan,
yang dalam hal ini adalah ilmu Tauhid.
Ilmu tauhid adalah: “Satu ilmu yang dengannya seseorang dapat menetapkan
akidah-akidah agama yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang meyakinkan”.
Definisi ini adalah salah satu dari Mabadi'
'Asyroh (sepuluh
prinsip) yang dinazamkan oleh sebagian ulama:“
إِنَّ مَبَادِيْ كُلِّ فَنٍّ عَشْرَةْ ☼ اَلْحَدُّ وَالْمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمْرَةْ
وَفَضْلُهُ وَنِسْبَةٌ وَالْوَاضِعْ ☼ وَالْاِسْمُ الْاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعْ
مَسَائِلُ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْضِ اكْتَفٰى ☼ وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا
“Sesungguhnya prinsip-prinsip dasar setiap bidang ilmu itu
ada sepuluh ☼ Ta'rifnya,
Maudhu'
(objek pembahasan)nya, Buahnya”
“Keutamaannya, Hubungannya, Orang pertama yang
menghimpunnya, ☼ Namanya, Dasar
pengambilannya, Hukum syara’nya”
“Dan Masalah-masalahnya. Sebagian ulama menganggap cukup dengan
sebagiannya saja ☼ dan barang siapa
mengetahui semuanya maka berhaklah ia mendapat keutamaan".
Keterangan:
1. Ta'rif ilmu Tauhid: Sudah
disebutkan terdahulu.
2. Maudhu'nya:
a.
Zat Alloh dari segi apa-apa yang wajib, mustahil dan jaiz
bagi-Nya.
b.
Zat para rosul, juga dari segi apa-apa yang wajib, mustahil
dan jaiz bagi mereka.
c. Perkara mumkin (mungkin) dari
segi dapatnya menyampaikan kepada wujud sang pencipta.
d. Perkara-perkara sam'i
(nash-nash agama) dari segi mengi’tikadkannya.
3. Buahnya: Dapat mengetahui Alloh
dengan dalil-dalil yang qath'i (pasti)
serta mendapat keberuntungan dengan
kebahagiaan abadi.
4.
Keutamaannya: Bahwa ilmu ini adalah semulia-mulia ilmu
karena keadaannya yang berhubungan dengan zat Alloh Swt. dan zat para rasul
serta hal-hal yang terkait dengannya.
5. Hubungannya: Bahwa ilmu ini adalah pokok pangkal segala ilmu agama dan apa yang selainnya adalah
sebagai cabangnya saja.
6. Orang pertama yang
menyusunnya:
a.
Abu Hasan
al-Asy'ari serta para pengikutnya.
b. Abu Manshur al-Maturidi dan
para pengikutnya.
7. Namanya: Ilmu Tauhid karena
pembahasannya mengenai keesaan Alloh adalah pembahasan yang paling masyhur (populer).
8. Dasar pengambilannya:
Dalil-dalil naqli (Al-Qur'an Hadis) dan dalil-dalil 'aqli (rasio atau nalar).
9. Hukum syara'nya: Wajib ain
atas tiap-tiap mukalaf, laki-laki maupun perempuan.
10. Masalah-masalahnya: Segala
perkara yang membahas tentang perkara wajib, jaiz
dan mustahil.
Sepuluh prinsip dasar ini dinamai juga dengan Muqaddimatul ilmu
(pembukaan ilmu).
Ad-Din “اَلدِّيْنُ” (agama), di antara maknanya menurut bahasa adalah ketaatan,
ibadah, pembalasan dan hisab. Adapun maknanya menurut istilah adalah:
Hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Alloh Swt. melalui lisan nabi-Nya.
Sesuatu itu dinamakan dengan ad-din karena kita tunduk dan patuh
kepadanya. Dinamakan juga dengan millah (مِلَّةٌ) dari segi bahwa malaikat meng-imla'
atau membacakannya kepada rosul dan rasul itu
meng-imla'nya kepada kita. Dinamakan juga dengan syara' dan syari’at dari segi bahwa Alloh mensyari’atkannya yakni
menerangkannya kepada kita melalui lisan Nabi Muhammad Saw. Maka Alloh adalah syari'
(شَارِعٌ = pembuat syari’at)
secara hakikat dan Nabi adalah syari' secara majaz.
Menurut Imam Nawawi, perkara-perkara agama itu yakni
tanda-tanda keberadaannya ada empat sebagaimana dinadhomkan oleh ulama:
أُمُوْرٌ لِدِيْنٍ صِدْقُ قَصْدٍ وَفَا الْعَهْدِ ☼ وَتَرْكٌ لِمَنْهِيٍّ كَذَا صِحَّةُ الْعَقْدِ
“Perkara-perkara
agama itu adalah: Membenarkan qoshod (tujuan), Memenuhi janji, ☼ Meninggalkan larangan dan Kesahihan i'tikad”
Makna daripada:
1.
Membenarkan qoshod
(tujuan) adalah melakukan ibadah
dengan niat yang penuh keikhlasan.
2.
Memenuhi janji adalah melaksanakan segala yang fardlu.
3.
Meninggalkan larangan adalah menjauhi segala yang
diharamkan.
4.
Kesahihan i'tikad adalah kemantapannya dengan akidah-akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah.