KEWAJIBAN MENGETAHUI AKIDAH
وَبَــــعْــــدُ فَالْــــعِلْمُ بِأَصْــــلِ الدِّيْنِ ۞ مُحَــــــــتَّمٌ يَحْــــــــتَاجُ لِلــــــــتَّبــــــــــــْيِـــــــيْنِ
لَكِنْ مِنَ التَّطْوِيْلِ كَلَّتِ الْهِمَمْ ۞ فَصَارَ فِيْهِ الْاِخْتِصَارُ مُلْتَزَمْ
“Adapun sesudah itu maka ilmu tentang pokok-pokok agama ۞ hukumnya wajib (dan dia) butuh kepada penjelasan.”
“Akan tetapi tersebab panjangnya (penjelasan) capeklah sekalian orang yang punya cita-cita ۞ maka jadilah meringkasnya itu sebagai sesuatu yang diharuskan.”
Yang dimaksud dengan wajib di sini adalah wajib menurut syara' dan tidak diizinkan meninggalkannya karena berdasarkan firman Alloh: فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ = “Ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Alloh.”
Maka wajiblah atas tiap-tiap mukalaf dengan wajib aini untuk mengetahui tiap-tiap akidah beserta dalilnya walaupun dalil ijmali. Adapun mengetahuinya dengan dalil tafshili maka hukumnya fardu kifayah.
Dalil ijmali adalah satu dalil yang tidak mampu menguraikan permasalahan dan tidak dapat melepaskan segala keraguannya. Sedangkan dalil tafshili adalah satu dalil yang mampu menguraikan permasalahan dan dapat melepaskan segala keraguannya.
Jika seseorang berkata kepada Anda: “Apa dalil atas adanya Alloh Swt?”, lalu Anda berkata: “Alam ini” dan Anda tidak tahu jihat dilalah (segi pendalilan)-nya maka dia adalah dalil ijmali. Demikian pula jika Anda tahu jihat dilalahnya namun tidak mampu melepaskan segala keraguan yang datang atasnya.
Adapun jika Anda tahu jihat dilalahnya dan mampu melepaskan segala keraguannya maka dia adalah dalil tafshili. Maka jika dikatakan kepada Anda: “Apa dalil atas adanya Alloh Swt? lantas Anda berkata: “Alam ini” dan Anda tahu jihat dilalahnya yakni dari segi barunya, imkannya atau kedua-duanya serta Anda dapat pula melepaskan segala keraguannya maka dialah dalil tafshili.
Dalam menguraikannya berdasarkan jihat dilalah yang pertama, Anda berkata: “Alam ini baru (berubah-ubah dari ada menjadi tidak ada) dan tiap-tiap yang baru pastilah ada baginya zat yang menjadikan”.
Berdasarkan jihat dilalah yang kedua, Anda berkata: “Alam ini adalah sesuatu yang mumkin (mungkin-mungkin saja) dan tiap-tiap yang mumkin pastilah ada baginya zat yang menjadikan”.
Dan berdasarkan jihat dilalah yang ketiga, Anda berkata: “Alam ini adalah sesuatu yang baru serta mumkin dan tiap-tiap yang baru serta mumkin pastilah ada baginya zat yang menjadikan”.
Adapun orang yang menghafal semua akidah dengan taklid (tanpa mengetahui dalilnya) maka para ulama berbeda pendapat. Dan yang paling sahih adalah bahwa dia itu mukmin yang berbuat maksiat jika dia mampu untuk berfikir dan tidak berbuat maksiat jika dia tidak mampu untuk berfikir.
Perkataan pengarang dengan يَحْتَاجُ لِلتَّبْيِيْنِ = “(dan dia) butuh kepada penjelasan" bertujuan untuk menerangkan motif yang mendorongnya menyusun manzumah (kitab berbentuk nazam/syair) ini. Akan tetapi penjelasan yang dimaksud oleh pengarang bukanlah penjelasan yang panjang lebar karena dikhawatirkan bisa menimbulkan kebosanan dan kejemuan, melainkan penjelasan ringkas yang dianggap mencukupi dan tidak menimbulkan rusaknya pemahaman.
No comments:
Post a Comment
Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.