Jibril memeluk Rosululloh Saw dan mencium bagian kening di antara kedua mata beliau sembari berucap kata-kata, "Naiklah, Muhammad! Engkau adalah tamu yang mulia dan akan menghadap Tuhan Yang Maha Mulia".[1]
Tanpa jeda yang lama Rosululloh dan Jibril melangkahkan kaki menaiki Mikraj. Begitu kedua kaki beliau tepat menginjak tangga yang pertama, tangga itu bergerak naik sendiri bagai sebuah eskalator.[2] Dengan kecepatan tak terkira, tangga itu membawa Rosululloh dan Jibril terbang menembus awan, menembus ozon, menembus lapisan atmosfer, terbang tinggi ke angkasa dengan taburan bintang-bintang, melayang tanpa henti sampai tiba di salah satu pintu dari beberapa pintu langit dunia. Pintu itu dikenal dengan sebutan "Bab al-Hafadzoh" (pintu para penjaga). Tidak jauh dari pintu itu terdapat malaikat Isma'il yang bertugas menjaga langit dunia dari para setan yang berusaha mencuri rahasia-rahasia langit. Malaikat perkasa itu bertempat di angkasa, tak pernah naik ke atas langit dan tak pernah turun ke bumi kecuali pada saat hari wafatnya Nabi Muhammad Saw. Ia memiliki prajurit sebanyak 70.000 malaikat yang masing-masingnya memiliki 70.000 prajurit malaikat pula. Rosululloh menyapa dan mengucapkan salam kepada malaikat Isma'il, dan ia pun membalas salam serta mendoakan kebaikan untuk beliau.
Pintu langit terlihat tertutup rapat dan terkunci. Jibril mengetuk pintu itu. Tidak lama kemudian terdengar suara dari balik pintu yang sepertinya suara sesosok malaikat penjaga pintu langit pertama, "Dengan siapa ini?"
"Ini Jibril."
"Bersama siapa engkau?"
"Muhammad."
"Apakah dia telah diutus untuk mi'raj (naik ke langit)?"
"Iya."
"Marhaban,[3] selamat datang!" kata malaikat penjaga pintu langit pertama, menyambut kedatangan Rosululloh Saw sembari membukakan pintu, "Semoga Alloh selalu memuliakan, mengagungkan, memanjangkan usianya, sebagai saudara seiman dan khalifatulloh. Dia adalah sebaik-baiknya saudara seiman dan khalifatulloh. Dia telah datang, dan dia adalah sebaik-baiknya orang yang datang."
Rosululloh Saw dan Jibril kemudian memasuki pintu langit pertama. Begitu langkah kaki Rosululloh melewati pintu, terlihat seorang laki-laki berkulit putih kemerah-merahan, berwajah tampan, berbadan gagah, dengan postur tinggi kira-kira 60 dziro' (± 29 m) dan bidang badan seukuran tujuh dziro' (± 3,4 m). Di samping kanan laki-laki itu terdapat kawanan ruh manusia dan sebuah pintu yang menebarkan semerbak aroma wangi. Sementara, di samping kirinya ada kawanan ruh manusia dan sebuah pintu yang menaburkan bau anyir. Laki-laki rupawan itu terlihat mengembangkan senyumnya tatkala memandang ke sebelah kanan. Sebaliknya, ia menampakkan muka sedih dan menangis tatkala mengarahkan pandangan ke sebelah kiri.
Di tengah-tengah pemandangan yang membingungkan ini Rosululloh Saw menyapa laki-laki itu dan mengucapkan salam. Ia pun membalas salam dan menyambut dengan santun kedatangan Rosululloh "Marhaban, selamat datang putra yang saleh dan nabi yang saleh. Berbahagialah, Muhammad. Kebaikan ada pada dirimu beserta umatmu hingga hari kiamat tiba," ucap laki-laki itu.
Rosululloh Saw tercengang. Laki-laki berperawakan tinggi besar itu ternyata mengenal beliau, bahkan menyampaikan sebuah kabar gembira. Demi menghilangkan keganjilan ini, beliau bertanya kepada Jibril: "Siapa orang ini, Jibril?"
"Dia adalah Bapakmu, Adam. Para ruh manusia itu adalah anak cucunya," jawab Jibril menjelaskan kejadian yang membingungkan ini. "Para ruh manusia yang berada di sebelah kanannya adalah penghuni surga, dan yang di sebelah kiri adalah penghuni neraka. Sementara, pintu di sebelah kanannya itu merupakan pintu surga, dan yang di sebelah kirinya merupakan pintu neraka. Adam tersenyum bahagia ketika mengarahkan pandangan ke sebelah kanan, melihat anak cucunya berbondong- bondong masuk surga. Tetapi, ketika melihat ke sebelah kiri, menyaksikan anak cucunya berbondong-bondong masuk neraka, ia amat sedih dan menangis."
Setelah cukup mendapat jawaban dari Jibril, Rosululloh Saw melanjutkan perjalanan, menyusuri mahaluasnya langit pertama. Hanya beberapa saat berlalu, terlihat kawanan manusia aneh dengan penampilan mengerikan dan perilaku menjijikkan. Keadaan para manusia itu sama dengan yang dilihat Rosululloh dalam perjalanan menuju Jerusalem, bahkan lebih menjijikkan. Jika sebelumnya azab pemakan harta riba ditampakkan dalam bentuk manusia-manusia yang berenang di sungai darah sembari memakan batu-batu, maka di langit pertama ini Rosululloh Saw melihat kondisi mereka lebih menjijikkan lagi. Mereka tergeletak, terkapar, dan tak mampu bangkit. Perut mereka membuncit sebesar rumah, menampung segala makanan yang dimakan oleh mereka dari hasil kerja dengan jalan riba. Begitu pula, azab-azab para pendusta yang lain. Di langit pertama ini, semuanya ditampakkan dalam bentuk yang lebih mengerikan dan menjijikkan.
Merasa cukup menyusuri mahaluasnya langit pertama, Rosululloh dan Jibril menempuh perjalanan Mikraj kedua. Seperti Mikraj pertama, dengan kecepatan tak terkira. Mikraj kedua membawa Rosululloh dan Jibril terbang ke langit kedua.
Dan setelah tiba, pintu langit kedua juga terlihat tertutup rapat dan terkunci. Jibril mengetuk pintu itu. Dari balik pintu kemudian terdengar suara malaikat penjaganya, "Dengan siapa ini?"
"Ini Jibril."
"Bersama siapa engkau?"
"Muhammad."
"Apakah dia telah diutus untuk mi'roj?"
"Iya."
"Marhaban, selamat datang!" kata malaikat penjaga pintu langit kedua, menyambut kedatangan Rosululloh Saw sembari membukakan pintu, "Semoga Alloh selalu memuliakan, mengagungkan, memanjangkan usianya, sebagai saudara seiman dan khalifatulloh. Dia adalah sebaik-baiknya saudara seiman dan khalifatulloh. Dia telah datang, dan dia adalah sebaik-baiknya orang yang datang."
Ketika memasuki pintu langit kedua, Rosululloh Saw melihat dua pemuda sedang duduk santai di atas sebuah balai-balai yang terbuat dari permata yaqut. Keduanya mengenakan pakaian kembar dan berambut kembar pula. Mereka adalah Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakariyya. Kedua nabi yang masih saudara sepupu dari jalur ibu itu terlihat sedang dikelilingi sekelompok orang dari umatnya. Rosululloh menyapa kedua nabi itu dan mengucapkan salam. Dengan santun, mereka berdua membalas salam dan menyambut kedatangan Rosululloh dengan berkata, "Marhaban, selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh." Lalu, kedua nabi itu merapalkan beberapa doa kebaikan untuk Rosululloh.
Tidak lama waktu berselang, di depan Rosululloh Saw kini telah tiba saatnya untuk Mi'roj selanjutnya, mengantarkan beliau dan Jibril naik ke langit ketiga. Kemudian, Rosululloh Saw melewati pintu langit ketiga melalui cara dan peristiwa yang serupa dengan langit sebelumnya. Tatkala kedua kaki Rosululloh sudah melewati pintu, nampak raut keheranan di muka beliau. Ada seseorang yang terlalu indah parasnya. Di belakangnya menyusul sekelompok orang, yang di detik kemudian Rosululloh terpaku dalam hening. Kemudian disadari oleh Rosululloh bahwa mereka adalah kaum dari orang yang berparas indah tadi, dan beliau segera mempersembahkan salam kepadanya. Setelah salam terjawab, pemilik paras indah yang berjalan paling depan itu menggumam doa beberapa ucap.
Keheranan berkelindan di benak Rosululloh Saw. Ia keluar dari mulut Rosululloh demi menghilangkan musykil. "Siapakah dia, ya Jibril?"
Jibril membisikkan sebuah nama yang bersusun empat huruf, "Dia saudaramu, يُوْسُفُ,Yusuf."[4]
Kemudian, Mi'roaj keempat turun, siap membawa Rosululloh dan Jibril naik ke langit keempat. Langit keempat dilewati dengan cara dan peristiwa yang serupa dengan langit sebelumnya, tak ada yang berbeda. Pintu langit terkunci, Jibril mengetuk, malaikat penjaga pintu kemudian membuka disertai ucapan menyambut kedatangan Rosululloh Saw dengan kata-kata yang serupa dengan penjaga pintu langit sebelumnya. Barangkali, memang demikian itulah kalimat kebudayaan atau sopan santun sosial dalam 'alam al-malakut.
Di langit keempat ini, Rosululloh Saw bertemu Nabi Idris As, seorang nabi yang dalam masa hidupnya telah diangkat ke langit oleh Alloh dan akan terus menjalani kehidupan di sana. Ucapan salam saling terlantun di antara kedua nabi yang masih dalam satu jalur nasab itu, sebelum kemudian sang kakek, Nabi Idris, merapalkan beberapa doa kebaikan untuk Rosululloh Saw.
Sejenak kemudian, Mi'roj berikutnya telah membawa Rosululloh Saw dan jibril naik ke langit kelima. Selepas pintu langit kelima terbuka dengan cara dan peristiwa yang sama persis dengan langit sebelumnya, muncullah seorang laki-laki berjenggot amat panjang, terurai hampir menyentuh pusar. Menariknya, bagian separuh yang atas dari jenggot itu berwarna putih, dan yang bawah berwarna hitam. Laki-laki ini terlihat sedang dikerumuni kawanan manusia yang rupanya dari kaum Bani Israel. Dengan suara yang jelas dan bahasa yang lugas, Rosululloh Saw sempat mendengar ia tengah berkisah tentang sejarah umat para nabi terdahulu. Tidak hanya berkisah, ia juga terlihat seperti sedang memberi nasehat atau ceramah kepada sekelompok orang yang mengerumuninya itu.
Rosululloh Saw menyapa ramah kepada laki-laki itu dan mengucapkan salam. Ia pun membalas salam dan merapalkan beberapa doa kebaikan untuk Rosululloh Saw persis seperti para nabi yang ditemui beliau di langit sebelumnya.
"Siapa orang ini, Jibril?" tanya Rosululloh Saw penasaran.
"Dia adalah seorang nabi yang amat dicintai umatnya," jawab Jibril, lalu menyebut nama seorang nabi itu, "Harun bin 'Imron."Mi'roj keenam kemudian turun. Rosululloh Saw dan Jibril menaiki langit keenam. Kedatangan beliau disambut dengan ramah oleh penjaga pintu langit, setelah melalui proses dan peristiwa yang serupa dengan langit sebelumnya.
Rosululloh Saw, di langit keenam ini, berjumpa dengan banyak nabi. Ada beberapa nabi yang membawa segelintir umat. Ada beberapa yang membawa umat berjumlah banyak. Ada pula nabi yang sendirian, tidak besertaan dengan seorang umat. Namun, Rosululloh Saw tertegun ketika melirikkan mata ke sebuah pemandangan di tempat yang jauh. Beliau menyaksikan segerombolan umat manusia berjubel dalam jumlah yang tidak sedikit, memenuhi pandangan mata. Jumlah mereka terlihat lebih banyak ketimbang umat para nabi yang dijumpai sebelumnya.
"Siapa orang-orang ini?" gumam Rosululloh penasaran.
Belum sempat Jibril menjawab, tiba-tiba terdengar suara penuh getar wibawa menyahut, menghilangkan rasa penasaran yang berkelindan di benak Rosululloh Saw, "Mereka adalah Musa beserta umatnya. Tetapi, ada umat yang jumlahnya lebih banyak lagi. Angkatlah kepalamu, lihat ke atas!" kata suara itu.
Rosululloh Saw kembali tertegun, tercengang, terpaku dalam diam, tatkala menuruti perintah suara itu. Segera setelah menyapukan pandangan ke atas, dengan jelas beliau menyaksikan ratusan juta manusia, atau bahkan miliaran --atau entah berapa hitungan persisnya-- memadati empat penjuru alam, mengisi seluruh penjuru langit, memenuhi tempat sejauh mata memandang.
"Mereka semua adalah umatmu," kata suara penuh getaran wibawa itu sebelum sempat ditanya. "Sebanyak 70.000 dari umatmu akan memasuki surga tanpa melalui rangkaian Hisab."
Rosululloh Saw kemudian menemui Nabi Musa As. Nabi yang masih saudara Nabi Harun itu terlihat berpawakan tinggi, berkulit sawo matang. Sekujur tubuhnya terlihat banyak ditumbui bulu- bulu yang kuat. Bisa dibilang, seandainya beliau mengenakan dua lapis pakaian biasa, saking kuatnya bulu-bulu itu dapat menembus atau merobeknya. Rosululloh Saw menyapa Nabi Musa As dan mengucapkan salam. Nabi Musa pun dengan ramah membalas salam dan menyambut kedatangan Rosululloh Saw: "Marhaban, selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh," kata Nabi Musa, lalu merapalkan doa kebaikan untuk beliau.
"Orang-orang Bani Israel menyangka bahwa aku lebih mulia di sisi Alloh daripada orang ini," kata Nabi Musa setelah melihat umat Rosululloh Saw ternyata melebihi jumlah umatnya. "Tidak. Sungguh dia lebih mulia di sisi Alloh daripada aku."
Tanpa ada yang menduga, ketika Rosululloh Saw hendak pergi melanjutkan perjalanan, Nabi Musa mendadak menangis. Entah menangisi apa. Lalu, ada suara penuh getaran wibawa bertanya perihal tangisan Nabi kaum Bani Israel itu. "Apa yang membuatmu menangis?"
"Aku menangis, sebab ada seorang pemuda yang diutus Alloh setelahku. Umatnya lebih banyak masuk surga ketimbang umatku. Orang-orang Bani Israel menyangka bahwa akulah keturunan Adam yang paling mulia di sisi Alloh. Padahal, pemuda inilah yang akan menggantikan kedudukanku di dunia dan di akhirat. Seandainya itu semua hanya untuk dirinya sendiri, aku tak peduli. Tetapi, ternyata dia beserta umatnya," kata Nabi Musa sedih.
Sementara Nabi Musa masih diliputi suasana sedu, Mi'roj ketujuh telah mendarat di depan muka Rosululloh Saw. Beliau dan Jibril bergegas menaiki Mi'roj itu. Sekejap berlalu, mereka berdua telah meninggalkan Nabi Musa dan tiba di depan pintu langit ketujuh.
"Marhaban, selamat datang!" kata malaikat penjaga pintu langit ketujuh, menyambut kedatangan Rosululloh Saw sembari membukakan pintu setelah Jibril mengetuknya dan mengabarkan bahwa ia datang bersama Nabi Muhammad, "Semoga Alloh selalu memuliakan, mengagungkan, memanjangkan usianya, sebagai saudara seiman dan khalifatulloh. Dia adalah sebaik-baiknya saudara seiman dan khalifatulloh. Dia telah datang, dan dia adalah sebaik-baiknya orang yang datang."
Rosululloh Saw memasuki langit ketujuh. Lagi-lagi keajaiban enggan pergi dari pandangan beliau. Dengan mata telanjang beliau melihat Baitul Makmur, sebuah bangunan megah bagai istana. Tidak jauh dari bangunan itu ada pintu-pintu yang sepertinya menuju surga. Ketika tengah menikmati suguhan pemandangan yang ditawarkan langit ketujuh ini, Rosululloh Saw dikejutkan dengan hadirnya seorang laki-laki yang memancarkan aura penuh wibawa, berada di dekat salah satu pintu menuju surga. Laki-laki itu terlihat sedang duduk di atas sebuah kursi emas dan menyandarkan punggungnya ke sisi Baitul Makmur. Sambil dikerumuni banyak orang, sesekali terdengar suara tawa yang anggun dari laki-laki itu.
Rasa penasaran bergejolak di benak Rasulullah Ia menampilkan wujudnya dalam bentuk suara melalui lisan beliau. "Siapa laki-laki ini, Jibril?"
Dia adalah Bapakmu," jelas Jibril yang di detik kemudian menyebut sebuah nama seorang nabi yang menjadi Bapak monoteisme, "Ibrahim 'alaihissalam. Dia bersama sekelompok umatnya."
Seperti pertemuan dengan nabi-nabi sebelumnya, ucapan salam kemudian saling terlantunkan di antara keduanya. Tetapi, setelah merapalkan beberapa doa kebaikan untuk Rosululloh Saw, Nabi ibrahim As menitipkan sebuah pesan untuk disampaikan kepada umat Muhammad.
"Perintahlah umatmu memperbanyak tanaman surga. Sungguh, tanah dan debunya makmur, subur, dan lapang." Pesan Nabi Ibrahim.
"Apa yang anda maksud dengan tanaman surga?" tanya Rosululloh Saw dengan santun.
"Tanaman surga adalah zikir:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلَآ اِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Rosululloh Saw mengenggam erat-erat pesan kakeknya itu.
Setelah itu, untuk yang ke sekian kalinya ketakjuban enggan berpisah dari bola mata Rosululloh Saw. Kali ini, muncul sekelompok orang yang berwajah putih cerah, secerah lembaran-lembaran kertas, tengah duduk di sebelah Rosululloh Saw. Muncul lagi sekelompok orang yang tidak berwajah putih, melainkan seperti ada semacam noda yang menutupi warna asli mereka. Tanpa ada yang memberi perintah, orang-orang bernoda itu kemudian berjalan menuju sebuah sungai dan mandi di situ. Noda-noda yang melekat di tubuh mereka terlihat mulai memudar seusai mandi selesai, bagai sekanvas lukisan terkena rinai hujan. Kemudian mereka mandi lagi ke sungai yang lain, sehingga noda- noda itu semakin memudar dan warna asli mereka samar-samar mulai kelihatan. Untuk kali ketiga, mereka kembali mandi di sungai yang lain. Usai mandi di sungai ketiga inilah noda-noda yang melumuri tubuh mereka serentak luntur dan tak berbekas sama sekali. Warna asli mereka tampak serupa betul dengan sekelompok orang yang duduk di sebelah Rosululloh tadi, putih cerah secerah lembaran-lembaran kertas. Lalu mereka berjalan menuju kumpulan orang-orang di sebelah Rosululloh itu dan ikut duduk bersamanya.
Melihat peristiwa yang mungkin tak pernah terjadi di alam manusia ini, Rosululloh segera menghujani Jibril dengan pertanyaan-pertanyaan. "Jibril, siapakah orang-orang yang berwajah cerah itu? Siapa orang-orang yang bernoda itu? Dan tiga sungai yang mereka buat mandi itu sungai-sungai apa?"
"Mereka yang berwajah putih berseri adalah mereka yang tak mencampuri keimanannya dengan kemusyrikan. Sedangkan, orang-orang bernoda yang memasuki tiga sungai itu adalah mereka yang beramal saleh lalu berbuat kesalahan, namun mereka bertobat kepada Alloh dan Alloh menerima pertaubatan mereka. Adapun nama tiga sungai-sungai itu, yang pertama adalah 'Rahmat Alloh', yang kedua adalah 'Nikmat Alloh', dan yang ketiga adalah 'Saqoohum Robbuhum Syarooban Thohuoron' (sungai yang memancurkan air minuman suci menyucikan)."
Kemudian terdengar suara dengan penuh getaran wibawa menyahut, "Sungai ketiga itulah yang akan menjadi tempatmu dan umatmu."
Ketakjuban enggan mereda. Rosululloh kini berjumpa dengan sebagian umatnya yang membentuk dua baris: baris pertama mengenakan pakaian warna putih, sehingga mereka tampak seperti sebundel kertas yang berjajar rapi. Sementara, umat Rosululloh di baris kedua terlihat berpakaian warna kelabu, laksana deretan batang-batang kayu yang sudah terbakar menjadi abu.
Tak lama setelah itu, Rosululloh Saw melangkahkan kaki memasuki Baitul Makmur. Kawanan umat yang berpakaian putih lantas berduyun-duyun mengikuti langkah beliau. Tetapi, entah sebab apa, kawanan umat yang berpakaian kelabu tidak dapat ikut bersama Rosululloh meskipun mereka adalah sekelompok umat yang baik. Tiba di dalam bangunan megah itu, barulah Rosululloh tahu bahwa ia menjadi tempat ibadah para malaikat. Bangunan yang ma'mur (yang diramaikan), ramai dengan gemuruh dzikir, ramai dengan gema tasbih, ramai dengan desis suara ibadah para malaikat Alloh. Bersama para umatnya, Rosululloh melaksanakan sholat di tempat itu.
Seusai sholat, Rosululloh ditawari minuman dalam tiga bejana berisi tiga jenis air yang dibawa Jibril pada saat di Masjid al-Aqsho. Untuk kali kedua, beliau masih memilih air susu dan sedikit pun tak menyentuh dua jenis air minuman yang lainnya. Dan seperti pada saat di Masjid al-Aqsho, Jibril membenarkan keputusan Rosululloh memilih air susu itu, lalu mengungkap pesan simbolisnya.
"Engkau telah memilih fitrah, yang engkau beserta umatmu akan senantiasa menggenggamnya hingga hari kiamat tiba," jelas Jibril.
Rosululloh lalu keluar dari Baitul Makmur. Rosululloh menjelajahi langit ketujuh yang luasnya tiada bertepi. Langkah beliau baru terhenti ketika menyaksikan sebuah pemandangan yang tak pernah terlintas dalam angan-angan dan membuat lidah terkelu. Ada sebuah pohon bidara amat besar menghunjam di atas langit ketujuh, menyembul tinggi ke angkasa, ketinggiannya mata tak mampu mengukur. Dari langit ketujuh ini hanya batang tubuh pohon itu saja yang dapat terlihat. Sementara, wujud ranting-rantingnya, cabang-cabangnya, dan dedaunan-nya, tak terjangkau oleh indera mata. Rupanya, pohon raksasa itu menjulang sampai pada sebuah tempat di atas langit ketujuh. Dan, dari sanalah ranting-ranting pohon itu, cabang-cabangan dan dedaunan-nya, dapat terlihat dengan jelas.
Rasa takjub semakin menyelimuti benak Rosululloh ketika beliau baru menyadari, dari akar pohon Sidrotul Muntaha ternyata mengalir beberapa sungai indah yang berisi bermacam-macam air. Ada sungai yang mengalirkan air jernih, murni, tak tercemari oleh apapun. Ada yang berisi air susu segar dan selama-lamanya tak akan basi. Ada sungai khamr (arak), sungai madu, dan sungai-sungai yang lain. Tidak seperti di bumi, sungai-sungai yang memancar dari pohon Sidrotul Muntaha ini tidak mengalir di atas permukaan galian tanah atau terwadahi oleh sebuah bak, melainkan berjalan ritmis di atas langit tanpa ada sesuatu yang mewadahinya, dan secara mengagumkan mengalir terus menerus sampai bermuara di surga.
Di antara beberapa sungai itu, ada empat sungai yang berhasil mengundang perhatian Rosululloh sehingga membuat beliau bertanya kepada Jibril Yaitu, dua sungai eksoteris (zahir) dan dua sungai esoteris (batin).
"Sungai-sungai apa ini, Jibril?" tanya Rosululloh penasaran.
"Dua sungai batin itu adalah dua sungai yang bermuara di surga, yaitu al-Kautsar dan as-Salsabil. Sementara, dua sungai zahir itu adalah sungai Nil dan Eufrat," Jelas Jibril.
Rosululloh kemudian melangkahkan kaki mendekati al-Kautsar. Tampak jelas dalam penglihatan beliau, sungai yang dijanjikan Alloh untuk umat Muhammad itu terlihat amat indah mempesona. Airnya lebih putih dari salju, lebih manis dari madu, seribu kali lebih wangi dari gaharu. Secara menakjubkan, airnya berjalan ritmis mengalir di atas butiran-butiran mutiara dan permata-permata yaqut. Kubah-kubah mutiara, gelas-gelas emas, berjajar rapi di sepanjang tepi. Dan, burung-burung indah berwarna hijau sesekali terbang meliuk-liuk di atas sungai. Ringkas kata, al-Kautsar berhasil menebarkan seribu pesona keindahannya kepada Rosululloh.
Sembari menikmati suguhan seribu pesona yang dipamerkan sungai al-Kautsar, Rosululloh berjalan-jalan di tepi sungai itu mengikuti arah arus. Beliau terus menerus melangkahkan kaki seperti sedang mencari di mana arus air sungai itu bermuara. Rupanya, tidak luput penjelasan yang disampaikan Jibril sungai al-Kautsar betul-betul bermuara di surga.
Ketika Rosululloh tiba mendekati surga, langkah beliau baru terhenti. Ada sesosok laki-laki berpawakan tinggi perkasa, memancarkan aura penuh wibawa. Ia terlihat sedang duduk di atas sebuah kursi yang terbentuk dari cahaya, di dekat gerbang surga. Dengan penuh kesantunan, Rosululloh menyapa laki-laki itu dan mengucapkan salam. Maka, demi mendengar seorang Rosululloh menyampaikan salam, laki-laki itu langsung bangkit. Buru-buru ia membalas salam, menyambut dengan hangat kerawuhan Rosululloh. Lalu, dengan penuh takzim ia memeluk dan menyalami tangan Rosululloh.
"Berbahagialah, Muhammad. Seluruh kebaikan ada pada dirimu dan umatmu," ucapnya.
Rosululloh penasaran. Kesadaran Rosululloh tertutupi oleh rasa penasaran akan sesosok laki-laki yang ternyata mengenal beliau itu. Demi menghilangkan musykil, beliau pun bertanya kepada Jibril, "Siapa orang ini, Jibril?"
"Dia adalah Ridlwan, malaikat penjaga surga." Ungkap Jibril.
Seusai Ridlwan menyambut kerawuhan Rosululloh, beliau pun bergegas memasuki surga. Rosululloh terperanjat saat hampir melewati gerbang. Terlihat jelas, gerbang surga itu dihiasi dengan tulisan kalimat yang berbunyi:
لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ. اَلصَّدَقَةُ بِعَشْرِ اَمْثَالِهَا، وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ
"Tiada Tuhan selain Alloh. Muhammad utusan Alloh. Bersedekah dibalas sepuluh kali lipat. Menghutangi dibalas delapan belas kali lipat."
Kalimat itu terasa ganjil. Adilkah orang yang memberi pinjaman mendapat lebih banyak balasan daripada orang yang bersedekah? Sebandingkah balasan yang diraih orang yang bersedekah, sementara ia tak mendapat balasan sepeserpun dari penerima sedekah, dengan orang yang memberi pinjaman, padahal harta yang dipinjamkan akan kembali lagi? Ini ganjil. Musykil. Itu sebabnya, setelah membaca kalimat itu Rosululloh pun bertanya kepada Jibril:[5] "Bagaimana bisa memberi pinjaman lebih baik daripada bersedekah?"
"Hal tersebut dikarenakan penerima sedekah itu menerima pemberian sedekah dalam keadaan ia tak membutuhkan pemberian itu. Sementara, orang yang menerima hutang tak akan meminta pinjaman kecuali atas dasar desakan kebutuhan," jelas Jibril.
Rasa musykil pudar. Lenyap. Rosululloh lega menerima penjelasan Jibril. Lalu, dengan penuh kebahagiaan beliau melewati gerbang, memasuki tempat dengan sejuta kenikmatan, dengan sejuta keindahan, yang tak pernah terlintas dalam angan-angan, tak dapat digambar dengan warna, tak bisa tertulis oleh pena, tak mungkin terungkap oleh bahasa. Ya, itulah surga yang kelak menjadi hunian abadi bagi mereka yang setia menjalankan peritah-perintah Alloh dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kebahagiaan tiada tara memenuhi hati Rosululloh Saw. Kegundahan, kegelisahan, dan kesedihan yang selama ini Rosululloh rasakan dalam menjajakan agama Islam di tengah-tengah peradaban Jahiliyyah, tidak berarti apa-apa dibanding kebahagiaan malam ini yang bergejolak tiada henti. Semua kesedihan itu seketika lenyap digantikan dengan hadirnya perasaan atau semangat baru yang bergelora. Kini, Rosululloh telah mengetahui dengan pengetahuan yang tak secuil pun menyimpan keraguan ('ain al-yaqin), tempat inilah yang dijanjikan Alloh Swt untuk umat Muhammad yang mencintai dan dicintainya.
Di tengah-tengah suasana kebahagiaan yang meliputi, ketika masih menjelajahi keindahan surga, tiba-tiba Alloh menyibakkan Hijab-Hijab (tabir) yang menyelubungi penglihatan Rosululloh dari neraka. Tanpa ada yang menduga, neraka tiba-tiba tergeletak di hadapan Rosululloh. Pemandangan surga yang penuh dengan sejuta keindahan berganti pemandangan neraka yang sesak oleh kengerian dan siksaan. Dengan mata telanjang, Rosululloh melihat jelas beragam siksaan yang bakal ditanggung para penghuninya. Betapa siksaannya terlalu pedih untuk dapat dilihat oleh mata, terlalu ngeri untuk dapat didengar oleh telinga, terlalu menakutkan untuk sekadar terlintas dalam angan-angan. Murka Alloh begitu nampak dahsyat di dalam neraka.
Di dalam neraka, Rosulullo sempat melihat sesosok laki- laki gagah perkasa, berwajah luar biasa menyeramkan, seperti seseorang yang sudah lupa sama sekali caranya tersenyum. Siapa pun orang yang menatapnya akan dibuatnya menggigil ketakutan dan tak sadarkan diri. Tetapi, Rosulullo tak sedikit pun merasakan ketakutan ketika melihat laki-laki itu. Justru beliau menyapanya dan mengucapkan salam. Lalu, ia langsung bangkit dan menyambut kedatangan Rosulullo tanpa sedikit pun mengembangkan senyum di raut wajahnya.
Rosululloh merasa aneh. Cara laki-laki itu menyambut kerawuhan Rosululloh tak seperti yang dilakukan para penghuni langit yang ditemui sebelumnya. Caranya menyambut terasa terlalu dingin. Itu sebabnya beliau bertanya kepada Jibril, "Ya Jibril, siapa laki-laki yang tak tersenyum menyambut kedatanganku ini?"
"Dia adalah Malik, penjaga neraka. Alloh menciptakannya dari Kemarahan dan Kemurkaan-Nya. Sejak diciptakan, dia tak pernah tersenyum sama sekali. Seandainya dia bisa tersenyum, niscaya dia akan melakukannya untuk menyambut kerawuhan seorang tamu agung Allah yang akan menghadap- Nya," papar Jibril.[6]
Pintu neraka kemudian tertutup. Kegelapan dan kengeriannya mendadak lenyap dari penglihatan Rosululloh. Sejenak berlalu, Mi'roj kedelapan telah mendarat tepat di hadapan Rosululloh. Ia akan membawa Rosululloh dan Jibril menembus sebuah tempat tak terbatas di atas langit ketujuh, yaitu al-Kursiy.
[1] Badr Muhammad 'Asal, as-Siraj al-Wahhaj, h. 70.
[2] Ahmad Dardlr, Hasyiyah Dardir, h. 14.
[3] Marhaban adalah kalimat bahasa Arab yang digunakan untuk menyambut kedatangan seseorang dengan arti leksikal: "selamat datang! mudah-mudahan Alloh Swt menempatkan dalam kelapangan dan kemudahan."
[4] Alloh Swt memberikan sifat ketampanan kepada Nabi Yusuf As layaknya separuh dari ketampanan yang dimiliki Rosululloh Saw. Ini tidak memberikan pengertian bahwa Nabi Yusuf memiliki separuh sifat ketampanan Rosululloh dan 'membiarkan' Rosululloh memiliki separuh yang lain, seperti yang sementara ini disalahpahami. Sejatinya, Rosululloh Saw memiliki seluruh sifat keagungan itu, kecil maupun besar. Sehingga, sifat keagungan yang begitu sempurna ini tidak memungkinkan manusia untuk melihatnya secara utuh. Dan dalam titik kausalitas selanjutnya, ketidakmampuan untuk melihat keagungan ini tidak mungkin menimbulkan fitnah. Kasus ini berbeda dengan apa yang dialami oleh Nabi Yusuf. Sifat keagungan ---jika diwujudkan dalam wajah berarti ketampanan--- yang dimiliki Rosululloh Saw tidak sekalipun pernah menimbulkan fitnah, ataupun cobaan bagi siapapun yang memandang beliau. Sementara ketampanan yang dimiliki Nabi Yusuf As, berhasil diterjemahkan secara sempurna oleh Zulaikha, sehingga memunculkan keinginan dan syahwat yang beraneka kepada Nabi Yusuf. Ketampanan yang sama juga dapat dipandang oleh para istri bangsawan, yang sebelumnya mencibir perbuatan Zulaikha.
Di dalam menafsirkan keagungan Rosululloh Saw, Umar bin Farid, seorang penyair sufi kenamaan, memberi perumpamaan yang indah dalam sya'irnya:
Engkau telah menutupi keindahan dengan keagungan,
Maka bingunglah mereka yang menikmati keindahan.
Lihat Ahmad ad-Dardir, Hasyiyah Dardir, h.17.[5] Di akhirat, semua manusia yang buta huruf (al-ummiy) bisa membaca.
[6] Ahmad
ad-Dardir, Hdsyiyah ad-Dardir, h. 19-22; Badr Muhammad 'Asal, as-Sirdj
al-Wahhaj, h. 80-87.
No comments:
Post a Comment
Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.