PEMBAHASAN TENTANG TAQLID
(١١) إِذْ كُلُّ مَنْ قَلَّدَ فِي التَّوْحِيْدِ ☼ إِيْمَانُهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ تَرْدِيْدِ
(١٢) فَفِيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ يَحْكِي الْخُلْفَ ☼ وَبَعْضُهُمْ حَقَّقَ فِيْهِ الْكَشْفَ
(١٣) فَقَالَ إِنْ يَجْزِمْ بِقَوْلِ الْغَيْرِ ☼ كَفٰى وَإِلَّا لَمْ يَزَلْ فِي الضَّيْرِ
"Karena setiap orang yang taqlid dalam ilmu tauhid ☼ maka imannya tidaklah sunyi daripada (menerima) keragu-raguan."
"Maka terhadap imannya itu sebagian ulama meriwayatkan khilaf ☼ dan sebagian lagi memastikan adanya penjelasan padanya."
"Maka berkatalah ia: Jika si muqollid memantapkan perkataan orang lain itu ☼ maka memadailah, namun jika tidak maka senantiasalah ia dalam bahaya”.
Ini adalah sebab wajibnya makrifat sebagaimana disebutkan terdahulu. Maka seakan-akan pengarang berkata: "Diwajibkannya mukalaf mengetahui apa-apa yang terdahulu adalah untuk menghindari taqlid. Karena setiap orang yang taqlid dalam ilmu tauhid, maka imannya tidaklah sunyi daripada menerima keragu-raguan".
Taqlid adalah: "Mengambil perkataan orang lain dengan tanpa mengetahui dalilnya”.
Penyebutan lafadz "dengan tanpa mengetahui dalilnya" mengecualikan murid-murid sesudah para guru menunjuki mereka kepada beberapa dalil karena mereka ini termasuk orang-orang yang arif, bukan taqlid. Syeikh Sanusi membuat perumpamaan untuk membedakan mereka dengan orang-orang taqlid, yakni sekelompok orang yang telah melihat bulan sabit di mana sebagian mereka telah lebih dahulu melihatnya lalu mengabarkannya kepada sebagian yang lain. Maka jika mereka membenarkannya tanpa melihat sendiri, jadilah mereka itu orang-orang yang taqlid dan jika dia menunjuki mereka dengan tanda hingga mereka dapat melihatnya sendiri maka tidaklah mereka jadi orang taqlid.
Maksud dari ”ilmu tauhid” pada bait itu adalah ilmu aqo'id, yakni ilmu tentang akidah-akidah. Jadi bukan hanya menetapkan keesaan Alloh semata. Sedangkan yang dimaksud dengan "imannya” pada kata-kata: إِيْمَانُهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ تَرْدِيْدِ adalah pemantapannya terhadap hukum-hukun tauhid dengan tanpa dalil.
Perbedaan Pendapat Tentang Imannya Muqollid
Terhadap sah tidaknya iman orang yang taqlid (muqollid) dalam perkara-perkara keimanan (akidah), para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Tidak cukup (dalam arti tidak sah) taqlid sehingga orang-orang yang taqlid itu dianggap kafir.
2. Mencukupi taqlid itu namun dianggap durhaka secara mutlak, baik dia mampu berfikir dalam perkara-perkara keimanan atau tidak.
3. Mencukupi taqlid itu namun dianggap durhaka jika dia mampu untuk berfikir. Jika tidak mampu berfikir maka tidaklah dianggap durhaka.
4. Orang yang taqlid kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang qoth'iyyah sah imannya karena dia mengikut kepada yang qoth'i, tetapi kalau taqlid pada selain yang demikian maka imannya tidak sah karena terdapat kemungkinan yang besar untuk terjadinya kekeliruan.
5. Mencukupi taqlid itu dan tidak dianggap durhaka secara mutlak karena berfikir adalah syarat kesempurnaan. Maka siapa yang mampu berfikir lantas dia tidak berfikir maka dia telah meninggalkan perkara yang lebih utama.
6. Taqlid itu sahih dan haram berfikir tentang dalil-dalil akidah. Pendapat ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak suka kepada ilmu kalam. Kebencian terhadap ilmu kalam adalah sesuatu yang berlebihan kecuali ilmu kalam yang sudah bercampur dengan filsafat. Dan ucapan imam Syafi'i yang tidak suka kepada ilmu kalam ---jika memang benar diucapkan oleh beliau--- dimaksudkan kepada ilmu kalam yang sudah bercampur dengan filsafat tersebut.
Masalah berfikir yang dikhilafkan di atas berlaku pada berfikir yang menyampaikan kepada makrifatulloh, bukan yang lainnya seperti berfikir yang menyampaikan kepada makrifat para rosul.
Dan dari enam pendapat di atas maka yang lebih diunggulkan adalah pendapat nomor tiga. Bahkan al-Amidi telah menyampaikan adanya ittifak (consensus) para ashab atas tidak kafirnya orang yang taqlid dan bahwa pendapat mengenai tidak sahnya iman orang yang taqlid tidaklah diketahui kecuali pendapatnya Abu Hasyim al-Juba'i dari golongan Muktazilah.
Abu Manshur al-Maturidi berkata: “Sepakat para ashab kita bahwa orang-orang yang awam itu adalah mukmin lagi arif dengan Tuhan mereka dan bahwa mereka termasuk ahli surga sebagaimana diterangkan dalam beberapa Hadis dan sudah teranggap ijmak karena sesungguhnya fitrah mereka telah menariknya untuk mentauhidkan Alloh Sang Pencipta dan mengiktikadkan keqidaman serta kebaruan apa-apa yang selain-Nya meskipun mereka tidak mampu mengibaratkannya dengan istilah para mutakallimin”.
Perkataan pengarang dengan: وَبَعْضُهُمْ حَقَّقَ فِيْهِ الْكَشْفَ artinya: Dan sebagian ulama seperti Tajus Subki memastikan adanya penjelasan dalam hal imannya muqollid dari segi cukup atau tidaknya. Penjelasan dimaksud adalah:
1. Jika si muqollid memiliki kemantapan yang kuat terhadap benarnya perkataan orang lain, dalam arti jika orang yang ditaqlidi itu menarik kembali perkataannya dia tidak akan ikut maka cukuplah yang demikian itu dalam iman. Kepada muqollid yang beginilah dibawa pendapat yang mengatakan dengan cukupnya taqlid. Dan memadailah baginya yang demikian itu dalam hukum-hukum duniawi, maka dapatlah dia dinikahkan, dijadikan imam, dimakan sembelihannya, diwarisi oleh kerabatnya yang muslim dan diapun mewarisi mereka serta dimakamkan dipekuburan orang-orang muslim. Dan juga memadai dalam hukum-hukum ukhrawi, maka tidaklah dia kekal dalam neraka jika dia memasukinya dan tempat kembalinya adalah keselamatan dan surga. Maka dia adalah orang mukmin, akan tetapi berbuat durhaka dengan sebab meninggalkan berfikir jika memang dia mampu untuk berfikir.
2. Jika si muqollid tidak memberikan kemantapan terhadap benarnya perkataan orang lain dengan kemantapan yang kuat dimana dia sebenarnya mantap akan tetapi jika orang yang ditaqlidi itu menarik kembali perkataannya diapun ikut-ikutan, maka senantiasalah ia dalam bahaya karena masih menerima kebimbangan dan keragu-raguan. Terhadap muqollid yang seperti inilah dibawa pendapat yang mengatakan tidak cukupnya taqlid.
Dengan demikian maka perbedaan pendapat itu adalah pada muqollid yang mantap dari segi kuat atau tidaknya kemantapan itu. Adapun orang yang syak dan zhan maka para ulama sepakat bahwa imannya tidak sah.
Perbedaan pendapat tentang imannya muqollid sebagaimana uraian di atas hanya terkait dengan hukum-hukum keakhiratan dan apa-apa yang ada di sisi Alloh. Adapun yang terkait dengan hukum-hukum keduniaan maka dianggap cukup dengan pernyataan (ikrar) iman saja. Maka siapa yang telah menyampaikan ikrar iman berlakulah padanya hukum-hukum Islam dan tidak dihukumkan atasnya kekafiran kecuali jika ikrarnya itu diiringi dengan sesuatu yang menyebabkan kekafiran seperti sujud kepada patung atau berhala.
No comments:
Post a Comment
Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.