اَلْأُمُوْرُ
بِمَقَاصِدِهَا
Segala sesuatu tergantung tujuannya
Dalam tataran filosofis, berpikir dan merasa dinilai
sebagai sebuah kodrat alamiah yang dimiliki manusia. Pikiran dan perasaan akan
menopang manusia untuk melakukan suatu laku-perbuatan agar lebih bermakna.
Dengan pikirannya, manusia berusaha untuk membangun tujuan hidup dan
idealismenya. Dengan tujuan dan idealisme itulah manusia bisa memaknai hidup
melalui jalur fitrahnya secara berkualitas. Tanpa sebuah tujuan, maka nilai
perbuatan yang dilakukan manusia menjadi absurd tanpa makna. Misalkan
saja, aktivitas makan yang pada awalnya hanya ditujukan untuk memenuhi nafsu
makan, atau menghilangkan rasa lapar, akan lebih bermakna jika dimaksudkan
sebagai sarana ibadah kepada Alloh
swt. Minum segelas air putih yang umumnya dilakukan untuk menghilangkan rasa
haus, tentu akan lebih bernilai bila dimaksudkan untuk menjalankan sunah Nabi
saw. berupa anjuran minum air putih saat berbuka puasa.
Dalam tataran realitas kita pun
mengakui bahwa setiap perbuatan yang kita kerjakan pasti didasari motivasi
ataupun tujuan tertentu. Jika tidak ada tujuan, maka perbuatan itu pastilah
bersifat spekulatif. Kita makan karena ingin kenyang, minum untuk mengobati
haus, tidur untuk mengistirahatkan badan, ibadah untuk mendekatkan diri pada
Tuhan, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa niat mempunyai posisi sangat
penting (krusial). Dianggap krusial karena ia menentukan segala gerak-langkah
dan konstruksi pekerjaan yang
kita lakukan, yang berkonsekuensi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau
tidak? beretika atau tidak? termasuk ibadah atau tidak? berpahala atau hambar
tak bermakna? Tepat pada titik inilah kaidah 'al-umur bi al-maqdshid'
ini amat penting dipahami.
Dalam kaidah pertama ini dijelaskan beragam hal yang
berkaitan dengan niat, baik tentang apa hakikat niat, kenapa harus berniat,
kapan harus dilakukan, apa saja yang harus diniati, bagaimana caranya, dan
masih banyak pertanyaan lainnya. Dengan mengetahui semua itu, maka kita akan
memaknai hidup kita menjadi lebih berkualitas, baik di dunia maupun di akhirat. Dan hal ini akan tercapai bila
kita mau mengkaji paparan berikut secara tuntas. Insyaa Alloh.
DASAR
KAIDAH
1. Al-Qur’an
Mengenai keharusan melakukan niat dalam ibadah, Alloh
swt. menyatakan dalam al-Qur’an surat al-Bayyinah [98] ayat 5:
وَمَآ أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
"Mereka (orang-orang kafir) tidak
diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Alloh, seraya memurnikan-ikhlas dalam beragama (ibadah). "
Kata al-din
dalam bahasa Arab, secara umum biasa diartikan sebagai agama. Namun dalam
konteks ayat di atas, al-Qurthubi menafsirinya sebagai
ibadah. Dengan penafsiran ini,
beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin,adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas
sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat.
Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan yang tak bisa dipisahkan antara
ibadah dan niat. Berniat merupakan hal yang wajib; seperti diwajibkannya ikhlas
dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Apabila diamati secara seksama, dalam
ayat ini terdapat rajutan yang sangat kuat antara ibadah, niat, ikhlas, dan
pengesaan kepada Alloh swt. Bagaimana mungkin seseorang yang atheis,
misalnya, akan punya niat untuk beribadah. Paling banter ia hanya
bertindak dengan orientasi materialisme (kebendaan) yang ada dalam benaknya.
Sama sekali tidak ada dimensi ikhlas dalam hatinya. Jangankan ikhlas, niat yang
seharusnya menjadi pijakan dan tolok ukur awal dalam berbuat, sama sekali tidak
diindahkan olehnya. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara pribadi
mukmin dan jiwa seorang atheis. Niat, ibadah, ikhlas, dan peng-esa-an pada Yang
Maha Kuasa adalah proses berkelanjutan yang selalu terkait satu sama lain, dan
mampu menunjukkan perbedaan jati diri pada kedua entitas itu.
Sedangkan ikhlas, sebuah fase paling
akhir dan penting, adalah ketaatan yang sama sekali bukan karena alasan-alasan
yang bersifat duniawi (material), melainkan semata-mata hanya untuk mengharap
ridlo Alloh swt. Dengan pendekatan diri pada Alloh
swt. seorang mukmin dengan sendirinya akan terbedakan
dengan seseorang yang tak beragama. Namun dia tidak boleh berhenti dalam titik
ibadah yang hampa. Ia harus melalui lagi tahap yang maha berat dan
transe-dental (ukhrawi). Dalam beribadah, ia harus melakukannya tanpa
'embel-embel' apapun selain mencari ridlo-Nya. Ikhlas akan sangat
menentukan bernilai atau tidaknya satu konstruk ibadah, di samping akan
berimplikasi pada kebaikan dunia dan akhirat. Pembahasan mengenai niat, ibadah,
ikhlas, dan hal-hal yang bersinggungan dengan-nya, merupakan pesan terdalam
ayat di atas, sehingga dari sinilah terbangun kaidah al-umur bi maqashidiha.
2. Al-Hadits
Hadits Nabi saw. yang menjadi pondasi
terbangunnya kaidah ini adalah:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
"Keabsahan
amal-amal tergantung pada niat"
Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini,
mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat.
Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan
tidak lantas menjadi "tiada" dengan tanpa adanya niat. Karena jika
hadits ini diterjemahkan seadanya; tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka
akan mempunyai arti "sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa
niat". Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa "ada"
tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad Yasin al-Fadani, maksud hadits
di atas adalah penilaian terhadap predikat sebuah pekerjaan yang terkait erat
dengan keberadaan atau eksistensinya; seperti sah atau sempurna. Dengan adanya
penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat
tergantung pada niat pelakunya. Inilah makna hadits yang benar menurut Syaikh
Yasin.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya
timbul perbedaan pendapat antar ulama seputar penafsiran substansi hadits di
atas. Sementara ulama yang diwakili kalangan Syafi'iyyah, menjelaskan bahwa
titik penekanan hadits ini hanya berkisar tentang "keabsahan" sebuah
pekerjaan. Dengan demikian, jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan
itu tidak akan mendapat pengabsahan (legalitas) dari syari’at.
Lain lagi dengan golongan Hanafiyyah yang
menafsirinya dengan makna "kesempurnaan pekerjaan". Dengan demikian
bahwa kesempurnaan sebuah perbuatan menurut mereka tergantung pada niatnya.
Dari penafsiran Hanafiyyah ini, kemudian akan dapat dipahami bahwa pekerjaan
yang tidak diniati tetap sah sekalipun tidak dikatakan sempurna.
Dalam menakar derajat kekuatan dua pendapat ini,
Ibnu Hajar al-Haytami menyatakan, bahwa apa yang telah dikemukakan Syafi'iyyah
lebih unggul (awla). Karena pendapat Syafi'iyyah yang mengartikan "Innama al-a'mal" dengan 'terjemah' keabsahan sebuah perbuatan,
lebih mendekati makna hakiki dibanding muatan makna majazi yang telah
diungkapkan oleh Hanafiyyah. Apalagi dalam gramatika Arab ditegaskan, bahwa
suatu kata yang bermakna mutlak (belum difokuskan pada makna hakiki atau makna
kiasan) akan lebih 'mudah' dipahami bila diarahkan pada makna hakikinya.
Meski demikian, perbedaan antara Syafi'iyyah dan
Hanafiyyah, sebenarnya tidak begitu tajam. Dibuktikan, dalam beberapa
persoalan, Hanafiyyah tetap sepakat dengan Syafi'iyyah, bahwa ibadah yang
berdiri sendiri (mustaqillah) seperti sholat, tetap harus diniati. Lain halnya dengan ibadah yang
tidak 'menyendiri', dalam arti masih ada 'ketergantungan' pada ibadah yang
lain, seperti wudlu, atau ibadah yang menjadi sarana bagi ibadah lain seperti
tayamum; menurut Hanafiyyah tidak membutuhkan niat.
Disamping perbedaan di atas, ternyata masih ada
ulama yang memiliki pandangan lain. Ulama muta'akhkhirin madzhab Hanbali
misalnya, mengemukakan bahwa yang dimaksud amal perbuatan dalam hadits di atas
hanyalah amal-amal syar'i; yakni setiap perbuatan yang dilakukan dalam konstruksi hukum-hukum syariat. Dengan
demikian, menurut mereka, amal syar'i akan dianggap sah, diperhitungkan, atau diterima bila telah melalui perantara niat.
Dengan pemahaman semacam itu, pendapat yang terakhir ini sebenarnya memiliki
pemahaman yang hampir senafas dengan kalangan Syafi'iyyah. Perbedaannya,
pendapat muta'akhkhirin madzhab Hambali ini mem-punyai konsekuensi bahwa
perbuatan yang tidak membutuhkan niat— seperti makan, minum, mengembalikan
barang pinjaman, dan lain sebagainya —sama sekali tidak diharuskan (baca: dianjurkan) untuk diniati.
Di lain pihak, ada pula ulama yang berpendapat
bahwa kata "a'mal" dalam hadits itu harus dimaknai sebagai:
semua perbuatan; secara umum, tanpa dibatasi hanya pada
perbuatan-perbuatan syari saja. Pendapat ini
merupakan penjelasan Imam Ibnu Hanbal (780 —855M). Dengan pandangan semacam
itu, Ibnu Hanbal mengarahkan agar setiap orang yang melakukan aktifitas ritual,
baik berupa shalat, puasa, atau beragam amal kebajikan lainnya, agar
mendahulukan niat sebelum melakukan pekerjaan dimaksud. Menurut penafsiran Ibnu
Hanbal ini, yang dimaksud "a'mal" dalam hadits tersebut adalah seluruh perbuatan
yang dilakukan secara sadar oleh manusia (a'mal al-ikhtiyariyyah). Dan bahwa pekerjaan itu tidak akan
terlaksana tanpa adanya kesengajaan dari pihak pelaku. Sedangkan redaksi kedua
yang berbunyi: wa innama li kulli
imri'in ma nawa, masih menurut pendapat ini, merupakan penjelasan dari
perbuatan syar'i tersebut, dimana terkandung di dalamnya muatan pesan
bahwa "buah" yang akan didapatkan seseorang amat tergantung dari niatnya.
Jika niatnya baik maka perbuatannya akan ikut baik dan mendapatkan pahala.
Sebaliknya, jika niatnya jelek maka akan berimbas pada perbuatan yang ikut
menjadi jelek dan sekaligus mendapatkan dosa.
Di luar perbedaan penafsiran yang telah disebutkan
di muka, kita juga akan menemui sedikit kejanggalan berkaitan dengan makna
literal (lafzhi) hadits ini. Dalam bahasa Arab, kata al-a'mal biasanya
bermakna segala aktivitas yang dilakukan oleh anggota tubuh, seperti halnya
wudlu atau sholat, dan tidak
memasukkan pekerjaan hati (afal al-qalb). Masalahnya jika perbuatan hati
dimasukkan dalam kategori a'mal — yang mengharuskan untuk diniati lagi-,
maka akan menimbulkan mata rantai pekerjaan yang tak berujung (tasalsul).
Dengan demikian, berarti niat itu sendiri harus diniati lagi, demikian
seterusnya. Untuk menghindari proses yang tanpa batas inilah, akhirnya
perbuatan hati (baca: niat) sendiri tidak perlu lagi untuk diniati (lagi).
Penelusuran secara
semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan
ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak dijadikan bahan pijakan
membangun kaidah "al-umur bi maqashidiha" ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama
yang berfungsi sebagai media "pembatas" rangkaian kalimat sesudahnya (adat
al-hashr). Artinya, ketika kata al-a'mal bi al- niyyat didahului oleh kata innama,
maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan
niat lah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai
amal ibadah, tidak dengan selainnya.
Hal-Hal Yang Berhubungan
dengan Niat
Secara garis besar, hal-hal yang
berhubungan dengan niat ada delapan macam, yaitu;
1.
Substansi niat.
2.
Status niat.
3.
Tempat niat.
4.
Waktu niat.
5.
Hal-hal yang membatalkannya.
6.
Tata cara berniat.
7. Syarat-syaratnya.
8. Tujuan pelaksanaannya.