اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Segala sesuatu tergantung tujuannya
Hadits Nabi saw. yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
"Keabsahan amal-amal tergantung pada niat"
Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi "tiada" dengan tanpa adanya niat. Karena jika hadits ini diterjemahkan seadanya; tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti "sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat". Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa "ada" tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad Yasin al-Fadani, maksud hadits di atas adalah penilaian terhadap predikat sebuah pekerjaan yang terkait erat dengan keberadaan atau eksistensinya; seperti sah atau sempurna. Dengan adanya penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat tergantung pada niat pelakunya. Inilah makna hadits yang benar menurut Syaikh Yasin.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan pendapat antar ulama seputar penafsiran substansi hadits di atas. Sementara ulama yang diwakili kalangan Syafi'iyyah, menjelaskan bahwa titik penekanan hadits ini hanya berkisar tentang "keabsahan" sebuah pekerjaan. Dengan demikian, jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan itu tidak akan mendapat pengabsahan (legalitas) dari syari’at.
Lain lagi dengan golongan Hanafiyyah yang menafsirinya dengan makna "kesempurnaan pekerjaan". Dengan demikian bahwa kesempurnaan sebuah perbuatan menurut mereka tergantung pada niatnya. Dari penafsiran Hanafiyyah ini, kemudian akan dapat dipahami bahwa pekerjaan yang tidak diniati tetap sah sekalipun tidak dikatakan sempurna.
Dalam menakar derajat kekuatan dua pendapat ini, Ibnu Hajar al-Haytami menyatakan, bahwa apa yang telah dikemukakan Syafi'iyyah lebih unggul (awla). Karena pendapat Syafi'iyyah yang mengartikan "Innama al-a'mal" dengan 'terjemah' keabsahan sebuah perbuatan, lebih mendekati makna hakiki dibanding muatan makna majazi yang telah diungkapkan oleh Hanafiyyah. Apalagi dalam gramatika Arab ditegaskan, bahwa suatu kata yang bermakna mutlak (belum difokuskan pada makna hakiki atau makna kiasan) akan lebih 'mudah' dipahami bila diarahkan pada makna hakikinya.
Meski demikian, perbedaan antara Syafi'iyyah dan Hanafiyyah, sebenarnya tidak begitu tajam. Dibuktikan, dalam beberapa persoalan, Hanafiyyah tetap sepakat dengan Syafi'iyyah, bahwa ibadah yang berdiri sendiri (mustaqillah) seperti sholat, tetap harus diniati. Lain halnya dengan ibadah yang tidak 'menyendiri', dalam arti masih ada 'ketergantungan' pada ibadah yang lain, seperti wudlu, atau ibadah yang menjadi sarana bagi ibadah lain seperti tayamum; menurut Hanafiyyah tidak membutuhkan niat.
Disamping perbedaan di atas, ternyata masih ada ulama yang memiliki pandangan lain. Ulama muta'akhkhirin madzhab Hanbali misalnya, mengemukakan bahwa yang dimaksud amal perbuatan dalam hadits di atas hanyalah amal-amal syar'i; yakni setiap perbuatan yang dilakukan dalam konstruksi hukum-hukum syariat. Dengan demikian, menurut mereka, amal syar'i akan dianggap sah, diperhitungkan, atau diterima bila telah melalui perantara niat. Dengan pemahaman semacam itu, pendapat yang terakhir ini sebenarnya memiliki pemahaman yang hampir senafas dengan kalangan Syafi'iyyah. Perbedaannya, pendapat muta'akhkhirin madzhab Hambali ini mem-punyai konsekuensi bahwa perbuatan yang tidak membutuhkan niat— seperti makan, minum, mengembalikan barang pinjaman, dan lain sebagainya —sama sekali tidak diharuskan (baca: dianjurkan) untuk diniati.
Di lain pihak, ada pula ulama yang berpendapat bahwa kata "a'mal" dalam hadits itu harus dimaknai sebagai: semua perbuatan; secara umum, tanpa dibatasi hanya pada perbuatan-perbuatan syari saja. Pendapat ini merupakan penjelasan Imam Ibnu Hanbal (780 —855M). Dengan pandangan semacam itu, Ibnu Hanbal mengarahkan agar setiap orang yang melakukan aktifitas ritual, baik berupa shalat, puasa, atau beragam amal kebajikan lainnya, agar mendahulukan niat sebelum melakukan pekerjaan dimaksud. Menurut penafsiran Ibnu Hanbal ini, yang dimaksud "a'mal" dalam hadits tersebut adalah seluruh perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia (a'mal al-ikhtiyariyyah). Dan bahwa pekerjaan itu tidak akan terlaksana tanpa adanya kesengajaan dari pihak pelaku. Sedangkan redaksi kedua yang berbunyi: wa innama li kulli imri'in ma nawa, masih menurut pendapat ini, merupakan penjelasan dari perbuatan syar'i tersebut, dimana terkandung di dalamnya muatan pesan bahwa "buah" yang akan didapatkan seseorang amat tergantung dari niatnya. Jika niatnya baik maka perbuatannya akan ikut baik dan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika niatnya jelek maka akan berimbas pada perbuatan yang ikut menjadi jelek dan sekaligus mendapatkan dosa.
Di luar perbedaan penafsiran yang telah disebutkan di muka, kita juga akan menemui sedikit kejanggalan berkaitan dengan makna literal (lafzhi) hadits ini. Dalam bahasa Arab, kata al-a'mal biasanya bermakna segala aktivitas yang dilakukan oleh anggota tubuh, seperti halnya wudlu atau sholat, dan tidak memasukkan pekerjaan hati (afal al-qalb). Masalahnya jika perbuatan hati dimasukkan dalam kategori a'mal — yang mengharuskan untuk diniati lagi-, maka akan menimbulkan mata rantai pekerjaan yang tak berujung (tasalsul). Dengan demikian, berarti niat itu sendiri harus diniati lagi, demikian seterusnya. Untuk menghindari proses yang tanpa batas inilah, akhirnya perbuatan hati (baca: niat) sendiri tidak perlu lagi untuk diniati (lagi).
Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak dijadikan bahan pijakan membangun kaidah "al-umur bi maqashidiha" ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama yang berfungsi sebagai media "pembatas" rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr). Artinya, ketika kata al-a'mal bi al- niyyat didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niat lah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.
Hal-Hal Yang Berhubungan dengan Niat
Secara garis besar, hal-hal yang berhubungan dengan niat ada delapan macam, yaitu;
1. Substansi niat.
2. Status niat.
3. Tempat niat.
4. Waktu niat.
5. Hal-hal yang membatalkannya.
6. Tata cara berniat.
7. Syarat-syaratnya.
8. Tujuan pelaksanaannya.
No comments:
Post a Comment
Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.