Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin
(بُغْيَةُ
الْمُسْتَرْشِدِيْنَ) karya Sayyid Abdurrahman bin
Muhammad bin Husain bin Umar al-Masyhur Ba'alawi, pada halaman 386,
terbitan Darul Fikr Beirut, terdapat keterangan sebagai berikut:
(مَسْأَلَةُ:
ي ش): نَكَحَ حَامِلًا مِنَ الزِّنَا، فَوَلَدَتْ كَامِلًا، كَانَ لَهَا
أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:
(Masalah: [yang dikutip dari pendapat] Imam
Abdulloh bin Yahya & Imam Muhammad bin Abi Bakar al-Asykhori al-Yamani): Seorang
laki-laki menikahi wanita yang sedang hamil karena perbuatan zina, lalu wanita
itu melahirkan anak dalam keadaan sempurna (normal), maka baginya ada empat
keadaan (empat kemungkinan hukum nasab anak tersebut):
إِمَّا
مُنْتَفٍ عَنِ الزَّوْجِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مِنْ غَيْرِ مُلَاعَنَةٍ، وَهُوَ
الْمَوْلُوْدُ لِدُوْنِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ إِمْكَانِ الْاِجْتِمَاعِ بَعْدَ
الْعَقْدِ، أَوْ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ آخِرِ إِمْكَانِ
الْاِجْتِمَاعِ.
⓵ Adakalanya anak itu tidak bisa nasab
kepada suami (bapaknya), baik secara lahir (tatanan sosial) maupun batin (hukum
agama), tanpa melalui proses sumpah li‘ān. Yaitu apabila anak itu lahir kurang
dari enam bulan sejak adanya kemungkinan hubungan badan setelah akad nikah;
atau lebih dari empat tahun sejak kemungkinan terakhir terjadinya hubungan
badan.
________________________________________
📘 CATATAN:
Li‘ān (اَللِّعَانُ)
adalah sumpah saling melaknat antara suami dan istri dalam kasus tuduhan zina
ketika suami menuduh istrinya berzina atau menafikan (menolak) nasab anak,
tetapi tidak memiliki empat orang saksi.
Definisi ringkas: Li‘an adalah proses syar‘i di mana
suami dan istri saling bersumpah di hadapan hakim, lalu saling melaknat, untuk
menyelesaikan tuduhan zina atau penafian nasab tanpa memerlukan empat saksi.
________________________________________
وَإِمَّا
لَاحِقٌ بِهِ، وَتَثْبُتُ لَهُ الْأَحْكَامُ إِرْثًا وَغَيْرَهُ ظَاهِرًا،
وَيَلْزَمُهُ نَفْيُهُ، بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنَ السِّتَّةِ، وَأَقَلَّ
مِنَ الْأَرْبَعِ السِّنِيْنَ، وَعَلِمَ الزَّوْجُ أَوْ غَلَبَ عَلٰى ظَنِّهِ
أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ، بِأَنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ الْعَقْدِ، وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ
مَاءَهُ، أَوْ وَلَدَتْ لِدُوْنِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْئِهِ، أَوْ لِأَكْثَرَ
مِنْ أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْهُ، أَوْ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ
اسْتِبْرَائِهِ لَهَا بِحَيْضَةٍ، وَثَمَّ قَرِيْنَةٌ بِزِنَاهَا، وَيَأْثَمُ
حِيْنَئِذٍ بِتَرْكِ النَّفْيِ، بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّ تَرْكَهُ
كُفْرٌ.
⓶ Adakalanya anak itu bisa dinasabkan kepada suami (bapaknya), dan berlaku baginya hukum-hukum yang terkait dengan warisan dan lainnya, secara lahir. Namun suami wajib menafikan nasab anak itu [melalui sumpah li‘ān], apabila anak itu lahir lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun [sejak adanya hubungan badan suami-istri], dan suami mengetahui atau mempunyai dugaan kuat bahwa anak itu bukan dari dirinya, dengan alasan:
- Suami belum pernah menyetubuhinya setelah akad nikah,
- Wanita itu tidak memasukkan air mani suami ke dalam vaginanya,
- Anak lahir kurang dari enam bulan sejak suami menyetubuhinya,
- Atau lebih dari empat tahun sejak suami menyetubuhinya,
- Atau lebih dari enam bulan setelah suami melakukan istibro’ (memastikan tidak ada kehamilan) dengan menunggu satu kali haidl dan ada indikasi kuat bahwa istrinya berzina.
Dalam keadaan ini, suami berdosa jika
tidak menafikan nasab, bahkan dianggap dosa besar. Diriwayatkan pula bahwa
meninggalkan penafian nasab dalam kondisi seperti ini adalah bentuk kekufuran.
وَإِمَّا
لَاحِقٌ بِهِ ظَاهِرًا أَيْضًا، لٰكِنْ لَا يَلْزَمُهُ نَفْيُهُ إِذَا ظَنَّ
أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِلَا غَلَبَةٍ، بِأَنْ اِسْتَبْرَأَهَا بَعْدَ الْوَطْءِ،
وَوَلَدَتْهُ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَهُ، وَثَمَّ رِيْبَةٌ
بِزِنَاهَا، إِذِ الْاِسْتِبْرَاءُ أَمَارَةٌ ظَاهِرَةٌ عَلٰى أَنَّهُ لَيْسَ
مِنْهُ، لٰكِنْ يُنْدَبُ تَرْكُهُ لِأَنَّ الْحَامِلَ قَدْ تَحِيْضُ.
⓷ Adakalanya anak itu tetap dinasabkan
kepada suami (bapaknya) secara lahir, tetapi suami tidak wajib menafikannya,
bila suami hanya sekadar menyangka—tanpa dugaan kuat—bahwa anak itu bukan
darinya. Misalnya: suami melakukan istibro’ setelah menyetubuhinya, lalu anak
lahir lebih dari enam bulan setelah hubungan badan, dan ada kecurigaan/dugaan bahwa
istrinya berzina. Sebab istibro’ adalah tanda lahiriah bahwa anak tersebut
bukan dari suami. Namun disunnahkan suami tidak menafikan nasab, karena wanita
hamil terkadang masih mengalami haidl.
وَإِمَّا
لَاحِقٌ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ، بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّهُ
كُفْرٌ، إِنْ غَلَبَ عَلٰى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ، أَوِ اسْتَوٰى الْأَمْرَانِ،
بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ إِلٰى أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ
وَطْئِهِ، وَلَمْ يَسْتَبْرِئْهَا بَعْدَهُ، أَوِ اسْتَبْرَأَهَا وَوَلَدَتْ
بَعْدَهُ بِأَقَلَّ مِنَ السِّتَّةِ، بَلْ يَلْحَقُهُ بِحُكْمِ الْفِرَاشِ، كَمَا
لَوْ عَلِمَ زِنَاهَا، وَاحْتَمَلَ كَوْنُ الْحَمْلِ مِنْهُ أَوْ مِنَ الزِّنَا،
وَلَا عِبْرَةَ بِرِيْبَةٍ يَجِدُهَا مِنْ غَيْرِ قَرِيْنَةٍ.
⓸ Adakalanya anak itu dinasabkan kepada suami (bapaknya) dan haram bagi suami menafikannya, bahkan dianggap dosa besar bila menafikannya. Diriwayatkan pula bahwa itu termasuk kekufuran jika suami punya dugaan kuat bahwa anak itu memang dari dirinya, atau kedua kemungkinan (dari suami atau dari zina) sama kuat. Misalnya:
- Anak lahir enam bulan hingga empat tahun sejak suami menyetubuhinya,
- Dan suami tidak melakukan istibro’ setelah itu; atau ia melakukan istibro’ tapi anak lahir kurang dari enam bulan setelah istibro’.
Maka anak tersebut tetap dinasabkan
berdasarkan hukum firosy (kasur/ikatan pernikahan), sebagaimana jika
suami mengetahui istrinya berzina tetapi masih mungkin kehamilan berasal
darinya atau dari zina. Adapun keraguan suami tanpa bukti tidak dianggap.
فَالْحَاصِلُ
أَنَّ الْمَوْلُوْدَ عَلٰى فِرَاشِ الزَّوْجِ لَاحِقٌ بِهِ مُطْلَقًا إِنْ
أُمْكِنَ كَوْنُهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْتَفِيْ عَنْهُ إِلَّا بِاللِّعَانِ
وَالنَّفْيِ، تَارَةً يَجِبُ، وَتَارَةً يَحْرُمُ، وَتَارَةً يَجُوْزُ، وَلَا
عِبْرَةَ بِإِقْرَارِ الْمَرْأَةِ بِالزِّنَا، وَإِنْ صَدَّقَهَا الزَّوْجُ
وَظَهَرَتْ أَمَارَاتُهُ.
Kesimpulannya: Sesungguhnya anak yang lahir di atas firosy
(ikatan pernikahan) suami tetap dinasabkan kepada suami selama masih mungkin
anak itu berasal darinya. Nasab tidak gugur kecuali dengan sumpah li‘ān dan
penafian. Kadang penafian itu wajib, kadang haram, dan kadang boleh. Pengakuan
istri bahwa ia berzina tidak dianggap (sebagai dasar hukum), sekalipun suami
membenarkannya dan ada tanda-tandanya.
No comments:
Post a Comment
Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.