SOAL :
Bagaimana hukumnya keluarga mayit menyediakan makanan untuk
hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau
hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut?
Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari
ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul
bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut
tidak menghilangkan pahala sedekah itu.
Keterangan, dalam kitab:
1. I’anah al-Thalibin [1]
وَيُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسُ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قَالَ كُنَّا نَعُدُّ اْلإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
Makruh hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang
sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka,
sesuai dengan hadis riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali yang
berkata: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan
menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai
bagian ratapan (yang dilarang)”.
2. Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah [2]
وَسُئِلَ) أَعَادَ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكاَتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أُكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَآءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ اللاَّتِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَلَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَى أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَهُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَئُوْنَ بِهِ وَهَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِيْ غَيْرِ اْلأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ. وَهَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنِ الْمَبِيتِ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ ِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمْيِعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَحَوْضِهِمْ فِيْ عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَعَلَّلُوْا بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ
Beliau (Ibn Hajar al-Haitami) -Semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita- ditanya tentang hewan yang disembelih dan diberi garami kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat, sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan;
“Kalau mereka melaksanakan semuanya dengan tujuan mengikuti adat
dan dengan tujuan sedekah pada selain tradisi yang disebut terakhir,
maka bagaimana hukumnya? Boleh atau tidak? Apakah harta yang telah
ditasarufkan, itu ikut dibagi pada bagian-bagian harta ahli waris dalam
pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak
menyetujuinya? Lalu dari kasus menginap bersama keluarga mayit (di
rumah mereka) selama sebulan dari kematiannya. Sebab, tradisi tersebut,
menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti wajib; bagaimana
hukumnya?”
Beliau menjawab: Semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan
di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram
(makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli
warisnya itu bertujuan untuk meratapi atau memuji secara berlebihan
(rastsa’ ).
Seseorang yang salah satu melakukan tradisi di atas dengan tujuan
menangkal gunjingan orang-orang awam dan agar mereka tidak menodai
kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan tradisi di atas,
maka diharapkan ia mendapatkan pahala. Karena mengambil kesimpulan dari
perintah Nabi Saw. terhadap seseorang yang batal shalatnya (karena
hadast saat berjamaah untuk keluar dengan) menutup hidungnya dengan
tangan. Para ulama mengambil kesimpulan ‘illat hukum dari perintah Nabi
Saw. tersebut, yaitu menjaga kehormatan diri dari gunjingan orang awam
ketika ia tidak melakukan cara itu (yang sudah menjadi kebiasaan).
Dan tidak diperbolehkan menbiayai tradisi di atas dengan tirkah
apabila terdapat ahli waris yang mahjur ‘alaih, atau semua ahli waris
sudah pandai-pandai (boleh membelanjakan harta sendiri dengan bebas)
tetapi sebagian dari mereka tidak menyetujuinya.
Catatan kaki:
- [1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin (Singapura: Maktabah Sulaiman Mar’i , t .th). Jilid II, h. 145.
- [2] Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah,(Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), Jili II, h. 7.
No comments:
Post a Comment
Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.