Soal :
Bagaimana hukum orang yang menerima gadai dengan
mengambil manfaatnya, misalnya, sebidang tanah yang digadaikan, kemudian
diambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad diadakan demikian itu,
baik sudah menjadi kebiasaan atau sebelum akad memakai syarat atau dengan
perjanjian tertulis, tetapi tidak dibaca pada waktu akad, hal demikian itu
apakah termasuk riba yang terlarang atau tidak?
Jawab :
Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dari para
ahli hukum (ulama):
- Haram: Sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente).
- Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat.
- Syubhat: (Tidak tentu jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.
Adapun Muktamar memutuskan, bahwa yang lebih
berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram).
Referensi :
[1] al-Asybah wan Nazha'ir
لَوْ عَمَّ فِي النَّاسِ اِعْتِيَادُ إِبَاحَةِ
مَنَافِعِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَلْ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ حَتىَّ
يَفْسُدَ الرَّهْنُ؟ قَالَ الْجُمْهُوْرُ لاَ وَقَالَ الْقَفَّالُ نَعَمْ
Artinya :
Seandainya sudah umum di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan
barang gadai bagi pemberi pinjaman/penerima gadai, apakah kebiasaan itu
dianggap sama dengan menjadikannya sebagai syarat, sehingga akad gadainya
rusak? Jumhur ulama’ berpendapat : “Tidak diposisikan sebagai syarat.”
Sedangkan al-Qaffal berpendapat : “Ya (diposisikan sebagai syarat)”.
[2] I'anatut Thalibin
وَجَازَ لِمُقْتَرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرضٍ
كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَالأَجْوَدِ لِلرَّدِئِ (بِلاَ شَرْطٍ)
فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ.
وَأَمَّا الْمُقْتَرِضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ
فَفَاسِدٌ لِخَبَرِ: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.
------------------------------------------------------------
(قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ مَحَلَّ
الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا
عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ.
Artinya :
Diperbolehkan bagi si pemberi pinjaman untuk memperoleh keuntungan (sesuatu kelebihan) dari peminjam, seperti pengembalian yang lebih dalam ukuran atau sifatnya, dan yang lebih baik pada pinjaman yang jelek asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai persyaratan, bahakan disunatkan bagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu (mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya). Adapun peminjaman dengan syarat adanya keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman, maka hukumnya fasid (rusak), sesuai dengan hadis : “Semua yang menarik sesuatu manfaat (keuntungan bagi pemberi pinjaman) maka termasuk riba.”
-----------------------------------------------------------
(Ungkapan penulis : “maka hukumnya fasid (rusak).”) Berkata Ali as-Syabramallisi, Dengan ini diketahui bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad. Sedangkan jika keduanya (si peminjam dan pemberi pinjaman) secara kebetulan melakukan praktik tersebut, dan tanpa disyaratkan dalam akad, maka akad tu tidak rusak (boleh).
[1] -Jalaluddin asy-Suyuthi, al-Asybah wan Nazhair, (Mesir: Maktabah Musthafa Muhammad, t.th.), h. 86
[2] -Zainuddin al-Malaibari, Fathul Mu’in dalam al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anahtuth Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t.th.), Jilid III, h.53.
1.
No comments:
Post a Comment
Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.