Friday, September 3, 2021

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.3

KEWAJIBAN MENGETAHUI AKIDAH

 

وَبَــــعْــــدُ فَالْــــعِلْمُ بِأَصْــــلِ الدِّيْنِ ۞ مُحَــــــــتَّمٌ يَحْــــــــتَاجُ لِلــــــــتَّبــــــــــــْيِـــــــيْنِ

لَكِنْ مِنَ التَّطْوِيْلِ كَلَّتِ الْهِمَمْ ۞ فَصَارَ فِيْهِ الْاِخْتِصَارُ مُلْتَزَمْ

 

“Adapun sesudah itu maka ilmu tentang pokok-pokok agama ۞ hukumnya wajib (dan dia) butuh kepada penjelasan.

Akan tetapi tersebab panjangnya (penjelasan) capeklah sekalian orang yang punya cita-cita ۞ maka jadilah meringkasnya itu sebagai sesuatu yang diharuskan.”

    Yang dimaksud dengan wajib di sini adalah wajib menurut syara' dan tidak diizinkan meninggalkannya karena berdasarkan firman Alloh: فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ = “Ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Alloh.”

        Maka wajiblah atas tiap-tiap mukalaf dengan wajib aini untuk mengetahui tiap-tiap akidah beserta dalilnya walaupun dalil ijmali. Adapun mengetahuinya dengan dalil tafshili maka hukumnya fardu kifayah.

     Dalil ijmali adalah satu dalil yang tidak mampu menguraikan permasalahan dan tidak dapat melepaskan segala keraguannya. Sedangkan dalil tafshili adalah satu dalil yang mampu menguraikan permasalahan dan dapat melepaskan segala keraguannya.

        Jika seseorang berkata kepada Anda: “Apa dalil atas adanya Alloh Swt?”, lalu Anda berkata: “Alam ini” dan Anda tidak tahu jihat dilalah (segi pendalilan)-nya maka dia adalah dalil ijmali. Demikian pula jika Anda tahu jihat dilalahnya namun tidak mampu melepaskan segala keraguan yang datang atasnya.

    Adapun jika Anda tahu jihat dilalahnya dan mampu melepaskan segala keraguannya maka dia adalah dalil tafshili. Maka jika dikatakan kepada Anda: “Apa dalil atas adanya Alloh Swt? lantas Anda berkata: “Alam ini” dan Anda tahu jihat dilalahnya yakni dari segi barunya, imkannya atau kedua-duanya serta Anda dapat pula melepaskan segala keraguannya maka dialah dalil tafshili.

    Dalam menguraikannya berdasarkan jihat dilalah yang pertama, Anda berkata: “Alam ini baru (berubah-ubah dari ada menjadi tidak ada) dan tiap-tiap yang baru pastilah ada baginya zat yang menjadikan”.

    Berdasarkan jihat dilalah yang kedua, Anda berkata: “Alam ini adalah sesuatu yang mumkin (mungkin-mungkin saja) dan tiap-tiap yang mumkin pastilah ada baginya zat yang menjadikan”.

    Dan berdasarkan jihat dilalah yang ketiga, Anda berkata: “Alam ini adalah sesuatu yang baru serta mumkin dan tiap-tiap yang baru serta mumkin pastilah ada baginya zat yang menjadikan”.

    Adapun orang yang menghafal semua akidah dengan taklid (tanpa mengetahui dalilnya) maka para ulama berbeda pendapat. Dan yang paling sahih adalah bahwa dia itu mukmin yang berbuat maksiat jika dia mampu untuk berfikir dan tidak berbuat maksiat jika dia tidak mampu untuk berfikir.

    Perkataan pengarang dengan يَحْتَاجُ لِلتَّبْيِيْنِ = “(dan dia) butuh kepada penjelasan" bertujuan untuk menerangkan motif yang mendorongnya menyusun manzumah (kitab berbentuk nazam/syair) ini. Akan tetapi penjelasan yang dimaksud oleh pengarang bukanlah penjelasan yang panjang lebar karena dikhawatirkan bisa menimbulkan kebosanan dan kejemuan, melainkan penjelasan ringkas yang dianggap mencukupi dan tidak menimbulkan rusaknya pemahaman.

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.2

 IRSYAD, AL-AAL, SAHABAT

 

فَأَرْشَدَ الْخَلْقَ لِدِيْنِ الْحَقِّ ۞ بِسَيْفِهِ وَهَدْيِهِ لِلْحَقِّ

مُحَمَّدٍ الْعَاقِبْ لِرُسْلِ رَبِّهِ ۞ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَحِزْبِهِ

"Maka diapun meng-irsyadi sekalian makhluk kepada agama yang hak ۞ sambil melindungi mereka dengan pedangnya serta menerangkan dengan Al-Qur' an dan Sunnah untuk yang hak itu.

Yakni Muhammad yang mengakhiri semua utusan Tuhannya ۞ beserta seluruh keluarganya, para sahabatnya dan juga jamaahnya".

Makna Irsyad secara hakiki adalah “menjadikan mereka beroleh petunjuk”. Dan secara majazi maknanya adalah “menunjuki”.

Berdasarkan makna yang pertama maka irsyad itu khusus untuk orang-orang yang beriman (umat ijabah) dan berdasarkan makna yang kedua maka irsyad itu meliputi orang yang beriman dan juga orang kafir (umat dakwah).

Penyebutan lafaz al-khalq (اَلْخَلْقُ = sekalian makhluk) menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. meng-irsyadi semua manusia dan jin berdasarkan ijmak, demikian juga para malaikat, berdasarkan pendapat bahwa beliau diutus kepada mereka dengan irsal taklif sedangkan pendapat yang kuat adalah bahwa beliau diutus kepada mereka dengan irsal tasyrif sebagaimana telah terdahulu uraiannya.

Lafaz al-Aal (اَلْآلُ) mempunyai beberapa makna berdasarkan maqom (tempat)-nya:

1.    Pada maqom doa seperti pada bait di atas maknanya adalah: كُلُّ مُؤْمِنٍ وَلَوْ عَاصِيًا = “Setiap orang mukmin walaupun pelaku kemaksiatankarena pelaku kemaksiatan lebih memerlukan doa dibanding yang lain.

2.    Pada maqom madah (pujian) maknanya adalah: كُلُّ مُؤْمِنٍ تَقِيٍّ = “Setiap mukmin yang bertakwa” berdasarkan riwayat آلُ مُحَمَّدٍ كُلُّ تَقِيٍّ (Keluarga Muhammad adalah tiap-tiap orang yang bertakwa) meskipun riwayat ini lemah.

3.    Pada maqom zakat maknanya adalah Banu Hasyim dan Banu Muttholib menurut Syafi'iyyah dan Banu Hasyim saja menurut ulama Maliki dan Hambali.

Yang dimaksud dengan “Sahabat” adalah: Orang yang berkumpul dengan Nabi kita Muhammad Saw. dalam keadaan beriman dengannya sesudah kebangkitan beliau jadi Nabi di tempat yang bisa untuk saling kenal mengenal yakni di atas bumi ini meskipun dia tidak dapat melihat beliau atau tidak meriwayatkan sesuatu dari beliau atau belum mumayyiz berdasarkan pendapat yang sahih.

Mengenai perkataan ulama “dan dia mati di atas agama Islam” adalah sebagai syarat bagi berlangsungnya persahabatan itu, bukan bagi keasalannya. Maka jika dia murtad dan mati dalam keadaan murtad maka bukanlah dia seorang sahabat seperti Abdulloh bin Kattal. Adapun orang yang kembali beriman seperti Abdulloh bin Abi Saroh maka kembalilah persahabatan itu baginya namun dikosongkan dari pahala menurut Syafi'iyyah.

Menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, persahabatan itu tidak kembali. Namun yang dinyatakan dalam kitab-kitab mereka adalah taroddud (masih ragu-ragu) dan di ketika itu tidaklah ada halangan untuk kembali dalam masalah tersebut kepada Syafi'iyyah berdasarkan apa yang disukai oleh sebagian guru-guru mereka. Faedah kembalinya persahabatan itu adalah penamaan dan kafa'ah maka dinamailah dia dengan sahabat dan jadilah dia sekufu' (sebanding) untuk anak perempuan sahabat.

Orang-orang buta masuk pula dalam golongan sahabat. Contohnya Ibnu Ummi Maktum yang nama aslinya Abdulloh, salah seorang muazzin Nabi. Masuk pula Isa, Khidhir dan Ilyas alaihimus shalatu wassalam serta seluruh malaikat yang pernah berkumpul dengan beliau di muka bumi.

Menurut pendapat yang kuat, Khidhir dan Ilyas masih hidup. Akan tetapi Ilyas adalah seorang rosul dengan nash Al-Qur' an sebagaimana dalam firman Allah: وَإِنَّ إِلْيَاسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَ = "Sesungguhnya Ilyas benar-benar di antara para rosul". (QS. as-Shaffat: 123). Sedangkan Khidhir, ada yang mengatakan dia sebagai wali, ada yang mengatakan sebagai nabi dan ada juga yang mengatakan sebagai rosul.

Thursday, September 2, 2021

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.1

AL-HAMDU, SALAM, SHOLAWAT, NABI DAN ROSUL, TAUHID, MABADI' 'ASYROH DAN AD-DIN

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلٰى صِلَاتِهِ ثُمَّ سَلَامُ اللّٰهِ مَعْ صَلَاتِهِ

عَلٰى نَبِيٍّ جَاءَ بِالتَّوْحِيْدِ وَقَدْ عَرَى الدِّيْنُ عَنِ التَّوْحِيْدِ

“Segala puji bagi Alloh karena pemberianNya,  kemudian salamulloh beserta salawat-Nya

“Semoga tercurahkan kepada seorang Nabi yang datang membawa tauhid padahal sebelumnya agama sungguh sunyi dari tauhid”

Al-Hamdu (اَلْحَمْدُ) menurut bahasa adalah: pujian dengan kalam untuk kebagusan yang ikhtiari (diusahakan) dengan maksud mengagungkan, baik pujian itu dikarenakan satu kenikmatan atau tidak.

Contoh pujian dikarenakan satu kenikmatan adalah: زَيْدٌ كَرِيْمٌ (Zaed seorang yang mulia) dimana ucapan ini kita sampaikan setelah Zaed memberikan penghormatan kepada kita.

Contoh pujian yang tidak dikarenakan satu kenikmatan adalah: زَيْدٌ رَجُلٌ صَالِحٌ (Zaed seorang lelaki yang salih) dimana ucapan ini kita sampaikan setelah kita melihatnya melakukan salat dengan khusyuk.

Rukun al-Hamdu ada lima:

1.     Hamid (حَامِدٌ = orang yang memuji)

2.     Mahmud (مَحْمُوْدٌ = orang yang dipuji)

3.     Mahmud bih (مَحْمُوْدٌ بِهِ = inti dari lafaz pujian)

4.     Mahmud alaih (مَحْمُوْدٌ عَلَيْهِ = faktor yang membangkitkan pujian)

5.     Shighot (صِيْغَةٌ = lafaz pujian)

 

Contoh:

Ahmad memberikan sejumlah hadiah kepada Umar, lalu Umar berkata kepada Ahmad: “Engkau orang yang dermawan”. Maka Umar sebagai hamid, Ahmad sebagai mahmud, inti dari lafaz pujian yakni kedermawanan sebagai mahmud bih, perbuatan memberi sejumlah hadiah sebagai mahmud alaih dan ucapan “Engkau seorang yang dermawan” sebagai shighot.

Al-Hamdu (puji-pujian) itu ada empat macam:

1.   Puji Qodim bagi Qodim yakni pujian Alloh kepada diri-Nya dengan diri-Nya sendiri. Contohnya adalah firman Alloh: نِعْمَ الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ  ="Dialah Alloh sebagai pelindung dan penolong terbaik”.

2.   Puji Qodim bagi Hadis yakni pujian Alloh kepada para nabi, para wali dan orang-orang yang suci hatinya. Contohnya adalah firman Alloh kepada Nabi kita Muhammad Saw. وَإِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٌ = Sesungguhnya engkau wahai Muhammad benar-benar memiliki perilaku yang agung”.

3.   Puji Hadis bagi Qodim yakni pujian kita (sekalian makhluk) kepada Alloh Swt. Contohnya adalah ucapan Nabi Isa As. sebagai pujiannya kepada Alloh Swt.: تَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ وَلَا أَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ = Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui terhadap perkara-perkara yang gaib".

 

4.   Puji Hadis bagi Hadis yakni pujian kita kepada sebagian kita yang lain. Contohnya adalah ucapan Rosululloh Saw. yang memuji Abu Bakar Ra.: مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ وَمَا غَرَبَتْ مِنْ بَعْدِيْ عَلٰى رَجُلٍ أَفْضَلَ مِنْ أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ = “Sepeninggalku nanti matahari tidak terbit dan tidak pula terbenam kepada seseorang yang lebih utama dibanding Abu Bakar shidiq". Juga seperti ucapan kita dengan: نِعْمَ الرَّجُلُ زَيْدٌ = “Sebaik-baik lelaki adalah Zaed”.

Ungkapan “untuk kebagusan yang ikhtiari” maksudnya adalah untuk kebagusan yang merupakan hasil usaha meskipun dia adalah kebagusan pada keyakinan orang yang dipuji (mahmud) dan persangkaan pada orang yang memuji (hamid).

    Dikecualikan dengan kata-kata ikhtiari itu sesuatu yang idhthirori (sudah pasti, tanpa perlu diusahakan) karena pujian terhadapnya tidak dinamai dengan al-Hamdu melainkan al-Madhu (اَلْمَدْحُ) seperti: مَدَحْتُ اللُؤْلُؤَةَ عَلٰى حُسْنِهَا = "Saya memuji batu permata itu karena keindahannya". Jadi tidak diungkapkan pujian di situ dengan حَمِدْتُهَا.

    Ungkapan “dengan maksud mengagungkan” -sebagaimana dalam definisi itu- adalah untuk mengecualikan pujian yang dimaksudkan sebagai ejekan dan olok-olokan seperti ucapan malaikat kepada Abu Jahal: ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ عَزِيْزُ الْكَرِيْمُ = "Rasakanlah (azab itu)! Sesungguhnya engkau merasa dirimu perkasa lagi mulia".

    Yang demikian itu adalah karena Abu Jahal -semoga Alloh melaknatinya- pernah berkata: أَنَا أَعَزُّ الْبَوَادِيْ وَأَكْرَمُهُمْ = "Sayalah orang baduwi yang paling perkasa dan paling mulia”. Maka malaikat penjaga neraka mengucapkan yang demikian itu sebagai olok-olokan untuk Abu Jahal.

    Adapun pengertian al-Hamdu menurut istilah adalah: “Suatu perbuatan yang melambangkan pengagungan kepada sang pemberi nikmat dari segi kedudukannya sebagai zat yang memberi nikmat kepada orang yang memuji atau selainnya, baik perbuatan itu berupa ucapan dengan lidah, i’ktikad dengan hati ataupun amalan dengan anggota-anggota tubuh sebagaimana dikatakan:

أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّيْ ثَلَاثَةً يَدِيْ وَلِسَانِيْ وَالضَّمِيْرَ الْمُحَجَّبَا

“Nikmat-nikmat itu telah menyampaikan kepadamu tiga perbuatan dariku yakni perbuatan tanganku, lidahku dan hatiku yang terhijab”.

Makna Salamulloh (سَلَامُ اللّٰهِ) adalah penghormatan Alloh Swt. yang pantas dengan kedudukan Nabi kita Muhammad Saw. Penghormatan yang pantas untuk beliau sebagaimana diterangkan oleh Sanusi dalam syarah al-Jaza'iriyyah adalah bahwa Alloh memperdengarkan kepada beliau kalam-Nya yang Qadim yang menunjukkan ketinggian maqomnya yang agung.

Sebagian ulama tidak menyetujui penafsiran salam dengan “keamanan” -meski disebutkan oleh Sanusi dan yang lainnya- karena penafsiran itu mengesankan “ketakutan” sedangkan Nabi Saw. bahkan juga para pengikutnya tidak ada ketakutan atas mereka. Akan tetapi kalau ada riwayat yang menyebutkan perihal takutnya Nabi Saw. maka ketakutan itu adalah dalam rangka penghormatan dan pengagungan sebagaimana sabda Nabi Saw.: إِنِّيْ لَأَخْوَفُكُمْ مِنَ اللّٰهِ = “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah Swt”.

 

Mengenai makna Sholawat ada dua pendapat:

1.    Rahmat yang disertai pengagungan

2.    Semata-mata rahmat, baik disertai pengagungan atau tidak.

Menurut mayoritas ulama, sholawat itu kalau datangnya dari Alloh maka maknanya adalah rahmat, kalau datang dari malaikat maknanya adalah istighfar dan kalau datang dari selain mereka maknanya adalah doa.

Sholawat itu dapat memberi manfaat kepada Nabi kita Muhammad Saw. sebagaimana juga pada sekalian nabi. Akan tetapi seyogyanya kita tidak menyatakan yang demikian kecuali pada maqom ta'lim (tempat pengajian) sebagaimana diisyaratkan oleh sebagian ulama:

 

وَصَحَّحُوْا بِأَنَّهُ يَنْتَفِعُ بِذِي الصَّلَاةِ شَأْنُهُ مُرْتَفِعُ

لٰكِنَّهُ لَا يَنْبَغِي التَّصْرِيْحُ لَنَا بِذَا الْقَوْلِ وَذَا صَحِيْحُ

“Mereka mensahihkan bahwa Nabi Muhammad beroleh manfaat dengan sholawat itu hingga keadaannya bertambah tinggi.

Akan tetapi tidaklah sepatutnya bagi kita untuk menyatakan pendapat ini (secara terbuka), dan inilah yang sahih”.

 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa manfaat itu hanya kembali pada diri orang yang bersholawat karena Nabi Saw. telah sampai pada derajat kesempurnaan yang tertinggi. Namun pendapat ini tertolak karena tidak ada satu kesempurnaan pun kecuali di sisi Alloh ada yang lebih sempurna lagi. Dan sesuatu yang sempurna masih bisa menerima kesempurnaan. Akan tetapi tidaklah pantas bagi orang yang bersholawat untuk memperhatikan hal yang seperti itu. Hendaknya dia memperhatikan bahwa dia bertawasul dengan Nabi Saw. di sisi Tuhannya dalam rangka mencapai segala maksud dan tujuannya. Jadi janganlah orang yang bersholawat itu bermaksud dengan sholawatnya tersebut untuk memberi manfaat kepada Nabi Muhammad Saw. melainkan hendaknya dia maksudkan untuk tawasul.

Kata-kata Nabi jika diambil dari lafaz اَلنَّبَأُ yang berarti pemberitahuan maka maknanya ada dua:

1.   Bermakna mukhbir (مُخْبِرٌ) yakni orang yang memberitahukan kepada kita tentang hukum-hukum dari Alloh Swt. jika dia nabi sekaligus rosul. Adapun jika dia hanya seorang nabi maka dia memberitahukan kepada kita tentang keadaannya sebagai nabi agar dia dihormati.

2.   Bermakna mukhbar (مُخْبَرٌ) yakni orang yang diberitahukan oleh Jibril tentang Allah Swt.

    Adapun jika diambil dari lafaz اَلنُّبُوَّةُ yang berarti ketinggian maka maknanya juga ada dua:

1.    Orang yang menaikkan derajat para pengikutnya.

2.    Orang yang dinaikkan derajatnya.

    Para ulama memberikan definisi Nabi sebagai berikut:

إِنْسَانٌ ذَكَرٌ حُرٌّ مِنْ بَنِيْ آدَمَ سَلِيْمٌ عَنْ مُنَفِّرٍ طَبْعًا أُوْحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ يَعْمَلُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يُؤْمَرْ بِتَبِلِيْغِهِ

 “Manusia laki-laki yang merdeka dari keturunan Adam yang selamat dari kondisi menjijikkan yang diwahyukan syariat kepadanya dan dia mengamalkannya meski tidak diperintah untuk menyampaikannya".

Mengenai Rosul, definisinya seperti itu juga namun dikaitkan dengan وَأُمِرَ بِتَبِلِيْغِهِ = “dan dia diperintah untuk menyampaikannya".

    Penyebutan kata “manusia” mengecualikan hewan-hewan yang lain dan jatuh kafir orang yang berkata فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ نَذِيْرٌ dengan makna bahwa di setiap kelompok hewan ada rosulnya.

    Penyebutan kata “laki-laki” mengecualikan perempuan berdasarkan pendapat bahwa perempuan juga dikatakan dengan insan. Adapun jika perempuan dikatakan dengan insanah maka cukuplah dia dikecualikan dengan lafaz insan itu.

    Pendapat tentang kenabian Siti Maryam, Asiyah isteri Firaun, Siti Hawa dan ibu Musa yang bernama Yuhaniza adalah pendapat yang lemah. Penulis kitab Bad'ul Amali berkata:

وَمَا كَانَتْ نَبِيًّا قَطْ اُنْثٰى وَلَا عَبْدٌ وَشَخْصٌ ذُوْ فَعَّالِ

“Tidaklah sekali-kali perempuan itu menjadi nabi, tidak pula hamba sahaya dan orang yang berkelakuan buruk”.

Penyebutan kata “yang merdeka” mengecualikan budak. Mengenai status Lukmanul Hakim sebagai budak tidaklah mengapa karena dia bukan nabi berdasarkan riwayat bahwa dia adalah murid 1000 orang nabi.

Penyebutan kata “dari keturunan Adam” mengecualikan jin dan malaikat berdasarkan pendapat bahwa al-insan terambil dari kata an-naus (اَلنَّوْسُ) yang artinya bergerak. Seseorang dikatakan dengan نَاسٌ apabila dia bergerak. Maka tercakuplah jin dan malaikat sehingga perlu mengecualikan keduanya dengan kata “dari keturunan Adam”.

Adapun berdasarkan pendapat bahwa al-insan terambil dari kata al-insاَلْإِنْسُ (manusia) maka khususlah ia dengan “keturunan Adam” sehingga tidak perlu lagi mengecualikan jin dan malaikat dengan kata tersebut.

Penyebutan kata “yang selamat dari kondisi menjijikkan” mengecualikan orang yang tidak selamat daripadanya. Maka orang yang buta, kusta dan lepra tidaklah menjadi nabi dan tidak juga menjadi rosul. Hal ini tidak dibantah dengan peristiwa yang menimpa Nabi Ayyub dan kebutaan yang menimpa Nabi Ya'kub karena itu adalah perkara yang bersifat zahir saja, bukan sebenarnya. Dan tidak juga dibantah andai yang demikian itu adalah perkara sebenarnya karena datangnya itu sesudah nyata kenabian sedangkan pembicaraan di sini adalah pada perkara yang mengiringi kenabian.

Mengenai jumlah para nabi terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama mengatakan 124.000, sebagian lagi mengatakan 200.024. Jumlah para rosul pun demikian juga. Ada yang mengatakan 313, yang lain mengatakan 314 dan yang lainnya lagi mengatakan 315. Yang paling selamat adalah menahan diri dari yang demikian karena Allah Swt. berfirman:

مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

"Sebagian di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan yang sebagian lagi tidak Kami ceritakan". (QS. Al-Mukmin: 78)

Nabi Muhammad diutus oleh Alloh ketika berumur 40 tahun kepada sekalian mukalaf dari kalangan jin dan manusia. Penyebutan jin dan manusia mengecualikan malaikat karena beliau tidak diutus kepada mereka dengan irsal taklifi (diutus untuk membebankan perintah-perintah agama) melainkan dengan irsal tasyrif (diutus untuk memberikan penghormatan) karena ketaatan para malaikat merupakan satu tabiat, tidak perlu lagi ditaklifkan. Inilah yang dikuatkan oleh Imam ar-Romli dalam an-Nihayah.

Berbeda dengan Ibnu Hajar dalam at-Tuhfah dimana beliau berkata: “Dan juga rasul-Nya kepada segenap ats-tsaqalain yakni jin dan manusia berdasarkan ijmak yang diketahui dari agama dengan pasti hingga kafirlah orang yang mengingkarinya. Begitu juga kepada sekalian malaikat sebagaimana dikuatkan oleh ulama muhaqqiqin seperti Subki dan para pengikutnya”.

Pada perkataan pengarang dengan جَاءَ بِالتَّوْحِيْدِ terdapat baro'atul istihlal yakni: Pembicara atau pengarang mendatangkan di awal pembicaraannya hal-hal yang dapat mengindikasikan kepada apa yang dimaksudkan, yang dalam hal ini adalah ilmu Tauhid.

Ilmu tauhid adalah: Satu ilmu yang dengannya seseorang dapat menetapkan akidah-akidah agama yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang meyakinkan”.

    Definisi ini adalah salah satu dari Mabadi' 'Asyroh (sepuluh prinsip) yang dinazamkan oleh sebagian ulama:

 

إِنَّ مَبَادِيْ كُلِّ فَنٍّ عَشْرَةْ اَلْحَدُّ وَالْمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمْرَةْ

وَفَضْلُهُ وَنِسْبَةٌ وَالْوَاضِعْ وَالْاِسْمُ الْاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعْ

مَسَائِلُ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْضِ اكْتَفٰى وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا

Sesungguhnya prinsip-prinsip dasar setiap bidang ilmu itu ada sepuluh Ta'rifnya, Maudhu' (objek pembahasan)nya, Buahnya”

Keutamaannya, Hubungannya, Orang pertama yang menghimpunnya, Namanya, Dasar pengambilannya, Hukum syaranya

“Dan Masalah-masalahnya. Sebagian ulama menganggap cukup dengan sebagiannya saja dan barang siapa mengetahui semuanya maka berhaklah ia mendapat keutamaan".

Keterangan:

1.    Ta'rif ilmu Tauhid: Sudah disebutkan terdahulu.

2.    Maudhu'nya:

     a.    Zat Alloh dari segi apa-apa yang wajib, mustahil dan jaiz bagi-Nya.

b.    Zat para rosul, juga dari segi apa-apa yang wajib, mustahil dan jaiz bagi mereka.

c.    Perkara mumkin (mungkin) dari segi dapatnya menyampaikan kepada wujud sang pencipta.

d.     Perkara-perkara sam'i (nash-nash agama) dari segi mengitikadkannya.

3.    Buahnya: Dapat mengetahui Alloh dengan dalil-dalil yang qath'i (pasti) serta mendapat keberuntungan dengan kebahagiaan abadi.

4.    Keutamaannya: Bahwa ilmu ini adalah semulia-mulia ilmu karena keadaannya yang berhubungan dengan zat Alloh Swt. dan zat para rasul serta hal-hal yang terkait dengannya.

5.    Hubungannya: Bahwa ilmu ini adalah pokok pangkal segala ilmu agama dan apa yang selainnya adalah sebagai cabangnya saja.

6.    Orang pertama yang menyusunnya:

a.        Abu Hasan al-Asy'ari serta para pengikutnya.

b.       Abu Manshur al-Maturidi dan para pengikutnya.

7.    Namanya: Ilmu Tauhid karena pembahasannya mengenai keesaan Alloh adalah pembahasan yang paling masyhur (populer).

8.    Dasar pengambilannya: Dalil-dalil naqli (Al-Qur'an Hadis) dan dalil-dalil 'aqli (rasio atau nalar).

9.    Hukum syara'nya: Wajib ain atas tiap-tiap mukalaf, laki-laki maupun perempuan.

10. Masalah-masalahnya: Segala perkara yang membahas tentang perkara wajib, jaiz dan mustahil.

    Sepuluh prinsip dasar ini dinamai juga dengan Muqaddimatul ilmu (pembukaan ilmu).

Ad-Dinاَلدِّيْنُ (agama), di antara maknanya menurut bahasa adalah ketaatan, ibadah, pembalasan dan hisab. Adapun maknanya menurut istilah adalah: Hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Alloh Swt. melalui lisan nabi-Nya.

Sesuatu itu dinamakan dengan ad-din karena kita tunduk dan patuh kepadanya. Dinamakan juga dengan millah (مِلَّةٌ) dari segi bahwa malaikat meng-imla' atau membacakannya kepada rosul dan rasul itu meng-imla'nya kepada kita. Dinamakan juga dengan syara' dan syariat dari segi bahwa Alloh mensyariatkannya yakni menerangkannya kepada kita melalui lisan Nabi Muhammad Saw. Maka Alloh adalah syari' (شَارِعٌ = pembuat syariat) secara hakikat dan Nabi adalah syari' secara majaz.

Menurut Imam Nawawi, perkara-perkara agama itu yakni tanda-tanda keberadaannya ada empat sebagaimana dinadhomkan oleh ulama:

 

أُمُوْرٌ لِدِيْنٍ صِدْقُ قَصْدٍ وَفَا الْعَهْدِ وَتَرْكٌ لِمَنْهِيٍّ كَذَا صِحَّةُ الْعَقْدِ

 “Perkara-perkara agama itu adalah: Membenarkan qoshod (tujuan), Memenuhi janji, Meninggalkan larangan dan Kesahihan i'tikad”

 

Makna daripada:

1.     Membenarkan qoshod (tujuan) adalah melakukan ibadah dengan niat yang penuh keikhlasan.

2.     Memenuhi janji adalah melaksanakan segala yang fardlu.

3.     Meninggalkan larangan adalah menjauhi segala yang diharamkan.

4.     Kesahihan i'tikad adalah kemantapannya dengan akidah-akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.