Monday, October 18, 2021

MENGAPA ISRAK MI’RAJ TERJADI?

 
    "Ya Jibril kita akan ke mana?" tanya Nabi dengan suara santun kepada pemimpin para malaikat itu.

    "Ya Muhammad, telah tiada dimensi ke-di mana-an (al-'aina) dari ke-di antara-an (al-baina)," jawab Jibril. "Dalam titah ini, aku tidak tahu akan ke mana. Tetapi, aku adalah utusan Zat Yang Maha Dahulu (rasul Al-Qidam). Aku diutus menghadapmu sebagai golongan dari para abdi (al-khadam). Dan tidaklah kami turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu (QS. Maryam [19]: 64)."

    "Ya Jibril apa yang Ia inginkan dariku?"

    "Engkaulah yang diinginkan oleh Kehendak-Nya (murod al-Irodah). Engkaulah yang dituju oleh Keinginan-Nya (maqshud al-Masyi'ah). Segala sesuatu dikehendaki tidak lain dan tidak bukan adalah karena engkau. Dan engkau dikehendaki karena segala sesuatu. Engkaulah manusia pilihan alam semesta (mukhtar al-Kaun)[1]

    KITA percaya kepada Israk Mikraj, karena Allah sendiri mengabarkannya dalam Kitab Suci-Nya. Kita takjub kepada Israk Mikraj, karena kisah yang diuraikan Nabi mengenainya membuat akal tak kuasa menalar. Dan, kita pun percaya itu semua, karena selama itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Maha Esa, tiada yang tak dapat terjadi.

    Peristiwa Isra Mikraj terjadi di tengah-tengah kehidupan carut-marut bangsa Arab. Saat itu, aktivitas dakwah Islamiyah sangat sulit dan tidak kondusif. Saat itu, jumlah kaum Muslim tak kunjung bertambah, meskipun segala daya dan upaya, serta aktivitas dakwah terus dikerahkan secara maksimal. Alih-alih merespons dakwah dan mengikrarkan keislaman, orang-orang kafir dan musyrik justru memberi tekanan berupa intimidasi, pengasingan, bahkan ancaman pembunuhan kepada kaum muslim. Tak pelak, umat Islam tidak saja tertekan secara mental, melainkan juga tertekan secara fisik. Orang-orang kafir dan musyrik meminta kepada Rasulullah bukti-bukti secara kasatmata akan kebenaran risalah yang dibawanya. Jika Rasulullah tidak dapat menunjukkan bukti-bukti itu secara kasatmata, maka mereka akan menuduh dan mengklaim beliau sebagai manusia pembohong, tukang tenung, tukang sihir, bahkan sebagai manusia yang tidak waras.[2] Al-Qur'an, dengan bahasa yang sangat indah, merekam tuntutan mereka ini:

 

 وَقَالُوْا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوْعًا. أَوْ تَكُوْنَ لَكَ جَنَّةٌ مِّنْ نَخِيْلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيْرًا. أَوْ تُسْقِطَ السَّمَآءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللّٰهِ وَالْمَلَآئِكَةِ قَبِيْلًا. أَوْ يَكُوْنَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقٰى فِي السَّمَآءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتّٰى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّيْ هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَّسُوْلًا.

Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca. Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS. Al-Isra [17] : 90-93).

    Namun, Mukjizat Israk Mikraj justru terjadi secara tidak kasatmata. Ia terjadi dalam suasana yang sangat rahasia, dan tidak ada satu pun yang menyaksikannya, tidak seperti yang diminta orang-orang kafir dan musyrik dimana mereka menuntut bukti-bukti risalah yang nyata dan kasatmata. Dari sini, jelas, bangsa Arab pada saat itu tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan mukjizat seperti Israk Mikraj.

    Jika demikian kenyataanya, maka yang paling patut menjadi renungan adalah, mengapa peristiwa besar dalam sejarah itu terjadi pada waktu yang tidak kondusif? Rahasia macam apakah di balik perjalanan menjelajahi alam semesta itu? Sebagian orang mungkin ada yang berpikir sepintas: Jelas, tujuan Israk Mikraj adalah perjalanan menuju Allah. Bukankah ending dari perjalanan mahadahsyat itu berupa pertemuan Nabi dengan Tuhannya. Begitu kira-kira kilah sebagian orang.

    Pernyataan spontanitas ini bukan saja tidak dapat diterima, tetapi bahkan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip akidah yang benar. Mindset semacam ini mengarah ke sebuah keyakinan bahwa Allah bertempat di atas langit sana, dan untuk dapat menuju kepada-Nya Nabi harus mi'raj terlebih dahulu, harus naik ke langit sebelum kemudian bertemu dengan-Nya. Padahal, Tuhan adalah Maha Tak Terbatas, tak bisa dibatasi oleh sebuah tempat, tak terikat oleh sebuah masa, dan mustahil bisa dibatasi dengan sifat-sifat makhluk. Padahal, untuk bertemu Tuhan, Nabi tak perlu naik menembus langit dan melampaui Sidratul Muntaha. Hati Nabi senantiasa "penuh" dengan Allah. Kedalaman Nabi tak pernah lelah bersujud di bawah "Telapak Kaki"-Nya. Allah selalu bersama dan di sisi Nabi di mana pun dan kapan pun berada, baik ketika di bumi atau di langit, ketika mi'raj atau tidak mi'raj, maupun ketika tidur atau terjaga.[3]

    Seperti tiap kejadian besar dalam sejarah, para pakar berbeda pendapat dalam menentukan latar belakang yang menyebabkan Israk Mikraj terjadi. Setidaknya, ada tiga pendapat yang populer dalam menguak penyebab tersebut. Pertama, berkaitan dengan kisah Perdebatan Langit dan Bumi; kedua, berkaitan dengan 'Amu al-Huzn; dan ketiga, berkaitan dengan ayat linuriyahu min ayatina.

    Meskipun demikian, apapun latar belakang yang menyebabkan Israk Mikraj, yang pasti semua yang terjadi dalam kehidupan ini sudah maktub fi al-azaliy, telah menjadi suratan takdir sebelum Allah menciptakan langit, bumi, dan seisinya. Tanpa sebab-sebab yang dikemukakan oleh para pakar itu pun peristiwa Israk Mikraj tetap akan terjadi. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu bahkan tanpa satu pun penyebab yang menyertainya. Tetapi, sunnatullah dalam sebuah peristiwa acap kali disertai dengan sebab-musabab lahiriah, yang dengannya manusia akan mampu menangkap hikmah terdalam di balik sebuah peristiwa tersebut. Itu sebabnya, tulisan dalam sub bab ini akan menggali sebab lahiriah dari peristiwa Israk Mikraj, sebagai upaya menguak dan menyingkap hikmah terdalam yang tesimpan di dalamnya.

 

PERDEBATAN LANGIT DAN BUMI

Dalam kitab Durrat an-Nasihin, sebuah kitab yang sangat populer dikaji di kalangan pesantren, teridentifikasi sebuah peristiwa yang cukup unik, yaitu Perdebatan Langit dan Bumi. Di sana, penulisnya, seorang ulama terkemuka abad ketiga belas hijriah, Utsman bin Hasan asy-Syakir al-Khubawiy mengemukakan bahwa peristiwa inilah latar belakang yang menyebabkan Nabi Muhammad mengalami Isra Mikraj. Peristiwa ini ia kisahkan dengan sangat rapi.

    ALKISAH: Pada mulanya, Bumi tempat manusia hidup ini merasa bahwa dirinya lebih mulia daripada Langit. Bumi merasa bangga dirinya bisa mengungguli langit. Bumi mengatakan kepada Langit, "Aku ini, sungguh-sungguh lebih mulia daripada kamu. Lihatlah, Allah © menghiasi diriku dengan negeri-negeri, lautan, dan sungai-sungai; pepohonan, gunung-gunung, dan bentang alam".

    Mendengar kalimat ini, Langit tidak terima dan dia mengatakan kepada Bumi, "Justru aku yang lebih mulia daripada kamu. Lihatlah! Matahari, rembulan, dan bintang-bintang; cakrawala dan rasi bintang; al-'Arsy, al- Kursiy, dan surga, semuanya bertempat di aku".
 
    Bumi tak mau kalah. Dia juga menyebutkan tempat mulia yang berada di atas tanahnya. "Di atasku ada Ka'bah, tempat di mana para nabi, rasul, dan wali, juga segenap kaum Mukminin melaksanakan thawaf dan ibadah kepada Tuhan alam semesta". 
 
    Langit tetap berargumen untuk mengalahkan hujah-hujah yang dilontarkan bumi. "Aku punya Baitul Ma'mur, tempat di mana para malaikat penghuniku melaksanakan thowaf dan ibadah. Dan aku juga punya surga, tempat tinggal ruh para nabi dan rasul, tempat tinggal ruh para wali dan orang-orang saleh". 
 
    Tetapi kemudian, bumi menanggapi hujah langit itu dengan sebuah argumentasi yang akan menundukkan ketinggian langit di bawah lutut bumi, sebuah argumentasi yang final. "Ketahuilah, Langit. Sesungguhnya pemimpin para rasul dan penutup para nabi, kekasih Tuhan alam semesta dan makhluk paling mulia di jagat raya ini, ia bertempat tinggal di atas tanahku. Ia menjalankan syari'atnya di atas tanahku".
 
    Mendengar argumentasi bumi ini, lidah' langit terkelu dan tidak kuasa melanjutkan perdebatan untuk mengalahkan bumi. Maka, langit menghadap kepada Allah meratapkan duka derita di hadapan-Nya, menumpahkan segala kecengengan di depan-Nya.
 
    "Ilahi...., Engkau adalah Dzat yang mengabulkan doa hamba-Mu yang sedang terdesak," Langit mengaduh. "Hamba tak kuasa menanggapi jawaban Bumi. Hamba memohon kepada-Mu, sudilah Engkau menaikkan Muhammad ke tempat hamba. Merupakan sebuah kehormatan bagi hamba dengan kunjungan makhluk paling mulia itu, sebagaimana bumi mendapat kehormatan dengan keindahan manusia mulia itu berdiam di atas tanahnya".

    Maka, demi mendengar langit madul kepada-Nya, pada malam kedua puluh tujuh Rajab, Allah mengabulkan doa langit dan mewahyukan kepada Jibril untuk berhenti bertasbih di malam itu, dan kepada Izrail untuk tidak mencabut nyawa siapapun di malam itu pula. Mendapat perintah sedemikian itu, Jibril bertanya, "Apakah telah tiba Hari Kiamat?".

    "Tidak, Jibril!" jawab Allah. "Pergilah ke surga, ambil seekor Buraq dan temuilah Muhammad bersamanya".

    Jibril pun lekas-lekas pergi. Ia melihat ada 40.000 Buraq sedang merumput di pertamanan surga. Di setiap dahi seekor Buraq, bersusun empat huruf yang bertuliskan, مُحَمَّدٌ, Muhammad. Dan, di antara kerumunan Buraq itu, Jibril melihat seekor Buraq yang menundukkan kepalanya sembari menangis, menitiskan air mata. Jibril menghampiri dan menanyakan, "Apa yang terjadi padamu, Buraq?".

    Mendengar pertanyaan itu, Buraq segera mencurahkan isi hatinya kepada Jibril, "ya Jibril, sejak 40.000 tahun yang lalu aku telah mendengar nama Muhammad. Telah tertancap di hatiku rasa cinta dan rindu akan pemilik nama itu. Semenjak itulah aku sama sekali tak butuh lagi makan dan minum; jiwaku telah terbakar oleh api kerinduan."

    "Ikutlah denganku", kata Jibril, "aku akan membawamu kepada kekasih yang selama ini engkau rindukan." Jibril lalu memasang pelana dan kendali Buraq tersebut, lantas membawanya pergi bersama Mikail menemui Nabi Muhammad Saw. Dan, terjadilah peristiwa agung Israk Mikraj.[4]  

    Kisah perdebatan Langit dan Bumi ini belum dipastikan kesahihan-nya. Penulisnya sendiri -seperti kecendrungan umum para penulis kitab-kitab tasawuf- tak menyebutkan data transmisi intelektual (sanad) yang berkesinambungan sampai kepada Nabi Muhammad Saw dan cukup menyatakan begitu saja bahwa kisah ini sebagai penyebab beliau di-mi'raj-kan ke langit. Dan, secara logis, kisah ini masih problematis jika diklaim sebagai penyebab peristiwa Israk Mikraj. Sebab, keistimewaan Israk Mikraj terlalu agung apabila ia hanya disebabkan oleh perdebatan Langit dan Bumi. Andai kata ada yang berapologi -seperti banyak mubaligh- maka kisah ini sewajarnya tak lebih dari sekadar unsur atau bumbu-bumbu yang menyertai perjalanan Israk Mikraj, bukan sebagai esensi paling utama.

AMU AL-HUZNI

    Tidak sedikit yang mewacanakan bahwa penyebab Israk Mikraj terjadi adalah untuk menghibur diri Rasulullah Saw yang sedang tertimpa kepedihan tak terperikan. Wacana ini dihasilkan melalui analisis historis di mana peristiwa Israk Mikraj dihubungkan dengan peristiwa sebelumnya, yaitu 'Amu al-Huzni, Tahun Kesedihan. Sebagaimana diuraikan dalam bab III, kewafatan Abu Thalib dan Khadijah telah mengisi kesedihan di ruang hati Rasulullah. Setelah ketiadaan dua orang istimewa ini kehidupan Rasulullah kerap ditumpuki dan dan dihujani berbagai duka derita yang amat perih: derita mendapat perlakuan-perlakuan biadab kaum paganis; derita dilempari batu sampai kaki berdarah-darah di tengah dakwahnya di Thaif; derita merasakan diri terkucilkan dan terasingkan dari manusia-manusia bumi. Tetapi, yang paling membuat Nabi bersedih bukan hanya dikarenakan beliau telah kehilangan dua orang istimewa dan mendapat perlakuan-perlakuan biadab itu, melainkan lebih dominan disebabkan oleh tertutupnya pintu-pintu dakwah untuk menyebarkan Islam. Pasca dua orang itu wafat, di manapun beliau menyerukan Islam, di situ pasti terdapat penolakan. Semua orang kini berani memusuhi beliau secara terang-terangan. Keadaan ini membuat Nabi bersedih hati. Beliau bersedih tidak dapat menjalankan misi menegakkan agama Allah.[5]

Dengan menganalisis Tahun Kesedihan inilah banyak yang mewacanakan kesimpulan bahwa Allah lantas meng-Isra'-kan Rasulullah untuk menghibur dan menyenangkan, serta menggembirakan hati beliau agar duka derita yang bersemayam dalam dada beliau menjadi sirna. Kesimpulan semacam ini banyak diwacanakan ulama-ulama kontemporer, antara lain Syekh Tantawi Ahmad Umar, Dr. Mustafa Ahmad Rifa'i, dan yang lainnya.

Syekh Tantawi, dalam makalahnya yang dimuat dalam majalah Minbar al-Islam, sebuah majalah terbitan Kairo Mesir era 70-an, pernah mengemukakan gagasan seperti di atas dan kiranya bisa dinilai sebagai representasi pendapat yang menghubungkan Irsak Mikraj dengan Tahun Kesedihan. Ia menulis:

Perjalanan Israk Mikraj memiliki banyak maksud dan tujuan. Di antara yang penting dari tujuan Israk Mikraj itu adalah untuk menghibur diri Rasulullah dari duka dan nestapa. Dengan perjalanan agung ini, diharapkan bisa membuat hati Rasulullah senang dan gembira, serta terlepas dari beban yang menghimpit beliau. Peristiwa Israk Mikraj ini juga bertepatan dengan hari-hari sulit pada dakwah beliau, di mana tekanan dan intimidasi demikian gencar menimpa beliau. Hal itu terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Pada tahun tersebut, istri tercinta beliau yang bernama Khadijah binti Khuwailid, juga paman beliau yang bernama Abu Talib, telah dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Kedua sosok inilah yang selama ini membela dan mendampingi Rasulullah dalam menapaki kehidupan serta perjuangan dakwah. Peran keduanya sangatlah besar dan teramat dalam bagi kehidupan Rasulullah. Di tengah-tengah kedukaan itu, kepedihan beliau bertambah dengan perlakuan yang beliau terima dari masyarakat Thaif yang begitu keji dalam merespons dakwah beliau. Ketiga hal inilah yang membuat beliau benar-benar menghadapi masa sulit, dan berada pada kepedihan serta kedukaan yang tidak pernah beliau rasakan sepanjang hidupnya. Karena itulah, Allah menghibur Rasulullah dengan memperjalankan beliau hingga Sidratul Muntaha.[6]

Barangkali, hingga kini, pemikiran di atas masih terus mengkristal dalam keyakinan sebagian umat Islam, bahwa yang paling penting dari perjalanan Israk Mikraj adalah event untuk menghibur Rasulullah dari duka derita yang menimpamya.

    Jika dianalisis lebih kritis, argumentasi paham yang menghubungkan Israk Mikraj dengan Tahun Kesedihan sehingga melahirkan kesimpulan seperti di atas, masih dinilai cukup problematis. Sebab, sangatlah tidak sepadan keagungan nilai-nilai perjalanan Israk Mikraj jika dinyatakan hanya sebagai "perjalanan hiburan", "perjalanan penghilang duka derita", atau "perjalanan wisata". Israk Mikraj adalah sebuah momen kehidupan terbesar yang dialami Rasulullah Saw sepanjang hidupnya. Hikmah, nilai filosofis, dan pesan simbolis yang tersimpan di dalamnya, terlalu tinggi dan berharga dibanding menjadi "perjalanan wisata" belaka.

    Lagi pula, kesedihan Nabi pasca kewafatan sang paman dan sang istri, sudah mendapat pencerahan langsung dari Allah melalui firman-Nya:[7] 

 

 قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ. وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ. وَإِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكَ إِعْرَاضُهُمْ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَبْتَغِيَ نَفَقًا فِي الْأَرْضِ أَوْ سُلَّمًا فِي السَّمَاءِ فَتَأْتِيَهُمْ بِآيَةٍ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ.

Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah, Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang jahil. (QS. Al-An'am [6]: 33-35).

    Nabi pun telah mendapat tabsyir (kabar gembira) di tengah-tengah perjalanan pulang ke Mekah setelah mendapat perlakuan keji masyarakat Thaif. Dalam perjalanan pulang ini Jibril mendatangi beliau dan mengabarkan: "Sesungguhnya Allah sudah mendengar apa yang dikatakan dan yang dilakukan kaummu terhadapmu. Allah telah mengutus satu malikat penjaga gunung agar engkau menyuruhnya sesuai apapun yang engkau kehendaki." Malaikat penjaga gunung itu lalu berseru kepada Nabi dan mengucapakan salam, kemudian berkata: "Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah sudah mendengarkan apa yang diucapkan kaummu terhadapmu. Tuhanmu telah megutusku agar engkau memberi perintah kepadaku sesuai keinginanmu. Maka, apa yang engkau ingini? Andai engkau menginginkan aku meratakan mereka dengan gunung Akhsyabaini,[8] tentu aku akan melakukannya."

    Nabi menjawab: "Bahkan aku berharap, Allah melahirkan dari kalangan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata, dan tidak menyukutukan sesuatu pun dengan-Nya."[9]

    Dari sini, kesedihan yang dirasakan Nabi dalam Tahun Kesedihan sebetulnya sudah sirna, bahkan sebelum peristiwa Israk Mikraj terjadi. Tahun Kesedihan sejatinya lebih merupakan suatu realitas yang menunjukkan kebesaran maqam (derajat) Nabi Muhammad bahwa sifat basyariyyah (kemanusiaan) pada diri beliau tidak sama dengan sifat basyariyyah pada umumnya. Tahun Kesedihan juga sebagai tarbiyyah (pendidikan) dari Nabi kepada para sahabat dan generasi sesudahnya agar punya kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak kehidupan dan meneladani kesabaran beliau atas menanggung penderitaan di dalam memperjuangkan agama Islam.[10]

    Dengan demikian, rumusan dari sebagian ulama kontemporer di atas masih perlu ditelaah kembali. Israk Mikraj ternyata tak memiliki relevansi dengan Tahun Kesedihan, lebih-lebih melahirkan rumusan sebagai "perjalanan wisata" atau "perjalanan hiburan". Memang, dengan perspektif psikologis, cukup dimaklumi jika ada para pemikir, baik dari sejarawan maupun cendekiawan, berapologi bahwa perjalanan Israk Mikraj merupakan usaha pelipur lara bagi Nabi. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah -seperti menyikapi kisah Perdebatan Langit dan Bumi- Tahun Kesedihan sewajarnya tak lebih dari sekadar unsur dan bumbu-bumbu yang menyertai perjalanan Israk Mikraj, bukan sebagai esensi paling utama.

    Esensi yang paling utama dalam rihlah Israk Mikraj ialah, apa yang ditegaskan sendiri oleh Allah dalam satu ayat pembuka surah al-Isra' [17] :1.

لِنُرِيهٗ مِنْ آيَاتِنَا

“Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat kekuasaan Kami." (QS. Al-Isra' [17]: 1)

 

LINURIYAHU MIN AYATINA

    Ayat-ayat Tuhan inilah yang paling berperan dan menjadi bidikan paling fundamental dalam perjalanan Israk Mikraj Nabi Muhammad Saw. [11] Melalui perjalanan Israk Mikraj, Allah memberi kesempatan kepada Nabi Muhammad untuk menyaksikan dan merasakan sendiri pengalaman-pengalaman yang maha luar biasa,[12] yaitu melampaui teori-teori umum yang berlaku di bumi dan di langit; melihat ayat-ayat kebesaran Allah menjelajahi tujuh lapis langit dan luasnya jagat raya; menyaksikan sendiri Baitul Makmur, Sidratul Muntaha, surga dan neraka, al-Kursiy, Ruang Goresan Pena Takdir (Mustawa Sarif al-Aqlam), Permadani Agung (Rofrof), al-'Arsy, dan hal-hal luar biasa lainnya.

Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, sebuah karya yang menjadi rujukan primer para sejarawan, tidak pernah menghubungkan Israk Mikraj dengan Tahun Kesedihan. Ia sendiri menegaskan:

Israk Mikraj, tentu, adalah kehendak Tuhan. Ia meng-Israk-kan Nabi sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, karena Ia hendak memperlihatkan kepada-Nya sebagian dari ayat-ayat kekuasaan-Nya. Sehingga, Nabi dapat melihat sendiri secara nyata kekuasaan dan kerajaan-Nya yang maha agung, serta Qudrah-Nya yang tak terbatas.[13]

Diperlihatkan ayat-ayat Allah di dalam perjalanan Israk Mikraj ini, dimaksudkan untuk lebih menumbuh-kembangkan kekuatan iman dalam jiwa Nabi Muhammad Saw, sehingga keimanan beliau benar-benar berdasarkan bukti-bukti autentik, yang lahir dari penyaksian secara langsung ayat-ayat kekuasaan- Nya. Sebab, logika SunnatuLloh telah merumuskan, pengetahuan yang lahir dari persepsi indrawi akan lebih mapan daripada pengetahuan yang lahir dari analisis argumen non-indrawi,[14] atau dengan ungkapan analogis: keyakinan akan kebenaran keberadaan bangunan Ka'bah pada diri orang yang pernah melihatnya secara langsung, tentu jauh lebih mapan dibanding keyakinan orang yang mengetahui keberadaan Ka'bah melalui bukti-bukti non-indrawi.

Fakhruddin ar-Razi, seorang pakar tafsir yang menguasai berbagai bidang keilmuan menegaskan bahwa, secara psikologis orang yang telah benar-benar melihat langsung kekuasaan dan kebesaran Allah maka kekuatan jiwanya, konsistensi dan keteguhan hatinya untuk menghadapi pelbagai cobaan di dalam memperjuangkan kebenaran atau memperjuangkan apapun, orang tersebut tidak akan bisa ditandingi oleh berlipat-lipat orang yang belum pernah melihat langsung ayat-ayat kekuasaan-Nya.[15]

Realitas sejarah telah merekam, demi menguatkan ketangguhan jiwa Nabi Musa As di dalam menghadapi seorang maharaja lalim, Fir'aun, Allah Swt terlebih dahulu menampakkan kepada Nabi Musa ayat-ayat kekuasaan-Nya.

قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى. فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى. قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأُوْلَى. وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى. لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى.

Allah berfirman, "Lemparkanlah ia, wahai Musa." Lalu, dilemparkanlah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, "Peganglah ia dan jangan takut. Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, dan kempitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula). Agar kami perlihatkan kepadamu sebagian dari ayat-ayat kekuasaan Kami yang sangat besar." (QS. Thaha [20]: 19-23)

 Ketika relung kalbu Nabi Musa terpenuhi rasa takjub dengan kesaksian dirinya akan kejadian yang spektakuler tersebut, tumbuhlah dalam dirinya keimanan dan keyakinan yang kukuh. Pada momentum inilah, Allah menitahkan kepada Nabi Musa untuk menghadap Fira'un:[16]

 اِذْهَبْ إِلٰى فِرْعَوْنَ إِنَّهٗ طَغٰى

 

Pergilah kepada Fir'aun. Sesungguhnya, ia telah melampaui batas. (QS. Thaahaa [20]: 24).

Demikian pula, kepada Nabi Ibrahim Allah menampakkan secara langsung kekuasaan dan keajaiban-Nya yang ada di langit dan di bumi, agar ia semakin kukuh keimanannya dan teguh berjuang menyebarkan agama monoteisme.[17]

وَكَذٰلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ.

 

Dan demikianlah Kami Memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yakin. (QS. al-An'am [6]: 75).

Karena itulah, melalui momentum perjalanan Israkk Mikraj, Allah memperlihatkan secara langsung ayat-ayat kebesaran-Nya kepada Nabi Muhammad agar keimanan beliau makin kukuh dan di dalam mejalankan tugas kenabiannya semakin tangguh.

    Fakhruddin ar-Razi dalam menginterpretasikan perjalanan agung Nabi Muhammad Saw ini menyatakan, ada perubahan positif yang luar biasa dalam jiwa beliau setelah peristiwa Israk Mikraj usai. "Tatkala beliau naik ke angkasa raya," tulis pakar tafsir itu di dalam mafatih al-gaib-nya, "serta menyaksikan ihwal yang ada pada setiap langit, juga al-Kursiy dan al-'Arsy, maka di dalam pandangan beliau terhadap alam dunia ini berikut segala pernik-pernik kehidupan yang ada di dalamnya, menjadi semakin remeh temeh dan nista. Dengan demikian, bertambah yakinlah kekuatan iman di dalam diri Nabi Muhammad Saw sehingga di dalam menjalankan tugas kenabian kian bertambah gigih, dan di dalam menghadapi gangguan para musuhnya makin tak peduli."

    Lebih lanjut Fakhruddin ar-Razi pada akhirnya berkesimpulan, 'Firman Allah Swt, 'Agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat kekuasaan Kami,' menunjukkan bahwa nilai fungsional dari perjalanan Israk Mikraj secara khusus adalah kembali kepada Nabi Muhammad Saw."[18]

    Pernyataan Fakhruddin ar-Razi di atas menyiratkan adanya nilai edukatif tersendiri yang termuat di dalam Israk Mikraj bagi Nabi Muhammad Saw. Yaitu, telah dibentangkan kepada beliau kesempatan yang cukup lebar untuk melihat langsung pelbagai isi jagat raya yang amat besar, sehingga beliau dapat menarik pelajaran berharga darinya: sejatinya bumi tempat manusia dan para musuh beliau hidup ini sangatlah kecil; apalah arti sebuah bumi beserta isinya dibandingkan dengan mahaluasnya jagat raya? Apalah arti kekuasaan dan kekuatan para musuh beliau dibandingkan dengan kekuatan dan kekuasaan Sang Pencipta alam semesta, yang telah memperjalankan dirinya menjelajahi angkasa tinggi jagad raya?[19]

    Lebih dari itu, diperlihatkan ayat-ayat kebesaran Allah dalam perjalanan Israk Mikraj, tidak saja dimaksudkan sekadar lebih melambungkan ketinggian iman, atau lebih memacu kegigihan Nabi dalam menebarkan benih-benih cahaya Islam. Lebih jauh dari itu, perjalanan Israk Mikraj adalah manifestasi konkret kebesaran cinta Allah kepada Nabi Muhammad, tak ada manusia yang lain pernah mendapat keistimewaan ini. Israk Mikraj adalah momentum di mana Allah menunjukkan kepada 'alam al-'Ulwiy (dimensi esoteris) dan 'alam as-Sufliy (dimensi eksoteris) akan kebesaran maqam (derajat) Nabi Saw bahwa beliau benar-benar sebagai manusia yang teramat dicintai- Nya.[20] 

    Al-Qusyairi (w. 465 H), seorang sufi ternama, dalam menginterpretasikan rihlah semesta Nabi ini mengatakan:

Pada malam itu Allah Swt memperlihatkan kepada Nabi sebagian ayat-ayat kekuasaan-Nya, yang karenanya Nabi Saw mengetahui bahwa tak ada yang menyamai dan sejajar dengan dirinya, baik dalam maqam kenabian dan kerasulan, maupun dalam ketinggian tingkatan dan keagungan derajatnya di sisi Allah Swt.[21]

Allah menyematkan kepada Nabi Ibrahim gelar al-Khalil (sahabat karib Allah), dan karenanya diperlihatkan kepadanya secara langsung alam malakut, keajaiban dan kekuasaan Allah yang ada di langit dan di bumi (QS. Al-An'am [6]: 75). Maka, demi membuktikan kebesaran cinta dan kasih-Nya, demi menyatakan Sang Nabi sebagai al-Habib, kekasih Allah, makhluk nomor satu yang amat tercinta dan mencintai-Nya, Allah memperlihatkan kepada Nabi bukan saja alam malakut, keajaiban dan kekuasaan-Nya di alam semesta, tetapi bahkan ditampakkan kepada beliau ayat-ayat Tuhan yang paling besar, yang tak sekali pun pernah dilihat, dirasakan, dan dialami oleh nabi-nabi yang lain.[22]

لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى.

Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhan-nya yang paling besar. (QS. An-Najm [53]: 18).

Sebagian dari ayat-ayat Tuhan yang paling besar itu antara lain adalah, apa yang dilihat dan dirasakan sendiri oleh Nabi Saw dalam perjalanan mikraj-nya melintasi tujuh langit; saat melampaui Sidratul Muntaha dan mendengar serta melihat Sarif al-Aqlam; saat menapaki Permadani Agung sampai tiba di Hadirat Tuhan dan mendekati-Nya hingga sedekat dua ujung busur panah (qaba qausaini) bahkan lebih dekat lagi (aw adna).[23] Sebagian dari ayat-ayat Tuhan yang paling besar inilah yang hanya dapat dilihat, dirasakan, dan dilampaui oleh Nabi Saw semata, yang membuat Jibril tak berdaya dan harus berkata: "Jika aku melangkah maju seujung jari saja, niscaya aku akan terbakar hangus oleh cahaya- cahaya Ilahiah (al-anwar al-Ilahiyyah)[24]

    Sampai di sini kiranya bisa ditegaskan bahwa, Nabi Muhammad Saw mengalami perjalanan Israk Mikraj terutama bukan disebabkan oleh Peristiwa Perdebatan Langit dan Bumi dan Tahun Kesedihan, melainkan esensi yang paling urgen adalah untuk lebih menumbuh-kembangkan kekuatan iman dalam jiwa Nabi Muhammad Saw, serta menunjukkan kepada alam semesta akan kebesaran dan ketinggian maqam Nabi Muhammad Saw di sisi Allah Swt mengalahkan para malaikat dan para nabi-Nya.



[1] Dialog Rasulullah dengan Jibril  ini diterjemahakan dari karya Muhyiddin Ibnu 'Arabiy, Syajarah al-Kaun, dalam "al- Mukhtar min Rasail Ibn 'Arabiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2005), h.

[2] Minbar al-Islam, edisi Rajab 1396 H/1976 M. Dikutip dalam Abu Majdi Haraki, Misteri dan Keajaiban Isra' Mikraj, terj. Moh. Azar (Yogyakarta: DIVA Press, 2016) h. 274.

[3] Ismail Haqqi bin Mustafa al- Istanbuly, Tafsir Ruh al-Bayan (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), vol 5,’ h. 105 (hal MS) 

[4] 'Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir al-Khubawiy, Durrah an- Nasihin, (Semarang: Karya Thaha Putra, 1.1), h. 117 

[5] Lihat uraian Tahun Kesedihan dalam bab III 

[6] Minbar al-Islam, edisi Rajab 1396 H/1976 M. Dikutip dalam Abu Majdi Haraki, Misteri dan Keajaiban Irsa' Mi'raj, terj. Moh. Azar (Yogyakarta: DIVA Press, 2016) h. 282. 

[7] Muhammad Sa'id Ramadan al-Buti, Fiqh as-Sirah, (Mesir: Dar as- Salam 1436 H/ 2015 M) cet. 24, h. 99. 

[8]  Akhsyabaini adalah dua gunung di Mekah, yaitu gunung Abu Qubais dan gunung di seberangnya, Qa'aiqa'an.

[9]  Muhammad, bin Ismail bin Ibrahim bin al-Muglrah al- Bukhari, Sahih Bukhari. No. 2992.

[10] Ramadan al-Buti, Fiqh as-Sirah, h. 102.

[11]     Mustafa al- Istanbuly, Tafsir Ruh, h.79 Lihat juga Ibn 'Asyur, At-Tahnr wa at-Tanwir, (CD Maktabah asy-Syamilah), vol.l, hal. 2425.

[12]       zAli Muhammad Muhammad as-Salabiy, as-Sirah an-Nabawiyyah 'Ard Waqai' wa Tahil Ahdas, (CD Maktabah asy-Syamilah), vol. 1, hal. 334.

[13]     Muhammad Ibn Ishaq, as-Sirah an-Nabawiyyah, vol. 1 hal. 104.

[14]    Ibn 'Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, vol.l hal. 2425.

[15]    Al-lmam Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Gaib, (Beirut: DKI 2013), jilid 10, h. 122.

[16]     Muhammad al-Ghazali, Fiqh as-Sirah, (Mesir, Dar an- Nahdah, t.t.) cet ke-1, h. 125.

[17]     Ahmad Muhammad as-Shawiy al-Misriy Tafsir as-Shawiy, (Beirut: DKI, 2008) Cet. 5, Vol.l, hal 460.

[18]    Fakhmddm Ar-Razi, Mafatih, h. 122.

[19]    Muhammad as-Salabiy, as-Sirah an-Nabawiyyah Arada Waqa'i'u wa Tahilu Ahdas, vol. 1, hal 342.

[20]    Mustafa al- Istanbuly, Tafsir Ruh, (CD Maktabah asy-Syamilah) vol. 5, h. 102.

[21]     Al-Qusyairi, Latdif al-Isyarat, (CD: Maktabah asy-Syamilah) vol. 4, h. 299.

[22]     Ibid, h. 102.

[23]     Ibid, h. 80.

[24] Mutawalli asy-Sya'rawiy, al-Mu'jizah al-Kubrd, h. 118.