Monday, October 18, 2021

PULANG KE BUMI MEMBAWA KADO TUHAN

    SEPERTI kebahagiaan seorang ayah dalam perjalanan pulang ke rumah membawa bingkisan istimewa untuk sang anak, atau seperti kebahagiaan seekor burung pipit memungut biji-biji padi demi menyuapi si bayi, atau seperti kebahagiaan mempelai laki-laki yang hendak menghadiahi kekasihnya cincin emas bertabur mutiara lalu disematkan di jari manisnya. Seperti itulah barangkali kebahagiaan yang menyelimuti Rasulullah Saw dalam perjalanan pulang ke bumi setelah menghirup taburan-taburan wahyu di angkasa tinggi jagat raya: menemui umat terkasihnya, menghadiahi mereka dengan "kado" istimewa dari Tuhan. Atau, tamsil-tamsil itu sebenarnya masih kurang tepat dan benar. Sebab, kebahagiaan Rasulullah adalah kebahagiaan yang lain dari pada yang lain. Kebahagiaan yang lahir bukan dari persoalan duniawi yang remeh temeh.

    Seperti terisap oleh kekuatan tak terbatas, Rasulullah dan Jibril melesat turun ke bumi, menembus konstelasi-konstelasi langit. Dan layaknya seorang raja besar mengitari penjuru kota, di setiap tingkatan-tingkatan langit Rasulullah Saw disambut meriah oleh para malaikat Allah Swt. Para malaikat beramai-ramai mengucapakan salam, menaburkan doa kebaikan, dan melemparkan kata-kata penghormatan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. [73] Alam malakut mendadak seperti sedang menggelar pawai agung. Pawai agung yang diadakan demi menaruh rasa hormat kepada baginda Nabi Muhammad Saw yang baru saja menjadi tamu agung Allah dan hendak pulang ke bumi membawa "Kado Tuhan" untuk segenap umat terkasihnya.

    Ketika Rasululllah dan Jibril secara sempurna telah melewati seluruh konstelasi langit, keanehan tejadi. Di bawah langit pertama, beliau melihat kepulan-kepulan asap yang amat tebal dan banyak sekali, disertai suara gemuruh dan berdentum-dentum sangat keras, hampir memecahkan gendang telinga.

    "Apa ini, Jibril?" tanya Rasulullah penasaran.

    "Kepulan-kepulan asap ini adalah setan-setan yang menutupi penglihatan manusia sehingga mereka tak bisa berfikir dan merenungi kerajaan-kerajaan langit dan bumi. Seandainya tidak ada setan-setan itu, niscaya manusia akan bisa melihat dengan jelas keajaiban-keajaiban ciptaan Allah Swt,"[74] terang Jibril.

    Rasulullah terus melesat turun ke bumi, dan mendarat tepat di atas sebongkah batu besar (sakhrah) di dalam Masjid al-Aqsha. Ya, sebongkah batu besar yang menjadi pijakan Nabi mi'raj ke langit itu.

    Mikail dan Buraq yang ditambatkan ke sahkrah itu, langsung menyambut kedatangan Rasulullah. Beliau pun bersegera menaiki Buraq, lalu disusul Jibril mengambil posisi sayap sebelah kanan memegang sanggurdi, lalu Mikail mengambil posisi sayap sebelah kiri memegang kendali. Dengan sekali kepakan sayap, Buraq berderap melesat secepat kilat mengantar Rasulullah menuju arah selatan, pulang ke kota Makkah al-Mukarramah.

    Dalam perjalanan Jerusalem-Mekah ini, Rasulullah Saw bertemu dengan tiga kafilah yang membawa barang-barang dagangan klan Quraisy. Tiga kafilah ini rupanya habis perjalanan dari negeri Syam dan hendak pulang ke Mekah.

    Kafilah pertama dari klan Bani Makhzum. Di tengah perjalanan pulang ke Mekah ini, mereka kehilangan unta dan berbondong-bondong mencarinya. Rasulullah mengetahui hal ini, lalu menyapa mereka dengan mengucapkan salam penghormatan sebelum kemudian mengabarkan keberadaan unta yang hilang itu.

    "Unta kalian ada di lembah kurma (wadi an-nakhl)," kata Rasulullah.

    Kafilah Bani Makhzum tidak menangkap sosok baginda Nabi Muhammad, tapi mereka yakin akan satu hal: suara yang barusan terdengar adalah suara milik Muhammad bin Abdullah.

    "Ini adalah bau aroma dan suara Muhammad," ucap salah seorang dari kafilah itu.

    Tanpa pikir panjang lagi, semua orang dari kafilah itu pun mengikuti saran Rasulullah pergi ke wadi an-nakhl. Dan memang benar, unta yang hilang itu ditemukan di sana. Sementara mereka di wadi an-nakhl, Rasulullah menghampiri perkemahan milik mereka yang dibuat untuk melepas lelah di tengah perjalanan. Di perkemahan itu beliau mendapati cawan berisi air putih, lalu beliau meneguknya dan meletakkan kembali ke tempat semula, lalu pergi.

    Ketika semua orang dari kafilah itu kembali ke perkemahan, mereka mendapati cawan itu kosong, tak berisi air sama sekali. Mereka yakin, ada seorang musafir yang telah lewat dan meminum air di cawan itu. Tetapi siapakah seorang musafir itu? Mereka hanya bisa menebak.

    Kafilah kedua adalah segerombolan orang yang membawa unta merah dan diikat dengan dua karung: karung hitam dan karung putih. Unta merah itu terlihat ketakutan akibat diliputi oleh cahaya terang benderang yang melintas secara tiba-tiba, lalu lari terbirit-birit dan terjatuh menghunjam di atas tanah sehingga sebagian kakinya patah.

    Kafilah ketiga adalah segerombolan orang yang dilihat Rasulullah sedang berada di Tan'im. Kafilah ini membawa seekor unta warna keabu-abuan yang diselimuti kain tenunan kasar penghangat berwarna hitam, dan memikul dua karung hitam.

    Ketiga kafilah inilah yang nantinya akan berbicara sendiri tentang kebenaran perjalanan malam mulia Nabi Muhammad ini, dan menjadi bukti tak terbantahkan.

    Sebelum fajar benar-benar terbit, Rasulullah telah tiba di sumur Zamzam di dekat Ka'bah. Di sana Israfil yang sedari tadi menunggu kedatangan Rasulullah, lantas menyambut takzim. Beliau lalu turun dari Buraq dan dibopong dengan penuh penghormatan oleh ketiga malaikat itu, menuju Hijr Ismail, tempat di mana beliau tidur sebelum perjalanan malam mulia ini dimulai. Ketiga malaikat itu pun dengan penuh kelembutan menelentangkan Rasulullah di Hijr Ismail seperti posisi semula, yaitu telentang di antara dua orang: Hamzah dan Ja'far yang masih terlelap tidur dan tak terusik sama sekali dengan kehadiran mereka berempat. Anehnya, tempat di mana Rasulullah berbaring itu masih menyimpan kehangatan, bagai selingkar tempat di sebuah ruangan yang baru saja ditinggal beberapa detik oleh orang yang mendudukinya.

    Ketiga malaikat itu sempat menyematkan simbol perpisahan sebelum betul-betul meninggalkan Rasulullah. Jibril, Mikail, dan Israfil secara bergantian mengecup kening Rasulullah, lalu dipungkasi dengan kalimat perpisahan dari Jibril, “Ya Muhammad, jika pagi sudah menjelang, ceritakanlah kepada kaum-mu apa yang sedang terjadi tadi malam. Allah akan menguatkanmu dan menolongmu."[75]

    Dalam sekejap mata, ketiga malaikat itu pun pergi meninggalkan Rasulullah Saw.

* * *

    Fajar menyingsing. Cahaya bintang mulai memudar. Pagi menjelang. Burung-burung mulai berani keluar dari sarangnya. Sebagian hinggap di dahan-dahan pohon. Sebagian lagi melayang-layang di atas cakrawala. Semuanya berkicau dengan penuh kegirangan menyambut mentari terbit dari ufuk timur yang sebentar lagi akan menyepuh bumi Mekah dengan cahaya emasnya.

    Pemandangan itu begitu kontras dengan apa yang sedang terjadi di depan pintu Masjid al-Haram. Di sana, seorang diri Rasulullah duduk termenung menyambut mentari pagi dengan pancaran penuh kesedihan. Sedih karena masyarakat Mekah pasti akan mendustakan semua hal yang baru saja beliau alami.

    Melihat Rasulullah seperti dilanda kemurungan, orang yang paling memusuhi beliau, Abu Jahal, datang menghampiri. Tujuannya jelas, bukan untuk menyemangati Rasulullah melainkan justru hendak membuat beliau semakin terperosok ke dalam alam kesedihan dan kehinaan.

    "Apakah ada suatu hal yang telah terjadi?" tanya Abu Jahal dengan intonasi melecehkan.

    "Iya," jawab Rasulullah singkat.

    "Apa itu?"

    "Tadi malam aku telah di-isra'-kan (diperjalankan pada waktu malam)."

    "Diperjalankan ke mana?"

    "Ke Baitul Makdis."

"Lalu pagi ini kau sudah datang?"

"Iya."

    Abu Jahal tidak segera mendustakan kabar tersebut, sebab khawatir Rasulullah enggan mengabarkan lagi kepada penduduk Mekah. Abu Jahal optimis, kabar ini akan berpotensi besar dalam menyulut api kebencian di hati penduduk Mekah dan akan mengguncang keimanan kaum mukmin dalam mengimani kenabian Nabi Muhammad Saw. Abu Jahal optimis, akan tak ada orang yang percaya bahwa perjalanan ke Baitul Makdis hanya ditempuh dalam waktu kurang dari semalam saja. Sebab, waktu itu perjalanan ke Baitul Makdis lumrahnya membutuhkan waktu sebulan untuk berangkat dan sebulan untuk kembali. Maka, dengan perasaan penuh kemenangan, Abu Jahal menantang Rasulullah untuk mengabarkan perjalanan tersebut kepada penduduk Mekah.

    "Jika aku memanggil kaum-mu, apakah kamu bersedia mengabarkan semua itu?" tantang Abu Jahal.

    "Iya," jawab Rasulullah tegas. Beliau tak ragu sedikit pun mengiyakan tantangan Abu Jahal itu, karena telah menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar lagi bagi seorang utusan Allah untuk menyampaikan sesuatu yang harus disampaikan tanpa gentar caci maki, olok-olok, dan reaksi-reaksi negatif lainnya.

    Bagai orator ulung, Abu Jahal berteriak-teriak memanggil penduduk Mekah, berusaha memprovokasi mereka, "Hai, golongan Bani Ka'ab bin Lu'ay! Kemarilah kalian semua!"

    Teriakan Abu Jahal menyelinap di sudut-sudut tempat sekitar Masjid al-Haram. Tak lama jeda berselang, penduduk sekitar pun berhamburan dari berbagai arah bagaikan kawanan lebah keluar dari sarang, berduyun-duyun datang mengerumuni Rasulullah dan Abu Jahal. Mereka yang mengerumuni itu bukan saja dari kaum paganis, seperti al-Walid bin al-Mughirah, Mut'im bin 'Adiy, dll, melainkan juga dari kaum Mukmin, seperti Abu Bakar. Teriakan Abu Jahal mengundang tanda tanya besar terpampang di atas kepala mereka: seberapa pentingkah kabar yang akan disampaikan sehingga membuat salah seorang tokoh kaum paganis itu harus berteriak-teriak di hari yang masih betul-betul pagi ini? Semua mata tertuju pada Abu Jahal, seolah mengisyaratkan untuk secepatnya ia mengabarkan apa yang sedang terjadi.

    Abu Jahal menyapukan pandangan ke Rasulullah lalu berkata dengan senyum penuh kemenangan, "Ceritakan kepada mereka apa yang baru saja kamu ceritakan padaku."

    Dengan keyakinan seorang utusan Allah beliau pun menceritakan bahwa tadi malam telah di-isra'-kan ke Baitul Makdis oleh Allah.

    "Lalu pagi ini kamu sudah datang, dan berkumpul bersama kami?" sahut salah seorang dari orang-orang yang berkerumun itu.

    "Iya," jawab Rasulullah mantab.

    Kabar ini langsung membuat suasana di pagi itu menjadi gempar dan gaduh. Beragam reaksi muncul dari kerumunan itu: ada yang menepuk-nepuk tangannya sendiri; ada yang menaruh tangan di atas kepala; ada yang ribut sendiri membicarakan kebenaran kabar ini, dan lain sebagainya. Rupanya, Abu Jahal telah berhasil memprovokasi mereka.

    Mut'im bin 'Adiy, karena saking terpancing emosinya, membantah kabar ini dan melontarkan sumpah serapah kepada Rasulullah, "Seluruh ucapan dan perbuatanmu sebelum hari ini memang benar dan dapat dipercaya, kecuali kabar yang kamu sampaikan pada hari ini. Aku bersaksi, sesungguhnya kamu telah membuat kebohongan besar. Kami harus menempuh perjalanan satu bulan untuk sampai ke Baitul Makdis dan satu bulan untuk kembali. Apakah kamu bisa berdalih bahwa kamu sampai ke sana hanya dalam satu malam? Demi tuhan Lata dan 'Uzza! Aku tidak mempercayaimu!"

    Mendengar sumpah serapah ini, sahabat setia Rasulullah, Abdullah bin Abi Quhafah yang masyhur dengan sebutan Abu Bakar itu langsung bangkit dan berseru, "Mut'im, alangkah buruknya apa yang kau ucapkan kepada anak saudaramu ini. Kau telah mendustakan dan mempermalukannya. Sungguh, aku bersaksi bahwa dia benar dalam semua kabar yang disampaikannya."

    Situasi kian menegang. Jelaslah dalam kerumunan manusia itu terpecah menjadi dua golongan: golongan yang mempercayai kabar Nabi Muhammad dan golongan yang mendustakannya. Mereka kemudian bersepakat untuk menuntut bukti-bukti kepada Rasulullah tentang kebenaran kabar kontroversial ini. Mereka menuntut beliau menjelaskan ciri-ciri Baitul Makdis, mulai dari fisik bangunan dan bentuknya, sampai jarak kedekatannya dengan gunung Tursina. Jika benar ciri-ciri yang disebutkan Rasulullah maka benar pula kabar kontroversial yang disampaikannya ini. Sebab, sepengetahuan mereka, sebelum ini Rasulullah sama sekali belum pemah pergi ke Baitul Makdis.

    Rasulullah pun mengabulkan tuntutan itu. Beliau menyebutkan sifat-sifat Baitul Makdis semampu yang beliau tahu. Lalu, beliau mengalami kesulitan yang luar biasa menyebutkan sifat-sifat itu secara detail. Sebab, beliau melihat Baitul Makdis dalam gelap malam sehingga kondisi yang sesungguhnya masih kabur.

    Di saat-saat seperti inilah kasih sayang Allah terhadap utusan-Nya ini kembali tercurah. Allah Swt tidak segan-segan menampakkan Masjid al-Aqsha persis di depan rumah Aqil bin Abi Thalib di dekat Masjid al-Haram. Maka dengan jelas, Rasulullah melihat masjid para nabi itu, tanpa ada yang tahu beliau melihatnya, sehingga beliau bisa menyebutkan sifat-sifat Masjid al-Aqsha secara lengkap dan terperinci.

    "Berapa pintu Masjid al-Aqsha?" tanya salah seorang dari kaum paganis, seakan belum puas dengan penjelasan Rasulullah.

    Tanpa sedikit pun melalui kesulitan yang berarti, Rasulullah menyebut jumlah pintu Masjid al-Aqsha sekaligus mejelaskan bentuknya, warnanya, ukurannya, dan lain sebagainya.

    "Engkau benar. Engkau benar. Engkau benar, ya Rasulallah" sahut Abu Bakar penuh decak kagum. "Aku bersaksi sesungguhnya engkau adalah utusan Allah, dan engkau benar dalam semua kabar yang engkau sampaikan."

    Tidak hanya Abu Bakar, bahkan kaum paganis mengakui semua ciri-ciri yang disebutkan Rasulullah itu benar. "Demi tuhan Lata dan 'Uzza! Semua sifat-sifat itu memang benar demikian," ucap mereka.

    Lebih dari itu, manusia yang paling membenci Nabi Muhammad pun membenarkannya. "Engkau mencirikannya dengan baik," kata Abu Jahal kepada Nabi.[76]

    Semua pandangan lalu terpusat pada Abu Bakar Mereka bertanya, "Apakah kamu percaya bahwa tadi malam dia pergi ke Baitul Makdis, kemudian kembali sebelum pagi menjelang?"

    "Iya," jawab Abu Bakar, tegas. "Apabila Muhammad yang mengabarkannya, pastilah benar adanya. Sungguh, aku telah mempercayainya untuk hal yang lebih jauh dari itu."

    Terhitung dari detik setelah jawaban inilah, setiap nama Abu Bakar disebut, selalu disertai penyebutan gelar kehormatan puncak spiritual: as-Siddiq (orang yang amat sangat mencintai kebenaran).[77]

* * *

    Tuntutan mereka sejatinya bukan mumi sebagai "memungut bukti demi mengetahui kebenaran", tetapi hanya sebagai kemasan belaka yang isi sesungguhnya adalah, hendak membuat Rasulullah terpojok dan menlemahkan rohani keimanan penduduk Mekah dalam mengimani kenabian beliau. Upaya Abu Jahal dan orang-orang paganis itu ternyata tak menjumpai kata "berhasil", alias gagal total. Memang benar pesan yang disampaikan Jibril: "ceritakanlah semua itu. Allah akan menguatkan dan menolongmu."

Tetapi, bukan Abu Jahal namanya jika dalam kamus kehidupannya masih menyimpan kata "menyerah" mengganggu, mengusik, dan menyakiti Rasulullah Saw. Kali ini Abu Jahal serta kaum paganis bersepakat untuk menuntut Rasulullah memaparkan bukti lain yang lebih menyulitkan. Beliau didesak mengabarkan secara terperinci kafilah-kafilah mereka yang sedang melakukan perjalanan pulang dari negeri Syam. Tentu akan tak mudah bagi seorang musafir menceritakan secara detail siapa saja orang-orang yang ditemui di tengah perjalanannya. Begitulah persepsi dalam benak mereka.

"Baiklah aku akan ceritakan," kata Rasulullah menuruti permintaan mereka. Sebagai utusan Allah, dengan penuh kesabaran beliau rela meladeni umatnya demi menunjukkan mereka ke jalan lurus seraya membawa pelita pengikis kegelapan. "Aku bertemu kafilah dari Bani Makhzum di daerah Rauha'. Mereka kehilangan untanya, lalu berbondong-bondong mencarinya. Aku mengucapkan salam penghormatan kepada mereka dan memberitahukan bahwa unta yang hilang itu ada di wadi an-nakhl. Aku lalu pergi ke perkemahan mereka. Di sana, aku mendapati cawan berisi air, lalu aku meneguknya. Jika mereka telah tiba, tanyakanlah sendiri kepada mereka."

"Kemudian aku bertemu dengan kafilah klan Quraisy. Mereka membawa unta merah yang memikul karung hitam dan karung putih. Ketika aku melintasi mereka, unta merah itu terlihat ketakutan, lalu lari terbirit-birit dan terjatuh menghunjam di atas tanah sehingga sebagian kakinya patah. Jika mereka telah tiba, tanyakanlah sendiri kepada mereka."

"Kemudian aku bertemu dengan satu kafilah di daerah Tan'im. Mereka membawa unta warna keabu-abuan. Unta itu diselimuti pakaian penghangat hitam dan memikul dua karung hitam. Dan, camkan ini, mereka akan tiba kepada kalian dari Tsaniyah (sebuah tempat transit para musafir)."

"Kapan kafilah-kafilah itu akan datang?" tanya salah seorang dari kaum paganis.

"Mereka akan tiba pada hari rabu." Jawab Rasulullah yakin.

    Jawaban Rasulullah ini adalah "ketukan palu". Majlis penghakiman itu ditutup. Kerumunan penduduk Mekah itu pun bubar, dan kembali menjalani aktifitas kehidupan masing-masing. Tentu saja mereka memegang janji ini erat-erat dan seakan tak sabar menunggu datangnya hari rabu dengan dipenuhi rasa penasaran.

    Ketika hari rabu yang dijanjikan telah datang, penduduk Mekah pun berbondong-bondong menanti kedatangan ketiga kafilah yang dijanjikan Rasulullah tiba pada hari itu. Mereka begitu antusias dalam penantian. Matahari tepat berada di atas kepala, tapi ketiga kafilah itu masih belum tiba. Matahari mulai condong ke ufuk barat, hari sudah hampir senja, batang hidung para kafilah itu masih belum juga kelihatan. Kaum paganis sepertinya bahagia para kafilah itu tidak datang pada hari ini sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah. Orang-orang mulai ragu. Dan, diam-diam mereka menggumam, janji Muhammad ternyata omong kosong belaka. Kabar yang disampaikan seorang yang mengaku dirinya utusan Tuhan itu hanyalah kebohongan besar yang diciptakan untuk mengelabui penduduk Mekah saja.

    Di saat-saat seperti inilah, kasih sayang Allah kembali tercurah. Demi membuktikan bahwa utusan-Nya itu benar dalam setiap hal yang disampaikannya, Allah tak segan-segan menghentikan laju berjalannya matahari di siang hari itu. Seketika itu juga, bumi berhenti berputar, jam berhenti berdetak, siang tak beranjak malam, sampai para kafilah itu betul-betul tiba di siang itu juga.

    Maka, siang itu tampaklah dari Tsaniyyah satu kafilah dengan membawa unta warna keabu-abuan yang diselimuti kain tenunan kasar penghangat berwarna hitam, dan memikul dua karung hitam. Persis seperti kafilah yang dicirikan oleh Rasulullah Saw. Ketika semua orang melihat kafilah ini, mereka hanya bisa berdecak kagum dan tak bekomentar apa-apa. Sebab, kafilah ini memang betul-betul seperti yang disebutkan Rasulullah.

    Kemudian, kafilah berikutnya datang. Mereka melihat kafilah ini membawa unta merah yang memikul karung putih dan karung hitam. Mereka pun mengklarifikasi pernyataan Rasulullah kepada kafilah ini, "Apakah seekor unta merah kalian mengalami patah kaki?"

    "Iya, benar," jawab salah seorang dari kafilah ini. "Tiba-tiba ada cahaya terang benderang melesat cepat melewati kami dan udara mendadak bertaburan aroma wangi. Pada saat itulah unta merah kami itu lari terbirit-birit dan menghunjam di atas tanah sehingga sebagian kakinya patah."

    Mendengar penjelasan ini orang-orang paganis pun hanya bisa diam. Mereka termenung, kembali berpikir ulang untuk bersedia mempercayai kabar Rasululllah, sebab bukti-bukti yang disodorkan beliau memang tak bisa terbantahkan sama sekali.

    Kemudian, tibalah kafilah yang terakhir, yaitu rombongan dari Bani Makhzum. Kedatangan mereka langsung disambut penduduk Mekah dengan dijejali pertanyan-pertanyaan terkait kebenaran cerita Rasulullah.

    "Apakah kalian kehilangan unta di tengah perjalanan?"

    "Iya, benar."

    "Di mana kalian menemukan unta itu?"

    "Di wadi an-nakhl."

    "Siapa yang memberitahu kalian kalau unta itu ada di sana?"

    "Ada cahaya terang benderang melintasi kami disertai semerbak aroma wangi. Lalu, kami mendengar suara dari langit mengabarkan bahwa unta kami itu ada di sana. Kami yakin, itu adalah suara Muhammad!"

    Semua orang tercengang. Bermacam-macam suara terdengar. Majlis pun mendadak gempar. Salah seorang di majlis itu sepertinya belum puas betul, lalu ia mengajukan satu pertanyaan lagi, "Apakah di perkemahan kalian ada cawan berisi air?"

    "Demi tuhan Lata dan 'Uzza! Aku letakkan sendiri cawan berisi air. Di antara kami tak ada yang meminumnya. Tapi, sekembali kami dari mencari unta, cawan itu sudah kosong. Sedangkan, harta benda kami di perkemahan tak ada yang dicuri. Kami yakin, seorang musafir telah meminum cawan itu dan dia adalah manusia yang dapat dipercaya."

     "Laa ilaaha illa Allaah! Allaahu Akbar!" pekik sahabat-sahabat Rasulullah mengagungkan Allah. Dengan tahlil dan takbir, mereka bersorak-sorai riuh rendah melihat nabinya dapat memaparkan bukti-bukti valid tak terbantahkan tentang kebenaran cerita yang disampaikannya. Kegembiraan pun menghujani kesadaran mereka. Bahkan, kegembiraan ini tak hanya diekspresikan di bumi, tapi di langit pun para malaikat Allah juga mengalunkan tahlil dan takbir dengan lantunan bagai musik surgawi.

    Rasulullah lalu keluar dari "majlis penghakiman" itu seraya diiringi oleh para sahabat melantunkan gema tahlil dan takbir dengan suara bergelombang seperti ombak lautan susul-menyusul dan sambung-menyambung, membuat suasana semakin mengharukan. Wajah mereka berseri-seri bagai bintang gemintang mengiringi purnama raya.

    Siang itu menjadi saksi. Ada ragam reaksi. Setelah kisah perjalanan malam mulia ini terbuktikan secara valid, tak sedikit dari kaum paganis yang menanggalkan agama jahiliyahnya, menyatakan dengan keyakinan yang tak sedikit pun menyimpan keraguan dua buah kalimat syahadat. Tetapi, tak sedikit pula dari kaum mukmin yang keimanannya masih pipih bagai uang ribuan tak membenarkan peristiwa ini dan menyatakan diri murtad, keluar dari agama Islam. Bahkan, banyak juga kaum paganis yang semakin bengis dan membenci Rasulullah menilai peristiwa perjalanan malam mulia ini berikut bukti-bukti kebenarannya sebagai rekaan sihir belaka.

    "Ini hanyalah sihir yang nyata," ucap al-Walid bin al-Mugirah, salah seorang pentolan kaum musyrik, yang kemudian diamini oleh kawan-kawannya.

    "Engkau benar, al-Walid. Engkau benar," timpal orang-orang paganis itu.[78]

    Demikianlah, peristiwa Isra Mikraj Rasulullah Saw, tak ubahnya bagai bejana tempat melebur logam: Ia menguji manusia dengan memasukkan mereka ke dalam bejana ini, agar dapat diketahui mana yang bersih dan mana yang kotor; mana manusia yang benar-benar terdapat keimanan di hatinya dan mana yang di dalamnya tersembunyi kekufuran. Beragam reaksi inilah yang kemudian dipotret oleh Allah dalam Kitab Suci-Nya.

 

وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِيْ أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ.

Dan Kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia. (QS. Al-Isra' [17]: 60)

* * *

Demikianlah, setelah menghirup taburan-taburan wahyu di angkasa tinggi jagat raya, setelah berjumpa dan bermesraan dengan Tuhan, Nabi Muhammad tak berlama-lama di sana. Nabi kembali ke bumi membawa "Kado Tuhan", meneruskan gerak kehidupan, menyisipkan diri ke dalam kancah zaman, demi membangun peradaban. Wa Allah a'lam bi as-shawab.

 


[73]  Badr Muhammad 'Asi, As-Siraj Al-Wahhaj, h.101.
[74]   Seperti aktifitas naik-turunnya malaikat dari langit ke bumi. Lih. Ahmad ad-Dardir, Hasyiah ad-Dardir, h. 26.
[75] Badr Muhammad 'Asi, As-Siraj Al-Wahhaj, h. 103-104. 

[76]    Badr Muhammad 'Asi, As-Siraj Al-Wahhaj, h. 104-107.

[77]  Ibid; Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, h. 158-159. 
[78] Badr Muhammad 'Asi, as-Siraj al-Wahhaj, h. 109-110. 

No comments:

Post a Comment

Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.