Saturday, June 25, 2022

RAHASIA KEBERANIAN KIAI MAHRUS

    Pada tahun 1977 di masa Orde Baru, orang Islam membentuk sebuah partai untuk mengikuti pemilihan umum pada masa itu. Kemudian diadakanlah kampanye di kota Kediri. Pembicara yang diundang salah satunya adalah (alm) KH. Imron Hamzah.

    Malam harinya mobil sudah tidak bisa lewat, karena Kediri sudah dibanjiri lautan manusia. Parkir kendaraan pengunjung yang akan mengikuti kampanye sangat panjang. Dari arah selatan, parkir mobil sampai ke Ngadiluwih. Yang dari arah timur sampai Gurah. Yang dari utara sampai di Jampes.

    Melihat fenomena ini pihak pemerintah ORBA merasa khawatir, betapa popularitas partai ini semakin tinggi. Akhirnya pemerintah menetapkan pembicara harus diganti semua. Jika tidak, kampanye tidak bisa dilaksanakan. Orang-orang bingung. Akhirnya sowan kepada hadhratil mukarram KH. Mahrus Ali meminta solusi.

    Akhirnya pagi-pagi jam 06.00 Wib, Kiai Mahrus memanggil Kiai Aziz Manshur dan Kiai Ma'shum Jauhari diajak menemui pihak aparat terkait. Setelah sampai di sana, dengan lantang dan berani Kiai Mahrus membentak aparat tersebut.

    "Mengapa dilarang?"

    "Rusuh." jawab aparat tadi.

    "Rusuh mana dengan kamu?" bentak Kiai Mahrus.

Terjadi perdebatan panjang, sampai Kiai Mahrus menggebrak meja berkali-kali, Beliau meminta agar larangan izin penceramah dicabut.

    "Ini perintah dari atasan Pak Kiai. Kalau saya tidak jalankan, besok saya dipecat. Apa yang saya makan?" jawab aparat tadi dengan ketakutan.

    "Ya sudah, sekarang tidak apa-apa. Tiga hari lagi harus sudah diberikan izin." tandas Kiai Mahrus.

    Beliau bertiga kemudian pulang. Kiai Aziz muda dan Kiai Ma'shum muda hanya diam menyaksikan. Beliau berdua diajak oleh Kiai Mahrus agar mengerti seperti inilah tugas kiai.

    Setelah pulang, Kiai Aziz bertanya kepada Kiai Mahrus, "Mbah Yai panjenengan kok berani sekali. Di hadapan orang berseragam hijau nggebrak-nggebrak, mereka hanya diam. Apa doanya Mbah Yai?"

    "Hus, gak ada doanya. Rahasianya hanya

مَنِ اتَّقَى اللّٰهَ اِتَّقَاهُ كُلُّ شَيْءٍ

"ORANG YANG TAKUT (TAKWA) KEPADA ALLOH, SIAPAPUN AKAN TAKUT KEPADANYA." jawab Kiai Mahrus dengan mantap.


Friday, June 24, 2022

MENJADI WALI LANTARAN SABAR TERHADAP KEBURUKAN ISTRI

    Di Hadhromaut Yaman ada makam seorang wali bernama Aburrohman Bajalhaban. Beliau diangkat menjadi wali Alloh karena kesabarannya menghadapi istri yang cerewet dan keras kepala. Namun, sebelum peristiwa pertemuan dengan dua orang wali Alloh, beliau tidak sadar kalau dirinya wali. Sebab merasa dirinya hanya manusia biasa sebagaimana orang lain.

    Nama Abdurrohman Bajalhaban dikenal banyak orang sebagai suami yang sangat sabar. Khususnya sabar saat dimarahi istrinya. Beliau tak pernah membalas kemarahan istrinya meskipun level cerewet istrinya lebih dari perempuan pada umumnya. Karena sikap istrinya, lama-lama Syaikh Abdurrohman Bajalhaban tidak betah di rumah. Beliau pun pergi meninggalkan rumah.

    Di perjalanan, Syaikh Abdurrohman kehabisan bekal. Tanpa disengaja beliau bertemu dengan dua orang wali pengelana di sebuah hutan yang lebat. Abdurrohman Bajalhaban kagum sekali dengan dua orang wali pengelana ini. Sebab dua orang ini setiap kali meminta sesuatu, Alloh selalu kabulkan.

    Minta makanan, Alloh langsung menurunkan makanan dari langit. Minta minuman, Alloh langsung menurunkan minuman dari langit. Sehingga dua orang ini tak perlu bekerja namun bisa memenuhi kebutuhan hariannya.

    Syaikh Abdurrohman Bajalhaban pun penasaran lalu mencoba melakukan hal yang sama diminta oleh dua orang wali itu.

    "Ya Alloh, saya minta makanan ini. Ya Alloh saya minta minuman ini," ucap Syekh Abdurrohman.

    Tak lama kemudian, turunlah makanan dan minuman yang diminta. Jumlahnya dua kali lipat dari jumlah yang diminta dua wali pengelana tersebut.

    Dua orang wali pengelana ini pun takjub penasaran. Ternyata ada orang yang memiliki kemampun yang lebih hebat dari mereka. Lalu dua orang wali ini pun bertanya kepada Syaikh Abdurrohman Bajalhaban.

    "Syaikh, doa apa yang panjenengan ucapkan sehingga bisa mendapatkan makanan dari Alloh lebih dari yang kami minta?"

    Syekh Abdurrohman Bajalhaban pun bingung sebab baru pertama kali mendapatkan makanan secara langsung dari Alloh. "Ngapunten. Maaf. Aku ingin tahu doa apa yang panjenengan sampaikan sehingga bisa mendapatkan makanan yang kalian minta dari Alloh."

    Salah satu dari mereka menjawab, "Begini, Syaikh. Ketika kami ingin sesuatu makanan, kami akan shoat lalu kami meminta kepada Alloh dengan bertawassul melalui Syaikh Abdurrohman Bajalhaban, seorang wali yang saleh, yang diangkat derajatnya oleh Alloh karena kesabarannya menghadapi istrinya. Beliau tinggal di dekat pegunungan ini."

    Syaikh Abdurrohman pun takjub mendengar penjelasannya. Ternyata selama ini beliau dikenal orang sebagai wali yang sabar menghadapi istri.

    "Bagaimana dengan panjenengan, Syekh?"

    Syekh Abdurrohman pun menceritakan bahwa dirinya adalah orang yang mereka tawasuli. Kedua orang inipun sungkem kepada Syaikh Abdurrohman. Beliau lalu pulang dan menceritakan kewaliannya kepada istri. Setelah itu, istrinya pun bertaubat dan menjadi lebih lembut.

✽✽✽✽

    Dari kisah tersebut kita bisa mendapatkan kesimpulan bahwa memiliki istri yang cerewet atau berperangai buruk bila disikapi dengan positif akan berdampak positif pula. Jika seseorang mempunyai istri yang cerewet atau berperangai buruk, hendaklah ia bersabar sebab itulah fasilitas ujian yang Alloh berikan untuk mengangkat derajat seorang hamba menjadi kekasih-Nya (wali).

    Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali RA dalam kitab Ihya' 'Ulumud Din mengatakan:

اَلصَّبْرُ عَلٰى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الْأَوْلِيَاءُ

"Sabar menghadapi omongan istri termasuk ujiannya para wali."

    Seperti kisah wali-wali zaman dahulu banyak dikisahkan di antara mereka ternyata mempunyai istri yang galak dan berperangai buruk, sebagaimana kisah Syeikh Abdurrohman Bajalhaban.

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.6

 PEMBAHASAN TENTANG TAQLID


(١١) إِذْ كُلُّ مَنْ قَلَّدَ فِي التَّوْحِيْدِ ☼ إِيْمَانُهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ تَرْدِيْدِ

(١٢) فَفِيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ يَحْكِي الْخُلْفَ ☼ وَبَعْضُهُمْ حَقَّقَ فِيْهِ الْكَشْفَ

(١٣) فَقَالَ إِنْ يَجْزِمْ بِقَوْلِ الْغَيْرِ ☼ كَفٰى وَإِلَّا لَمْ يَزَلْ فِي الضَّيْرِ

"Karena setiap orang yang taqlid dalam ilmu tauhid ☼ maka imannya tidaklah sunyi daripada (menerima) keragu-raguan." 

"Maka terhadap imannya itu sebagian ulama meriwayatkan khilaf ☼ dan sebagian lagi memastikan adanya penjelasan padanya." 

"Maka berkatalah ia: Jika si muqollid memantapkan perkataan orang lain itu ☼ maka memadailah, namun jika tidak maka senantiasalah ia dalam bahaya”.


    Ini adalah sebab wajibnya makrifat sebagaimana disebutkan terdahulu. Maka seakan-akan pengarang berkata: "Diwajibkannya mukalaf mengetahui apa-apa yang terdahulu adalah untuk menghindari taqlid. Karena setiap orang yang taqlid dalam ilmu tauhid, maka imannya tidaklah sunyi daripada menerima keragu-raguan".

    Taqlid adalah: "Mengambil perkataan orang lain dengan tanpa mengetahui dalilnya”.

    Penyebutan lafadz "dengan tanpa mengetahui dalilnya" mengecualikan murid-murid sesudah para guru menunjuki mereka kepada beberapa dalil karena mereka ini termasuk orang-orang yang arif, bukan taqlid. Syeikh Sanusi membuat perumpamaan untuk membedakan mereka dengan orang-orang taqlid, yakni sekelompok orang yang telah melihat bulan sabit di mana sebagian mereka telah lebih dahulu melihatnya lalu mengabarkannya kepada sebagian yang lain. Maka jika mereka membenarkannya tanpa melihat sendiri, jadilah mereka itu orang-orang yang taqlid dan jika dia menunjuki mereka dengan tanda hingga mereka dapat melihatnya sendiri maka tidaklah mereka jadi orang taqlid.

    Maksud dari ”ilmu tauhid” pada bait itu adalah ilmu aqo'id, yakni ilmu tentang akidah-akidah. Jadi bukan hanya menetapkan keesaan Alloh semata. Sedangkan yang dimaksud dengan "imannya” pada kata-kata: إِيْمَانُهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ تَرْدِيْدِ adalah pemantapannya terhadap hukum-hukun tauhid dengan tanpa dalil.


Perbedaan Pendapat Tentang Imannya Muqollid

    Terhadap sah tidaknya iman orang yang taqlid (muqollid) dalam perkara-perkara keimanan (akidah), para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

1. Tidak cukup (dalam arti tidak sah) taqlid sehingga orang-orang yang taqlid itu dianggap kafir.

2. Mencukupi taqlid itu namun dianggap durhaka secara mutlak, baik dia mampu berfikir dalam perkara-perkara keimanan atau tidak.

3. Mencukupi taqlid itu namun dianggap durhaka jika dia mampu untuk berfikir. Jika tidak mampu berfikir maka tidaklah dianggap durhaka.

4. Orang yang taqlid kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang qoth'iyyah sah imannya karena dia mengikut kepada yang qoth'i, tetapi kalau taqlid pada selain yang demikian maka imannya tidak sah karena terdapat kemungkinan yang besar untuk terjadinya kekeliruan.

5. Mencukupi taqlid itu dan tidak dianggap durhaka secara mutlak karena berfikir adalah syarat kesempurnaan. Maka siapa yang mampu berfikir lantas dia tidak berfikir maka dia telah meninggalkan perkara yang lebih utama.

6. Taqlid itu sahih dan haram berfikir tentang dalil-dalil akidah. Pendapat ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak suka kepada ilmu kalam. Kebencian terhadap ilmu kalam adalah sesuatu yang berlebihan kecuali ilmu kalam yang sudah bercampur dengan filsafat. Dan ucapan imam Syafi'i yang tidak suka kepada ilmu kalam ---jika memang benar diucapkan oleh beliau--- dimaksudkan kepada ilmu kalam yang sudah bercampur dengan filsafat tersebut.

    Masalah berfikir yang dikhilafkan di atas berlaku pada berfikir yang menyampaikan kepada makrifatulloh, bukan yang lainnya seperti berfikir yang menyampaikan kepada makrifat para rosul.

    Dan dari enam pendapat di atas maka yang lebih diunggulkan adalah pendapat nomor tiga. Bahkan al-Amidi telah menyampaikan adanya ittifak (consensus) para ashab atas tidak kafirnya orang yang taqlid dan bahwa pendapat mengenai tidak sahnya iman orang yang taqlid tidaklah diketahui kecuali pendapatnya Abu Hasyim al-Juba'i dari golongan Muktazilah.

    Abu Manshur al-Maturidi berkata: “Sepakat para ashab kita bahwa orang-orang yang awam itu adalah mukmin lagi arif dengan Tuhan mereka dan bahwa mereka termasuk ahli surga sebagaimana diterangkan dalam beberapa Hadis dan sudah teranggap ijmak karena sesungguhnya fitrah mereka telah menariknya untuk mentauhidkan Alloh Sang Pencipta dan mengiktikadkan keqidaman serta kebaruan apa-apa yang selain-Nya meskipun mereka tidak mampu mengibaratkannya dengan istilah para mutakallimin”.

    Perkataan pengarang dengan: وَبَعْضُهُمْ حَقَّقَ فِيْهِ الْكَشْفَ artinya: Dan sebagian ulama seperti Tajus Subki memastikan adanya penjelasan dalam hal imannya muqollid dari segi cukup atau tidaknya. Penjelasan dimaksud adalah:

1. Jika si muqollid memiliki kemantapan yang kuat terhadap benarnya perkataan orang lain, dalam arti jika orang yang ditaqlidi itu menarik kembali perkataannya dia tidak akan ikut maka cukuplah yang demikian itu dalam iman. Kepada muqollid yang beginilah dibawa pendapat yang mengatakan dengan cukupnya taqlid. Dan memadailah baginya yang demikian itu dalam hukum-hukum duniawi, maka dapatlah dia dinikahkan, dijadikan imam, dimakan sembelihannya, diwarisi oleh kerabatnya yang muslim dan diapun mewarisi mereka serta dimakamkan dipekuburan orang-orang muslim. Dan juga memadai dalam hukum-hukum ukhrawi, maka tidaklah dia kekal dalam neraka jika dia memasukinya dan tempat kembalinya adalah keselamatan dan surga. Maka dia adalah orang mukmin, akan tetapi berbuat durhaka dengan sebab meninggalkan berfikir jika memang dia mampu untuk berfikir.

2. Jika si muqollid tidak memberikan kemantapan terhadap benarnya perkataan orang lain dengan kemantapan yang kuat dimana dia sebenarnya mantap akan tetapi jika orang yang ditaqlidi itu menarik kembali perkataannya diapun ikut-ikutan, maka senantiasalah ia dalam bahaya karena masih menerima kebimbangan dan keragu-raguan. Terhadap muqollid yang seperti inilah dibawa pendapat yang mengatakan tidak cukupnya taqlid.

    Dengan demikian maka perbedaan pendapat itu adalah pada muqollid yang mantap dari segi kuat atau tidaknya kemantapan itu. Adapun orang yang syak dan zhan maka para ulama sepakat bahwa imannya tidak sah.

    Perbedaan pendapat tentang imannya muqollid sebagaimana uraian di atas hanya terkait dengan hukum-hukum keakhiratan dan apa-apa yang ada di sisi Alloh. Adapun yang terkait dengan hukum-hukum keduniaan maka dianggap cukup dengan pernyataan (ikrar) iman saja. Maka siapa yang telah menyampaikan ikrar iman berlakulah padanya hukum-hukum Islam dan tidak dihukumkan atasnya kekafiran kecuali jika ikrarnya itu diiringi dengan sesuatu yang menyebabkan kekafiran seperti sujud kepada patung atau berhala.


SINGA PUN TAKLUK LANTARAN SABAR TERHADAP KEBURUKAN ISTRI

    Dalam kitab 'Uqudul Lujain (عُقُوْدُ اللُّجَيْنِ = kalung perak) karya Syeh Nawawi al-Bantani, dikisahkan bahwa ada seorang sholeh mengunjungi rumah saudaranya yang juga terkenal sholeh. Sebut saja Dullah dan Darsun. Setidaknya tiap tahun Dullah pergi menjumpai saudaranya itu. Kali ini hampir saja Dullah tak bertemu Darsun. Begitu mengetuk pintu, yang terdengar adalah suara istri Darsun, "Siapa?"

    "Saya saudara suamimu, datang untuk mengunjunginya."

    "Suamiku sedang mencari kayu. Semoga ia tidak dikembalikan oleh Alloh ke rumah ini lagi."

    Dari balik pintu itu, istri Darsun kemudian terus mencaci-maki suaminya habis-habisan. Dullah hanya bisa menelan ludah, hingga akhirnya ia melihat Darsun pulang membawa kayu bersama seekor singa. Ya, Darsun meletakkan kayu itu di atas punggung binatang yang terkenal buas itu.

    Sembari menurunkan kayu dari punggung singa, Darsun berujar kepada istrinya, "Kembalilah ke dalam, semoga Alloh memberkatimu," katanya yang lantas mempersilahkan Dullah masuk ke dalam rumah.

    Sambil mengucapkan salam, Darsun menampakkan air muka gembira menyambut kunjungan saudaranya itu. Tak lupa ia sajikan makanan untuk Dullah. Pertemuan pun terasa cair dan hangat.

    Dullah lalu berpamitan. Tapi satu hal yang tetap menancap di pikiran Dullah, kekagumannya terhadap kesabaran Darsun menghadapi istrinya yang super cerewet, gemar mengolok suami sendiri, bahkan seperti melaknatnya. Darsun tak membalas lemparan kotoran dengan lemparan serupa.

    Tahun berikutnya, Dullah berkunjung lagi. Sesaat selepas mengetuk pintu, sambutan ramah datang dari istri Darsun. Ucapan "Selamat datang" meluncur, disusul dengan pujian terhadap tamu. Perempuan itu juga memuji Darsun sembari menunggunya pulang.

    Seperti biasa, Darsun pulang dengan membawa kayu bakar. Hanya saja, hari itu ia tak lagi bersama singa. Beban kayu bakar ia pikul sendiri di atas pundak. Darsun terlihat kian payah. Tapi sambutan yang menyenangkan terhadap saudaranya itu tidak berubah.

    Tentang dua suasana berbeda yang ia alami, sebelum pamit Dullah memberanikan diri bertanya kepada Darsun. Mengapa perempuan yang menyambutnya berbeda dari perempuan tahun sebelumnya? Kemana pula singa perkasa yang dulu menggotong kayu itu? Darsun memberi tahu, "Saudaraku, istriku yang berperilaku tercela itu telah meninggal dunia. Aku berusaha sabar atas perangai buruknya, sehingga Alloh memberiku kemudahan untuk menaklukkan singa, karena kesabaranku itu. Lalu aku menikah lagi dengan perempuan sholehah. Aku sangat berbahagia dengannya, hingga singa itu dijauhkan dariku, dan memaksaku memikul sendiri kayu bakarku."

✽✽✽✽

    Apa yang diceritakan Syeh Nawawi di atas tentu bukan ingin melegitimasi perangai buruk seorang istri. Karena dalam kitab yang sama, beliau berulang kali mengharuskan perempuan bersikap patuh dan menjaga tata krama terhadap suami. Pesan moral dititikberatkan kepada cara suami menyikapi perilaku istri. Ketika situasi mendesak suami menghadapi kemungkinan terburuk, maka bersabar adalah langkah paling bijak. Sabar berarti kuat, bukan lemah, apalagi kalah. Sabar juga bisa menjadi modal dasar bagi usaha untuk memperbaiki. Kemenangan dan kemuliaan Darsun dalam kisah tersebut tercermin dari keistimewaan yang ia peroleh, sebagai imbalan dari kesabarannya yang luar biasa itu. Hal sama juga bisa terjadi sebaliknya, yakni ketika istri terpaksa menghadapi perilaku suami yang jauh dari dambaan. Kesabaran adalah pilihan utama.

    Apa yang diceritakan dalam kitab kitab 'Uqudul Lujain ini juga merupakan secuil kisah dalam khazanah turots (literatur klasik) yang menguak kisah kehidupan rumah tangga orang-orang sholeh. Sebenarnya banyak sekali dalam khazanah turots cerita maupun kisah para ulama dan orang-orang sholeh yang memiliki istri berperangai kurang baik, yang bisa ditemui. Memang, tidak ada rumah tangga yang tidak pernah didera prahara. Semuanya pasti mengalami masalah-masalah entah kecil atau besar, atau juga masalah kecil yang dibuat besar. Rumah tangga para ulama pun demikian. Jangan dikira semua rumah tangga para ulama ataupun kiyai pasti berjalan mulus tanpa halangan suatu apapun. Bahkan, rumah tangga Nabi SAW pun pernah diterpa prahara.

    Namun demikian, dalam menghadapi cobaan tersebut, mereka selalu mengedepankan kebijaksanaan. Meskipun emosi mereka setiap kali diuji baik ketika dalam keadaan berduaan maupun di hadapan khalayak. Mereka tidak pernah naik darah dengan secara spontan melemparkan kata talak atau membalas dengan melakukan kekerasan atas perbuatan buruk istri mereka. Bahkan yang mereka tunjukkan adalah kebijaksanaan yang merupakan buah dari kedalaman ilmu. Mereka yakin bahwa semua itu adalah kesempatan untuk meraih ziyadah (tambahan) pahala dan ganjaran, pun untuk melebur segala kesalahan dan dosa.