Wednesday, August 3, 2022

MENCELA ALI MENANGISI AL-HAJJAJ

Cukup lama aku merenungkan kisah yang diceritakan oleh Ibnu Asakir dalam buku sejarahnya tentang seseorang yang disebutnya dengan nama Abu Yahya As-Sukari. Orang ini pernah berkata: "Ketika aku memasuki masjid Damasqus, aku melihat beberapa halaqoh (perkumpulan belajar). Diam-diam, aku berkata: `Negeri ini pernah disinggahi oleh para sahabat, tentunya ulama di sini telah mewarisi ilmu mereka`."

Abu Yahya pun bergabung dengan salah satu kelompok belajar tersebut, dan di tengah-tengah mereka, duduk seorang syeh. Abu Yahya ikut duduk di antara mereka. Seorang anggota kelompok itu bertanya kepada syeh: "Siapakah Ali bin Abu Tholib itu?"

Syeh itu menjawab: "Seseorang yang lemah, yang pernah tinggal di Irak dan diikuti oleh sejumlah orang. Lalu, Amirul Mukminin hendak memeranginya, maka Alloh memberikan kemenangan kepada Amir."

Tentu saja, Abu Yahya merasa kaget dengan jawaban itu. Jawaban yang telah mendiskreditkan Ali bin Abu Tholib, Kholifah Ar-Rasyidin keempat dan salah seorang yang diberi berita gembira dengan surga. Dia segera meninggalkan halaqoh karena merasa heran atas kebodohan yang amat buruk itu. 

Sebenarnya, dia (Abu Yahya As-Sukari) tak perlu heran, karena sikap semacam itu memang sengaja diciptakan melalui propaganda sesat yang dirancang dinasti Umayyah.

Akan tetapi, yang didengar oleh Abu Yahya sesudah itu lebih aneh dan lebih mengherankan lagi. Setelah beranjak meninggalkan halaqoh tadi, dia melewati seorang syeh yang sedang sholat di salah satu sisi masjid. Dia melihat Syeih itu berpenampilan rapi, bersikap santun, sempurna rukun-rukun shalotnya, terlihat khusyuk, dan tampak tanda-tanda kebaikan pada dirinya. Abu Yahya hendak mengadukan apa yang merisaukan hatinya dan menyakitkan jiwanya, seraya bertutur: "Ya Syeh, aku seseorang yang berasal dari Irak. Aku pernah duduk bersama halaqoh itu." Dan dia pun menceritakan kisahnya. 

Syeh itu berkata: "Dalam masjid ini memang banyak keanehan. Aku diberi tahu bahwa sebagian penghuni masjid ini sering mencela Abu Muhammad Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi. Adapun Ali bin Abu Tholib, siapakah dia?" Kemudian syeh itu pun menangis.

Sebagian orang yang ditemuinya kemudian ternyata tidak kalah bodohnya dengan syeh yang menangis ini. Orang-orang yang memuji-muji Abu Muhammad Al-Hajjaj, lalu mencela Ali bin Abu Thalib seraya berkata, "Siapa dia?" tidak pantas untuk dilayani berdebat.

Friday, July 29, 2022

DUNIA BERPUTAR SEIRING PENGHUNINYA

Kampung akhirat adalah kampung yang abadi, kesenangannya tiada pernah terputus, masa mudanya tiada pernah layu, dan rezekinya tiada pernah habis. Sebaliknya, dunia ini, kesenangannya dicampuri kekeruhan dan kenikmatannya tiada sempurna. Di saat manusia sedang berada pada puncak kejayaan, kebahagiaan, dan kesenangannya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemalangan yang menimpanya dan kesengsaraan yang menjeratnya sehingga dia menjadi miskin setelah sebelumnya kaya, menjadi hina setelah sebelumnya terhormat. Terkadang, ia juga dikejutkan oleh kematian yang pasti menimpa semua yang hidup, lalu meninggalkan jabatan dan kekuasaannya sambil memikul beban di atas pundaknya. Setelah itu, ia diberi bantal tanah dan dibiarkan menuju tempat kembalinya sendirian karena memang tiada yang abadi, selain Tuhan-Nya:


كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ. وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ. (الرحمن: ٢٦ - ٢٧)
Artinya:
"Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Q.S Ar-Rohman : 26-27)

Alloh-lah yang Maha Kekal lagi Maha Abadi, yang mengangkat derajat suatu kaum dan merendahkan martabat kaum lainnya, yang memberikan kekuasaan kepada suatu kaum dan mencabutnya dari kaum yang lainnya:


قُلِ اللّٰهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. (الــ عـمـران : ٢٦)
Artinya:
Katakanlah, "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Ali Imran: 26)

Sebagian putri Raja Arab yang telah kehilangan kekuasaannya pernah berkata: "Sebelumnya, tak seorang pun di muka bumi ini yang pernah iri dan takut kepada kami. Akan tetapi, kini tak seorang pun bangsa Arab yang tidak merasa kasihan kepada kami."

Pada hari Idul Adha, Ibnu Ja'far bin Yahya Al-Barmaki pernah mengunjungi suatu kaum untuk meminta kulit domba untuk dikenakannya, sambil berkata: "Hari raya seperti ini menyusahkan aku, karena aku menanggung beban empat ratus orang dayang (gadis pelayan di istana), sementara aku menyangka Ja'far mendurhakaiku."

Saudara perempuan Ahmad bin Thalan, penguasa negeri Mesir, suka berfoya-foya dalam membelanjakan hartanya, sampai-sampai ketika menikahkan seorang anaknya, dia membelanjakan seratus ribu dinar untuk biaya resepsi pernikahannya. Namun, tak lama kemudian, dia tampak berada di suatu pasar Kota Baghdad sambil meminta-minta kepada setiap orang.

Seorang saleh pernah melewati sebuah rumah yang sedang melangsungkan pesta, dan di sana ada seorang wanita yang berkata:

"Ingatlah, wahai rumah, tak akan ada kesedihan yang memasukimu, dan pemiliknya tak akan pernah diremehkan oleh zaman."

Tak lama kemudian, orang saleh itu kembali melewati rumah tersebut, dan dia dapati pintunya tertutup. Dari dalam rumah itu terdengar isak tangis dan jeritan histeris, dia pun menanyakan keadaan penghuninya. Dikatakan kepadanya bahwa pemilik rumah itu meninggal dunia. Dia mengetuk pintunya, lalu berkata, "Kemarin aku mendengar seorang wanita dari rumah ini berkata begini dan begitu." Tiba-tiba seorang wanita menangis sambil berkata, "Wahai hamba Alloh, Alloh-lah yang mengubah semua ini, sedangkan Dia tiada pernah berubah, dan kematian adalah tujuan akhir semua makhluk." Sambil menangis, orang saleh itu pun pergi meninggalkan mereka.

Abu Bakar r.a., pada masa pemerintahannya, pernah mengirim sejumlah utusan ke Yaman. Di tengah perjalanan, utusan itu melewati sebuah mata air milik orang Arab. Di dekatnya ada sebuah istana megah, banyak binatang ternak yang gemuk dan hamba sahaya. Mereka melihat para wanita berkumpul merayakan pesta perkawinan, sementara di hadapan mereka ada anak gadis menabuh rebana sambil mendendangkan nyanyian:

"Wahai para pendengki, matilah dalam kesedihan. Demikian pula kami tidak akan hidup selamanya."

Utusan itu singgah di tempat dekat mereka, dan disambut hangat oleh pemilik mata air yang meminta maaf atas kesibukannya mengurusi pesta perkawinan. Setelah mendoakannya, utusan itu pun segera pergi.

Pada masa pemerintahan Mu'awiyyah, sebagian utusan itu dikirim lagi ke Yaman. Di tengah perjalanan, mereka melewati kembali tempat mata air itu dan memutuskan untuk singgah di sana. Setibanya di sana, mereka merasa heran karena istana megah yang pernah mereka lihat dulu telah rata dengan tanah, tidak ada mata air, tidak ada tanda-tanda kehidupan, dan tidak ada bekasnya, kecuali tumpukan puing-puing. Mereka pun menuju ke sana, dan mendapati seorang wanita tua yang buta sedang bernaung di sebuah lubang di balik tumpukan puing-puing itu. Mereka menanyainya tentang pemilik mata air tersebut, dan wanita itu menjawab, "Mereka semua telah binasa." Mereka menanyainya lagi tentang pesta perkawinan yang pernah ada sebelumnya. Wanita itu menjawab, "Itu adalah pesta perkawinan saudara perempuanku, dan akulah yang menabuh rebananya." Utusan itu memohon agar wanita itu ikut bersama mereka, tetapi dia menolak sambil berkata, "Sangat berat bagiku untuk meninggalkan tulang belulang yang telah hancur ini sebelum aku mengalami nasib yang serupa dengannya." Tiba-tiba dia terhuyung-huyung, lalu sekarat dan wafat. Utusan itu segera menguburkannya, kemudian pergi.

Itulah sebagian contoh. Di mana pun Anda menaruh perhatian pada setiap generasi dan zaman, pastilah Anda akan menemukan banyak kejadian dan pelajaran berharga yang menceritakan keadaan dunia dan bagaimana ia berputar bersama penghuninya.

Tentang dunia ini, Ibnu Rajab mengilustrasikan, "Dunia ini lebih banyak dicela karena kefanaan dan perubahan kondisinya. Hal ini merupakan bukti tentang akan berakhir dan lenyapnya; sehat digantikan oleh sakit, ada digantikan oleh tiada, masa muda digantikan oleh masa tua, senang digantikan oleh sengsara, dan hidup digantikan oleh mati. Lalu, semua tubuh akan ditinggalkan oleh nyawanya, semua bangunan akan ditimpa kehancuran, pertemuan akan diakhiri oleh perpisahan dengan para kekasih, dan segala sesuatu yang berada di atas tanah akan kembali menjadi tanah.”

Adapun tentang kampung akhirat, Ibnu Rajab mengilustrasikan, "Sebuah kampung yang penghuninya tak akan pernah mati, bangunannya tak akan pernah hancur, masa mudanya tak akan pernah menjadi tua, keindahan dan kebaikannya tak akan pernah berubah, anginnya sepoi-sepoi, airnya menyegarkan, para penghuninya silih berganti dilimpahi rahmat Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang menyayangi, dan mereka merasa senang dapat memandang wajah-Nya setiap waktu:


دَعْوٰىهُمْ فِيْهَا سُبْحٰنَكَ اللّٰهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيْهَا سَلٰمٌۚ وَاٰخِرُ وَاٰخِرُ دَعْوٰىهُمْ اَنِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ. (یونس: ١٠)
Artinya:
Doa mereka di dalamnya, ialah "Subhanakallohumma" (Maha Suci Engkau, ya Tuhan kami), dan salam penghormatan mereka ialah, "Salam" (salam sejahtera). Dan penutup doa mereka ialah, "Alhamdulillahi Robbilal'amin" (segala puji bagi Alloh Tuhan seluruh alam). (QS. Yunus: 10)

Isa a.s. berseru, "Wahai Bani Isroil, remehkanlah dunia ini, pastilah ia menjadi remeh bagi kalian. Rendahkanlah dunia ini, pastilah kalian akan dihormati di akhirat. Janganlah memuliakan dunia, pastilah akhirat dimudahkan bagi kalian. Sesungguhnya dunia ini tidak pantas dihormati karena setiap hari selalu mengajak kepada malapetaka dan kerugian."

Mencintai dunia selalu menyeret pada kesalahan lahir dan batin, khususnya kesalahan yang bergantung kepadanya. Mencintainya membuat pecintanya tidak menyadari kesalahan dan keburukannya, enggan membenci dan menghindarinya. Mencintainya hanya akan menjerumuskan ke dalam hal-hal yang samar, tidak disukai, diharamkan, dan sering menjerumuskan ke dalam kekufuran. Bahkan, cinta pada dunia inilah yang telah menyebabkan semua umat mendustakan para nabi mereka, mengantarkan mereka pada kekafiran dan kebinasaan. Sebab, ketika para rasul melarang mereka berbuat syirik dan maksiat yang digunakan untuk meraih dunia, cinta kepada dunialah yang telah menjadikan mereka menentang dan mendustakan para rosul. Semua kesalahan yang terjadi di dunia ini bersumber dari kecintaan pada dunia. Janganlah lupa bahwa penyebab kesalahan dua ibu bapak kita dahulu adalah mencintai keabadian. Dan janganlah lupa juga bahwa kesalahan iblis dan penyebabnya adalah mencintai kekuasaan yang justru lebih buruk daripada mencintai dunia. Karena hal ini pula, Fir'aun, Haman, dan para pengikutnya menjadi kafir. Begitu pula, Abu Jahal beserta kaumnya dan juga orang-orang Yahudi.

Jadi, mencintai dunia dan kekuasaanlah yang meramaikan neraka dengan penghuninya. Sebaliknya, sikap zuhud terhadap dunia dan kekuasaan meramaikan surga dengan penghuninya.

Akibat mabuk karena cinta dunia jauh lebih buruk daripada mabuk karena minuman keras. Orang yang mabuk karena dunia tidak akan pernah sadar, kecuali setelah dimasukkan ke dalam gelapnya liang lahat. Kalaulah penutupnya dibuka di dunia ini, pastilah dia akan menyadari itu bahwa mabuknya lebih parah daripada mabuk karena minuman keras.

Dunia itu memang sangat menyihir akal sehingga Malik bin Dinar berkata: "Waspadalah terhadap sihir dunia, waspadalah terhadap sihir dunia karena ia dapat menyihir hati para ulama." Yahya bin Mu'adz Ar-Rozi berkata: "Dunia itu arahnya setan. Siapa saja yang mabuk karenanya, dia tidak akan sadar, kecuali setelah bersama orang-orang yang mati dan menyesal bersama orang-orang yang merugi."

Akibat minimal dari mencintai dunia adalah melalaikan cinta kepada Alloh dan mengingat-Nya. Siapa saja yang dilengahkan oleh harta kekayaannya dari mengingat Alloh, pastilah dia termasuk orang-orang yang merugi. Seandainya hati lalai dari mengingat Alloh, pastilah ia dihuni setan dan disetir semaunya. Di antara kecerdikan setan dalam berbuat kejahatan adalah menjadikan seseorang merasa puas dengan sebagian perbuatan baik supaya orang itu beranggapan telah berbuat baik, padahal hatinya telah menjadi budaknya. Lalu, di mana letak kebaikannya bila dia sendiri justru menjadi budaknya.

Mencintai dunia merupakan sumber semua kesalahan dan dapat merusak agama karena beberapa alasan:

Pertama, mencintai dunia melahirkan pengagungan pada dunia, padahal ia sangat hina di sisi Alloh. Dan mengagungkan apa yang dianggap hina oleh Alloh termasuk dosa yang sangat besar.

Kedua, Alloh Ta'ala mengutuk, membenci, dan memurkai selain apa yang ditujukan untuk-Nya. Barang siapa yang menyenangi apa-apa yang dikutuk-Nya, dibenci-Nya, dan dimurkai-Nya, berarti dia telah menawarkan diri untuk dikutuk, dibenci, dan dimurkai-Nya.

Ketiga, orang yang mencintai dunia akan menjadikan dunia sebagai tujuan akhirnya, dan dia akan selalu berupaya untuk meraihnya melalui perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dijadikan Alloh sebagai perantara kepada-Nya dan kepada kehidupan akhirat. Dia malah berbuat sebaliknya dan memutarbalikkan hikmah sehingga hatinya terbalik dan langkahnya mundur ke belakang.

Yunus bin Abd Al-A'la berkata: "Tidaklah aku mengumpamakan dunia ini, selain seperti orang tidur, lalu bermimpi melihat apa-apa yang dibenci dan disukainya. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba aku terjaga."

"Aku perhatikan manusia yang sengsara tidak bosan kepada dunia Karena mereka telanjang dan kelaparan di sana.
Meskipun ia disukai, aku memandangnya sebagai Awan musim panas yang tak lama lagi akan lenyap."

Hal yang lebih mirip dengan dunia adalah bayangan. Dikira ia memiliki hakikat yang tetap, padahal sebenarnya ia menyusut dan mengerut. Engkau mengejarnya untuk menggapainya, tetapi tetap saja tidak bisa meraihnya. Hal lain lagi yang lebih mirip dengannya adalah fatamorgana. Orang dahaga mengira air, padahal ketika mendatanginya, ia tidak menemukan apa-apa, selain ketetapan Alloh yang sudah ada di sisinya. Kemudian, Alloh menyerahkan perhitungan amalnya, dan Alloh sangat cepat perhitungan-Nya. Hal lain yang lebih mirip dengan dunia adalah mimpi, di dalamnya seseorang menyaksikan apa yang disukai dan dibencinya. Ketika terjaga, dia baru sadar bahwa hal itu ternyata tidak ada.

Demi Alloh, penyeru dunia telah menginformasikan di hadapan semua makhluk: "Marilah mengejar ketidakberuntungan." Lalu, bangkitlah orang-orang yang bersungguh-sungguh dan tergila-gila kepada dunia; mereka mencarinya dari pagi sampai sore hari dan terbang dalam memburunya. Namun, tak seorang pun yang kembali, melainkan dalam keadaan sayap patah. Mereka terjerembap di dalam jaringnya, lalu diserahkan untuk disembelih.

Abu Al-'Ala' berkata: Aku pernah bermimpi melihat seorang wanita tua yang mengenakan seluruh perhiasan dunia. Orang-orang mengerumuninya sambil terkagum-kagum menyaksikannya, aku pun ikut datang dan melihatnya. Aku merasa heran terhadap tingkah laku orang-orang yang memandanginya dan menyambutnya. Aku bertanya kepadanya, "Celaka kamu! Siapakah kamu ini?" Wanita itu menjawab, "Engkau tidak mengenaliku?" Aku jawab, "Tidak." la berkata lagi, "Akulah dunia." Aku katakan, "Aku berlindung kepada Alloh SWT dari kejahatanmu." Ia menambahkan, "Apabila engkau ingin dilindungi dari kejahatanku, hindarilah semua perbuatan maksiat yang besar dan yang kecil, dan sering-seringlah berzikir kepada Allah SWT."

Abu Bakar bin Iyasy berkata: Aku pernah bermimpi melihat dunia dalam bentuk seorang wanita tua berupa buruk dan beruban sedang menepukkan kedua tangannya, dan diikuti oleh orang-orang yang juga bertepuk tangan dan menari-nari. Setelah berada di dekatku, ia menghampiriku seraya berkata: "Andai aku bisa memelukmu, pastilah aku memperlakukanmu seperti yang aku lakukan terhadap mereka." Abu Bakar pun menangis.

Ali r.a. telah mengilustrasikan dunia dalam ucapannya: "Sebuah kampung, yang orang sehat menjadi tua renta, orang sakit menjadi menyesal, orang memerlukannya menjadi sedih, orang kaya ditimpa bencana. Kehalalannya mengandung perhitungan, dan keharamannya mengandung neraka."

Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Dunia adalah tempat tinggal bagi orang yang tidak memilikinya, kekayaan bagi orang yang tidak memilikinya, dan yang dihimpun oleh orang yang tidak berakal.

"Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Al-Hasan, yang isinya: "Dunia ini tempat persinggahan, bukan tempat menetap. Adam diturunkan ke dunia sebagai hukuman. Jadi, waspadailah dunia, wahai Amirul Mukminin. Bekal yang dihimpun di dalamnya pasti akan ditinggalkan, kekayaannya sebenarnya kemiskinannya, ia akan memakan korbannya dalam segala kondisi, ia menghinakan orang yang memuliakannya, ia menjadikan orang yang mengumpulkannya selalu merasa kurang, ia bagaikan racun yang dimakan orang yang tidak mengenalinya dan mengakibatkan kematiannya. Jadilah di dunia ini bagaikan orang yang mengobati luka-lukanya dengan cara berdiet sementara waktu karena khawatir terjadinya hal yang tidak disukainya pada waktu yang panjang, dan bersabar menahan pahitnya obat karena khawatir panjangnya penderitaan itu. Oleh karena itu, waspadailah dunia yang penuh tipu daya, khayalan, dan ilusi ini. Ia menghiasi diri dengan ilusinya, menimbulkan bencana dengan tipu dayanya, memberikan khayalan dengan angan-angannya, dan memikat dengan tutur katanya. Ia bagaikan pengantin wanita yang cantik jelita, yang semua mata memandangnya, semua hati terpikat padanya, dan semua jiwa merindukannya. Padahal, bagi suaminya sendiri, ia hanyalah seorang pembunuh. Orang yang masih ada tidak mengambil pelajaran dari yang telah tiada, dan orang yang datang kemudian tidak mau mengambil peringatan dari orang yang datang terlebih dahulu. Manakala orang yang mengenal Alloh diberi tahu tentang dunia, dia langsung ingat. Sebaliknya, orang yang sangat merindukannya dan telah berhasil meraihnya untuk memenuhi kebutuhannya, pastilah terpedaya, melampaui batas, dan melupakan tempat kembalinya. Dia mencurahkan pikirannya untuk dunia sampai-sampai kakinya tergelincir. Akibatnya, dia sangat menyesal dan bersedih, yang akhirnya menyatu dalam dirinya antara sekarat dan kepedihannya, kesedihan terhadap yang terlewatkan dan kekurangannya. Dunia pun pergi meninggalkannya dalam keadaan patah hati, apa yang dicarinya tidak sempat diraihnya, jiwanya tak pernah diistirahatkan dari kelelahan, dan akhirnya ia pun meninggal tanpa bekal dan datang tanpa persiapan. Jadi, waspadailah ia (dunia), wahai Amirul Mukminin! Hal yang paling membahagiakanmu padanya adalah hal yang harus lebih engkau waspadai. Sebab, setiap kali pemilik dunia merasa tentram dengannya, pastilah ia (dunia) akan mengarahkannya pada kondisi yang tidak disukai. Orang yang bahagia karena dunia, besok lusa akan celaka. Kebahagiaan dunia akan diikuti oleh kesengsaraan, kekekalan padanya diarahkan pada kematian, kesenangannya bercampur dengan kesedihan, tidak akan kembali darinya apa yang telah berlalu dan telah pergi, tak diketahui pula apa yang bakal terjadi agar bisa diantisipasi. Angan-angannya kosong, cita-citanya sia-sia, kejernihannya keruh, dan kehidupannya sulit. Kalaulah Penciptanya tidak pernah menyampaikan suatu berita tentangnya dan tidak pernah memberikan perumpamaan, pastilah dunia akan membangunkan orang yang tidur dan mengingatkan orang yang lalai. Bagaimana pun, sesungguhnya telah datang keterangan dari Alloh Azza wa Jalla yang berisi larangan dan nasihat. Di sisi Alloh, dunia tidak bernilai dan berharga, bahkan Alloh tidak pernah memandangnya sejak Dia menciptakannya. Sungguh, dunia ini telah ditawarkan kepada Nabi ﷺ lengkap dengan semua kunci dan perbendaharaannya yang tidak akan mengurangi nilai beliau di sisi Alloh, walaupun seberat sayap nyamuk. Namun, beliau tidak mau menerimanya, dan tidak menyukai apa yang tidak disukai Penciptanya atau tidak mau meninggikan apa yang direndahkan Pemiliknya. Menghindarinya adalah pilihan orang-orang saleh, dan menyenanginya adalah tipu daya musuh-musuh Alloh. Orang yang terpedaya dan mampu menguasainya menduga bahwa dirinya telah mulia karenanya, dan melupakan apa yang diperbuat Alloh terhadap nabi Muhammad ﷺ ketika beliau terpaksa mengikatkan batu di perutnya."

Al-Hasan pernah berkata pula, "Hai keturunan Adam, janganlah engkau gantungkan hatimu pada dunia, karena itu berarti engkau telah bergantung pada seburuk-buruk tempat bergantung. Putuskanlah tali-talinya dan tutuplah pintu-pintunya. Hai keturunan Adam, cukuplah bagimu dari dunia itu apa yang bisa mencukupi kebutuhanmu saja." 

Ali berkata lagi: "Sebagian orang memuliakan dunia, lalu ia (dunia) menyalib mereka di atas kayu. Oleh karena itu, rendahkanlah dunia, dan berbahagialah kalian apabila merendahkannya. Bagaimanapun, dunia ini akan sirna, sedangkan amal perbuatan tetap kekal laksana kalung-kalung yang digantungkan di leher."

Isa Al-Masih 'alaihissalam berkata: "Janganlah menjadikan dunia sebagai Tuhan sebab ia akan menjadikan kalian sebagai hamba. Lewatilah dunia ini dan jangan menetap di dalamnya. Ingatlah! Sumber segala kesalahan adalah mencintai dunia. Berapa banyak syahwat yang telah mewariskan kesedihan menahun untuk pemiliknya. Tidaklah dunia itu bersemayam di hati seorang hamba, melainkan hatinya akan menanggung tiga hal; kesibukan yang kelelahannya tak kunjung hilang, kemiskinan yang kecukupannya tak kunjung datang, dan angan-angan yang tiada berujung. Dunia adalah pencari sekaligus yang dicari. Orang yang mencari akhirat akan dicari oleh dunia hingga rezekinya terpenuhi, sedangkan orang yang mencari dunia akan dicari oleh akhirat ketika ajalnya tiba lalu mencengkram lehernya. Hai orang-orang Hawariyin, puaslah dengan kekurangan dunia, tetapi selamat agama, sebagaimana penghuni dunia merasa puas dengan kurang agama meskipun dunia mereka berlimpah!"

Abu Hurairah r.a. berkata: "Dunia ini terkatung-katung antara langit dan bumi sejak Alloh Ta'ala menciptakannya sampai suatu hari Alloh melenyapkannya. Ia menyeru Tuhannya, 'Ya Tuhan, janganlah engkau murka kepadaku.' Alloh menjawab, 'Diam kamu, hai yang tidak ada apa-apanya. Diam kamu, hai yang tidak ada apa-apanya'." 

Al-Fudhail pernah berkata: "Pada hari Kiamat, dunia akan datang dan membanggakan diri karena perhiasan dan kecantikannya. la berkata, 'Ya Tuhan, jadikanlah aku rumah untuk hamba-hamba-Mu yang terbaik.' Tuhan menjawab, 'Aku tidak meridhoimu untuknya. Engkau tidak ada apa-apanya. Jadilah engkau debu yang ber hamburan'."

Isa Al-Masih juga pernah berkata, "Dunia ini laksana jembatan maka lintasilah ia dan jangan kalian diami.

Perumpamaan Isa Al-Masih tersebut benar, karena kehidupan ini memang jembatan menuju akhirat. Buaian ibu merupakan pilar pertama yang berada di awal jembatan, sedangkan liang lahat adalah pilar terakhir yang berada di akhir jembatan. Di antara manusia ada yang bisa melintasi separuh jembatan, ada yang bisa melintasi sepertiganya, ada pula yang tinggal selangkah, tetapi dia tidak menyadarinya. Apa pun keadaannya, jembatan itu haruslah dilintasi. Siapa saja yang berhenti untuk mendirikan bangunan di atasnya dan menghiasinya dengan beragam perhiasan, padahal dia dianjurkan agar segera melintasinya, maka dia sangatlah bodoh.

Jika ada orang yang mengatakan bahwa langit dan bumi ini dipenuhi oleh biji sawi, lalu setiap seribu tahun ada seekor burung yang memindahkan satu biji sawi, pastilah semua biji itu akan habis. Sementara akhirat tidak akan pernah berakhir. Jadi, bandingan dunia dengan akhirat itu laksana satu biji sawi dengan biji-bijian yang tak terhingga. Dunia ini adalah satu hembusan napas dari banyak hembusan napas akhirat dan salah satu saat dari saat-saat di akhirat.

Musa 'alaihis salam juga pernah berkata, "Wahai Tuhanku, perlihatkan kepadaku salah seorang dari wali-wali-Mu." Tuhan menjawab, "Carilah di tempat ini dan itu." Musa pun mencarinya, tetapi di sana dia hanya menemukan tulang-belulang seorang laki-laki yang telah dimakan binatang buas. Dia berkata, "Ya Tuhan, aku tidak melihat apa-apa, selain tulang belulang." Tuhan menjawab, "Ia adalah tulang-belulang seorang wali-Ku." Dia bertanya, "Ya Tuhan, mengapa Engkau kirim binatang buas untuk memakannya?" Tuhan menjawab, "Benar, demi kemuliaan-Ku, tidaklah Aku mengeluarkannya dari dunia, kecuali dalam keadaan lapar dan haus." Musa bertanya lagi, "Wahai Tuhan, mengapa begitu?" Tuhan menjawab, "Karena kedudukannya (yang tinggi) di sisi-Ku. Kalaulah engkau sempat melihatnya, pastilah jiwamu binasa karena rindu kepadanya. Aku tidak rela dunia ini diperuntukkan bagi salah seorang dari wali-wali-Ku."

Tentang firman Allah Ta'ala:


زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ. (الــ عـمـران :١٤)

Artinya:

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa apa yang diingini, yaitu wanita-wanita dan anak-anak." (Q.S. Ali Imran: 14)

Ibnu Al-Qayyim rahimahulloh berkata, "Yang dimaksud adalah anjuran bersikap zuhud terhadap dunia yang fana dan akan sirna ini, anjuran agar menyenangi kehidupan yang kekal lagi terus berlangsung, penghinaan terhadap orang yang mengutamakan segala perhiasannya dan disejajarkan dengan kedudukan anak kecil yang memandang indah permainannya sehingga merasa senang dan ceria. Hanya saja, dalam ayat tersebut tidak disebutkan subjek yang menjadikan indah tersebut, sehingga Dia tidak berfirman, "Kami menjadikan indah untuk manusia." Alloh mengaitkan perbuatan menjadikan indah dunia ini dengan beragam ketundukan terhadap godaan setan, sebagaimana firman-Nya:


وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. (الأنغام: ٤٣)

Artinya:

"Dan setan pun menghiasi untuk mereka apa-apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-An'am: 43)


Dan firman-Nya: 

وَكَذَٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ. (الأنغام: ١٣٧)

Artinya:

"Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik tindakan membunuh anak-anak mereka." (QS. Al-An'am: 137)  sampai akhir ucapannya. 


Seandainya orang yang berakal diuji dengan dunia, tersingkaplah baginya sosok seorang musuh dalam pakaian seorang kawan.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata, "Apabila engkau ingin mengetahui nilai dunia, lihatlah di tangan siapa ia berada."

Sufyan At-Tsauri berkata lagi, “Tidak ada kebaikan bagi seorang qori' yang mengagungkan penghuni dunia."

Adapun Yahya bin Mu'adz Ar-Rozi rahimahullohu berkata, "Agama seorang hamba akan tetap rusak selama hatinya bergantung pada cinta dunia."


Thursday, July 28, 2022

Kisah Cinta Paling Menakjubkan Dalam Sejarah

 "Sungguh, aku telah dikaruniai cintanya." Nabi Muhammad .

Ini adalah kisah cinta paling menakjubkan dalam sejarah peradaban manusia. Kisah ini bukan kisah cinta antara Qais dengan Laila, dan bukan pula kisah asmara antara Romeo dengan Juliet. Karena kisah mereka tidak berakhir dengan pernikahan, yang merupakan ujian sesungguhnya bagi cinta. Cinta sejati adalah cinta yang terus bersemi setelah menikah hingga salah satu dari mereka dijemput oleh kematian.

Maka kisah cinta yang paling agung dan paling menakjubkan sepanjang sejarah adalah cinta Nabi Muhammad  kepada Ibunda Khadijah r.a. Kisah beliau adalah kisah cinta sejati, bahkan hingga istri yang dicintainya meninggal dunia.

Di dalam bukunya, Al-Jaza' min Jinsi Al-'Amal (2/59-62), Al-Affani menyebutkan bahwa ibunda Khadijah r.a adalah penghulu seluruh wanita pada zamannya, ibunda dari Al-Qasim dan semua anak-anak Nabi. Dialah orang yang pertama mengimani dan membenarkan kenabian suaminya sebelum siapa pun. la pula yang meneguhkan pendirian beliau, dan pergi membawa beliau menemui pamannya, serta menyokong dakwah beliau dengan hartanya.

Nabi  memuliakan dan mengutamakan ibunda Khadijah dari seluruh istri-istri beliau, sehingga Aisyah berkata, "Aku tidak pernah cemburu sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi  sering sekali menyebut-nyebut namanya."

Diantara kemuliaan Khadijah bagi Nabi  adalah bahwa beliau belum pernah menikah dengan wanita lain sebelumnya, dan dari rahimnyalah terlahir anak-anak beliau. Beliau juga tidak menikah dengan wanita lain sampai istrinya meninggal dunia. Ketika itulah beliau merasa berduka dan kehilangan, karena ibunda Khadijah adalah sebaik-baik istri.

Al-Mubarakfuri juga mengomentari kedudukan Khadijah di sisi Nabi  dalam buku tarikhnya, Ar-Rahiqul Makhtum (hal. 224), "Sosok Khadijah merupakan nikmat Alloh yang paling agung bagi Rosululloh. Selama seperempat abad hidup bersamanya, dia senantiasa menghibur saat beliau cemas, memberikan dorongan di saat-saat paling kritis, menyokong penyampaian risalahnya, ikut serta bersama beliau dalam rintangan yang menghadang jihad, dan selalu membela beliau, baik dengan jiwa maupun hartanya."

Untuk mengenang jasa-jasa istrinya, Nabi Muhammad  bertutur, "Alloh tidak memberikan ganti kepadaku yang lebih baik darinya. la telah beriman kepadaku saat manusia tidak ada yang beriman, dia membenarkanku saat manusia mendustakan, dia mengeluarkan hartanya untukku saat manusia tidak mau memberikannya. Alloh mengaruniaiku anak darinya, sementara tidak dikaruniakan kepadaku dari selainnya." (Musnad Ahmad, nomor 24864).

Maka, tidaklah berlebihan jika beliau betul-betul mencintai istrinya ini, sepanjang hidupnya, dan juga setelah kematiannya.

Berikut ini adalah bukti cinta Nabi  kepada ibunda Khadijah. Hingga ketika meninggal dunia pun, beliau tetap mengenangnya dan memuji-mujinya, serta memuliakan teman-teman dan juga saudarinya.

Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ibunda Aisyah berkata, "Aku tidak pernah cemburu terhadap seorang pun dari istri-istri Nabi  sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya, tetapi Nabi  berulang kali menyebut-nyebut namanya. Terkadang beliau menyembelih seekor kambing, lalu memotong daging-dagingnya, lalu beliau mengirimkannya kepada teman-teman Khadijah. Aku pernah berkata kepada beliau, "Seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah."

Beliau kemudian bersabda, “Memang begitulah keutamaan dan kemuliaan Khadijah. Darinyalah aku mendapatkan anak." (HR. Al-Bukhari, nomor 3818).

Pun, beliau juga menghormati saudari Khadijah, Halah binti Khuwailid. Aisyah menceritahkan bahwa suatu ketika Halah binti Khuwailid datang untuk meminta izin bertemu dengan Rosululloh ﷺ. Tiba-tiba beliau teringat dengan permintaan izin yang dilakukan oleh istrinya, Khadijah, sehingga beliau menjadi senang dengan kedatangannya. Beliau bersabda, "Ya Alloh, jadikanlah Khadijah bercahaya." Aisyah pun cemburu, dan mengatakan, "Engkau masih ingat dengan wanita Quraisy yang sudah tua renta dan sudah lama meninggal dunia. Sungguh, Alloh telah memberikan ganti kepadamu dengan wanita yang lebih baik darinya." (HR. Al- Bukhari, nomor 3821). 

Dalam redaksi yang lain, Aisyah menceritakan, "Aku tidak pernah cemburu terhadap seorang wanita sebagaimana kecemburuanku terhadap Khadijah, yang sudah meninggal sebelum Nabi  menikahiku tiga tahun setelahnya. Karena aku sering mendengar beliau memuji-muji sebagai pertanda kecintaan beliau kepadanya. Alloh juga telah memerintahkan beliau untuk memberikan kabar gembira kepadanya dengan sebuah rumah di surga. Jika menyembelih seekor kambing, beliau menghadiahkannya kepada kerabat, kenalan dan teman-teman Khadijah." (HR. Al-Bukhari, nomor 6004 dan Muslim, nomor 2435).

Aisyah juga pernah memberikan kesaksian, "Aku tidak pernah cemburu terhadap istri Nabi  kecuali terhadap Khadijah, padahal aku belum pernah bertemu dengannya.” lanjut Aisyah, "Jika Rosululloh menyembelih seekor kambing, beliau akan berkata, "Tolong kirimkan kambing ini kepada teman-teman Khadijah." Pernah suatu hari aku membuat beliau marah dengan mengatakan, "Khadijah?" lalu Rosululloh bersabda, "Inni qad ruziqtu hubbaha...., Sungguh, aku telah dikaruniai cintanya.” (HR. Muslim, nomor 2435).

Demikianlah cinta beliau .

Beliau bahkan, kata Ahmad Salim Baduwailan, sama sekali tidak pernah melupakan istrinya hingga empat belas tahun setelah wafatnya.

Adakah cinta yang lebih menakjubkan melebihi cinta beliau  kepada istrinya tercinta, ibunda Khadijah?




Saturday, July 23, 2022

IBLIS PUN INGIN BERTAUBAT

Iblis pernah mendatangi Nabi Musa. Dia berkata kepada Nabi Musa:

"Engkau adalah orang yang Alloh pilih untuk menyampaikan Risalah-Nya dan juga diberi wahyu secara langsung oleh-Nya. Dan aku adalah satu makhluk dari beberapa makhluk Alloh. Aku hendak bertaubat kepada Tuhanmu. Mintakanlah kepada-Nya agar Dia mau membuka pintu taubat kepadaku!".

Nabi Musa senang mendengar pernyataan dari Iblis. Kemudian Nabi Musa berwudlu dan sholat serta memanjatkan doa-doa kepada Alloh. Dalam doanya beliau berkata: "Ya Tuhan! Sesungguhnya Iblis adalah satu makhluk di antara makhluk-Mu. Dia mau bertaubat, maka berilah pertaubatan kepadanya!"

Sebagai jawaban maka diucapkanlah kepada Nabi Musa as:

"Wahai Musa! Dia tidak akan bertaubat!"

"Ya Tuhan! Sesungguhnya dia meminta pertaubatan kepada-Mu!" Nabi Musa memaksa.

Akhirnya Alloh swt memberikan wahyu kepada Nabi Musa:

"Aku mengabulkan permintaanmu, Wahai Musa! Maka perintahkanlah dia agar dia bersujud kepada kuburannya Adam yang dengannya aku akan memberi taubat kepada Iblis".

Setelah itu Nabi Musa kembali dalam keadaan bahagia, lalu Nabi Musa pun memberi kabar bahagia itu kepada Iblis bahwa permintaannya dikabulkan oleh Alloh swt. Tanpa banyak penjelasan Nabi Musa menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Alloh, yakni Iblis harus bersujud kepada kuburannya Nabi Adam. Akan tetapi setelah Iblis mendengarkan pesan itu, ia membalas dengan amarah dan kesombongan yang kemudian Iblis berkata:

"Saat Adam masih hidup saja aku tidak mau menyembahnya apalagi saat dia sudah mati!!".

Iblis berkata lagi kepada Musa:

"Hai Musa! Aku berhutang budi kepadamu karena kau masih mau memintakan pertolongan kepada Tuhanmu untukku. Maka sudah pantas apabila aku memberimu nashihat (pesan) yaitu engkau harus mengingatku saat engkau berada dalam tiga keadaan: 

Pertama, saat engkau marah. Sesungguhnya saat engkau marah saat itu juga sebenarnya aku berada dalam hatimu, melekat layaknya darah yang mengalir. 

Kedua, ingatlah aku saat engkau bertemu dengan musuh dalam gemuruhnya perang. Sebab sesungguhnya aku mendatangi anak Adam saat dia bertemu dengan musuhnya, dan jika dia ingat kepadaku dalam keadaan seperti itu maka aku akan mengingatkan dia akan istri, anak dan hartanya. Dengan demikian dia akan berpaling dari musuhnya. 

Ketiga, takutlah engkau untuk duduk bersama perempuan yang tidak bersama dengan mahrom. Sebab saat engkau dalam keadaan demikian aku akan menjadi utusan perempuan itu kepadamu dan aku juga akan menjadi utusanmu kepada perempuan itu".


Wallohu A'lam


KESIMPULAN :

Hal yang sangatlah Alloh benci adalah amarah. Alloh dzat yang maha sabar telah melarang kepada hambanya untuk bermarah-marah. Hendaknya bagi orang yang marah mengikuti saran yang tertulis di dalam cuplikan di atas. Hal itu agar supaya tali persaudaraan tetap utuh dan orang tersebut juga akan tercatat sebagai Penyabar (as-Shobur) di sisi Alloh swt.

SUMBER:
Kitab Tanbihul Ghofilin (تَنْبِيْهُ الْغَافِلِيْنَ), Haromain, hlm. 85

Thursday, July 7, 2022

KAJIAN KITAB MUKHTĀRUL AHĀDĪTS Bag.2

 KERJAKAN YANG BAIK, TINGGALKAN YANG BURUK


اِئْتِ المَعْرُوْفَ وَاجْتَنِبِ المُنْكَرَ، وَانْظُرْ مَا يُعْجِبُ اُذُنَكَ اَنْ يَقُوْلَ لَكَ القَوْمُ اِذَا قُمْتَ مِنْ عِنْدِهِمْ فَأْتِهِ، وَانْظُرِ الَّذِيْ تَكْرَهُ اَنْ يَقُوْلَ لَكَ القَوْمُ اِذَا قُمْتَ مِنْ عِنْدِهِمْ فَاجْتَنِبْهُ (رواه الجماعة)

Artinya:

"Kerjakanlah kebajikan dan jauhilah kemungkaran. Dan pikirkanlah dahulu hal yang akibatnya disukai oleh pendengaran telingamu, jika kaum (orang-orang) mengata-ngataimu (dengan pujian) apabila engkau telah pergi dari mereka (tidak bersama mereka), maka kerjakanlah hal itu. Dan pikirkanlah dahulu hal yang akibatnya tidak engkau sukai, jika kaum (orang-orang) mengata-ngataimu (dengan celaan) apabila engkau telah pergi dari mereka (tidak bersama mereka), maka tinggalkanlah hal itu." (Riwayat Jama'ah)


PENJELASAN:

Hadits "Kerjakanlah kebajikan, jauhilah kemungkaran", maksudnya apabila kita akan mengerjakan sesuatu hendaklah dipikirkan terlebih dahulu dampak positifnya agar kelak kita tidak mendengar kata-kata yang tidak enak dari orang lain. Apabila hal itu telah dipikirkan dengan matang, dan jika dikerjakan akan berdampak positif, maka kerjakanlah. Akan tetapi apabila akan berdampak negatif, maka jauhilah.

KAJIAN KITAB MUKHTĀRUL AHĀDĪTS Bag.1

 KEISTIMEWAAN NABI MUHAMMAD ﷺ


آتِيْ بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ، فَيَقُوْلُ الْخَازِنُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُوْلُ: مُحَمَّدٌ، فَيَقُوْلُ: بِكَ أُمِرْتُ أَلَّا اَفْتَحَ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ. (رواه أحمد عن أنس)

Artinya:

Di hari kiamat [nanti] kudatangi pintu surga, lalu kuminta dibukakan. Malaikat penjaga surga bertanya: "Siapakah engkau?" lalu kujawab: "Muhammad". Dia berkata : "Karena engkaulah aku diperintahkan agar tidak membuka pintu surga bagi seorang pun sebelummu". (Riwayat Ahmad melalui Anas r.a.)


PENJELASAN:

Di antara keistimewaan yang dimiliki Nabi Muhammad ﷺ ialah, beliau orang pertama yang membuka pintu surga, sehingga malaikat penjaga pintu surga berkata: "Aku diperintahkan agar tidak membukakan pintu surga kepada siapa pun sebelum engkau". Hal ini jelas menunjukkan betapa tingginya kedudukan Nabi  di sisi Alloh Swt. Maka tidak heran apabila Beliau dijuluki sebagai makhluk Alloh yang paling mulia dan terhormat, sebagai pemilik Syafa'atul 'Uzhma. Hal ini digambarkan dalam hadis: "Manakala para nabi tidak ada yang berani menghadap kepada Alloh Swt. untuk memohon Syafa'at". Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad  menghadap kepada Alloh Swt dan bersujud kepada-Nya, Alloh berfirman kepadanya, "Mintalah, pasti Kuberi, mintalah syafa'at, niscaya Kuberi izin untuk memberi syafa'at".

Saturday, June 25, 2022

RAHASIA KEBERANIAN KIAI MAHRUS

    Pada tahun 1977 di masa Orde Baru, orang Islam membentuk sebuah partai untuk mengikuti pemilihan umum pada masa itu. Kemudian diadakanlah kampanye di kota Kediri. Pembicara yang diundang salah satunya adalah (alm) KH. Imron Hamzah.

    Malam harinya mobil sudah tidak bisa lewat, karena Kediri sudah dibanjiri lautan manusia. Parkir kendaraan pengunjung yang akan mengikuti kampanye sangat panjang. Dari arah selatan, parkir mobil sampai ke Ngadiluwih. Yang dari arah timur sampai Gurah. Yang dari utara sampai di Jampes.

    Melihat fenomena ini pihak pemerintah ORBA merasa khawatir, betapa popularitas partai ini semakin tinggi. Akhirnya pemerintah menetapkan pembicara harus diganti semua. Jika tidak, kampanye tidak bisa dilaksanakan. Orang-orang bingung. Akhirnya sowan kepada hadhratil mukarram KH. Mahrus Ali meminta solusi.

    Akhirnya pagi-pagi jam 06.00 Wib, Kiai Mahrus memanggil Kiai Aziz Manshur dan Kiai Ma'shum Jauhari diajak menemui pihak aparat terkait. Setelah sampai di sana, dengan lantang dan berani Kiai Mahrus membentak aparat tersebut.

    "Mengapa dilarang?"

    "Rusuh." jawab aparat tadi.

    "Rusuh mana dengan kamu?" bentak Kiai Mahrus.

Terjadi perdebatan panjang, sampai Kiai Mahrus menggebrak meja berkali-kali, Beliau meminta agar larangan izin penceramah dicabut.

    "Ini perintah dari atasan Pak Kiai. Kalau saya tidak jalankan, besok saya dipecat. Apa yang saya makan?" jawab aparat tadi dengan ketakutan.

    "Ya sudah, sekarang tidak apa-apa. Tiga hari lagi harus sudah diberikan izin." tandas Kiai Mahrus.

    Beliau bertiga kemudian pulang. Kiai Aziz muda dan Kiai Ma'shum muda hanya diam menyaksikan. Beliau berdua diajak oleh Kiai Mahrus agar mengerti seperti inilah tugas kiai.

    Setelah pulang, Kiai Aziz bertanya kepada Kiai Mahrus, "Mbah Yai panjenengan kok berani sekali. Di hadapan orang berseragam hijau nggebrak-nggebrak, mereka hanya diam. Apa doanya Mbah Yai?"

    "Hus, gak ada doanya. Rahasianya hanya

مَنِ اتَّقَى اللّٰهَ اِتَّقَاهُ كُلُّ شَيْءٍ

"ORANG YANG TAKUT (TAKWA) KEPADA ALLOH, SIAPAPUN AKAN TAKUT KEPADANYA." jawab Kiai Mahrus dengan mantap.


Friday, June 24, 2022

MENJADI WALI LANTARAN SABAR TERHADAP KEBURUKAN ISTRI

    Di Hadhromaut Yaman ada makam seorang wali bernama Aburrohman Bajalhaban. Beliau diangkat menjadi wali Alloh karena kesabarannya menghadapi istri yang cerewet dan keras kepala. Namun, sebelum peristiwa pertemuan dengan dua orang wali Alloh, beliau tidak sadar kalau dirinya wali. Sebab merasa dirinya hanya manusia biasa sebagaimana orang lain.

    Nama Abdurrohman Bajalhaban dikenal banyak orang sebagai suami yang sangat sabar. Khususnya sabar saat dimarahi istrinya. Beliau tak pernah membalas kemarahan istrinya meskipun level cerewet istrinya lebih dari perempuan pada umumnya. Karena sikap istrinya, lama-lama Syaikh Abdurrohman Bajalhaban tidak betah di rumah. Beliau pun pergi meninggalkan rumah.

    Di perjalanan, Syaikh Abdurrohman kehabisan bekal. Tanpa disengaja beliau bertemu dengan dua orang wali pengelana di sebuah hutan yang lebat. Abdurrohman Bajalhaban kagum sekali dengan dua orang wali pengelana ini. Sebab dua orang ini setiap kali meminta sesuatu, Alloh selalu kabulkan.

    Minta makanan, Alloh langsung menurunkan makanan dari langit. Minta minuman, Alloh langsung menurunkan minuman dari langit. Sehingga dua orang ini tak perlu bekerja namun bisa memenuhi kebutuhan hariannya.

    Syaikh Abdurrohman Bajalhaban pun penasaran lalu mencoba melakukan hal yang sama diminta oleh dua orang wali itu.

    "Ya Alloh, saya minta makanan ini. Ya Alloh saya minta minuman ini," ucap Syekh Abdurrohman.

    Tak lama kemudian, turunlah makanan dan minuman yang diminta. Jumlahnya dua kali lipat dari jumlah yang diminta dua wali pengelana tersebut.

    Dua orang wali pengelana ini pun takjub penasaran. Ternyata ada orang yang memiliki kemampun yang lebih hebat dari mereka. Lalu dua orang wali ini pun bertanya kepada Syaikh Abdurrohman Bajalhaban.

    "Syaikh, doa apa yang panjenengan ucapkan sehingga bisa mendapatkan makanan dari Alloh lebih dari yang kami minta?"

    Syekh Abdurrohman Bajalhaban pun bingung sebab baru pertama kali mendapatkan makanan secara langsung dari Alloh. "Ngapunten. Maaf. Aku ingin tahu doa apa yang panjenengan sampaikan sehingga bisa mendapatkan makanan yang kalian minta dari Alloh."

    Salah satu dari mereka menjawab, "Begini, Syaikh. Ketika kami ingin sesuatu makanan, kami akan shoat lalu kami meminta kepada Alloh dengan bertawassul melalui Syaikh Abdurrohman Bajalhaban, seorang wali yang saleh, yang diangkat derajatnya oleh Alloh karena kesabarannya menghadapi istrinya. Beliau tinggal di dekat pegunungan ini."

    Syaikh Abdurrohman pun takjub mendengar penjelasannya. Ternyata selama ini beliau dikenal orang sebagai wali yang sabar menghadapi istri.

    "Bagaimana dengan panjenengan, Syekh?"

    Syekh Abdurrohman pun menceritakan bahwa dirinya adalah orang yang mereka tawasuli. Kedua orang inipun sungkem kepada Syaikh Abdurrohman. Beliau lalu pulang dan menceritakan kewaliannya kepada istri. Setelah itu, istrinya pun bertaubat dan menjadi lebih lembut.

✽✽✽✽

    Dari kisah tersebut kita bisa mendapatkan kesimpulan bahwa memiliki istri yang cerewet atau berperangai buruk bila disikapi dengan positif akan berdampak positif pula. Jika seseorang mempunyai istri yang cerewet atau berperangai buruk, hendaklah ia bersabar sebab itulah fasilitas ujian yang Alloh berikan untuk mengangkat derajat seorang hamba menjadi kekasih-Nya (wali).

    Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali RA dalam kitab Ihya' 'Ulumud Din mengatakan:

اَلصَّبْرُ عَلٰى لِسَانِ النِّسَاءِ مِمَّا يُمْتَحَنُ بِهِ الْأَوْلِيَاءُ

"Sabar menghadapi omongan istri termasuk ujiannya para wali."

    Seperti kisah wali-wali zaman dahulu banyak dikisahkan di antara mereka ternyata mempunyai istri yang galak dan berperangai buruk, sebagaimana kisah Syeikh Abdurrohman Bajalhaban.

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.6

 PEMBAHASAN TENTANG TAQLID


(١١) إِذْ كُلُّ مَنْ قَلَّدَ فِي التَّوْحِيْدِ ☼ إِيْمَانُهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ تَرْدِيْدِ

(١٢) فَفِيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ يَحْكِي الْخُلْفَ ☼ وَبَعْضُهُمْ حَقَّقَ فِيْهِ الْكَشْفَ

(١٣) فَقَالَ إِنْ يَجْزِمْ بِقَوْلِ الْغَيْرِ ☼ كَفٰى وَإِلَّا لَمْ يَزَلْ فِي الضَّيْرِ

"Karena setiap orang yang taqlid dalam ilmu tauhid ☼ maka imannya tidaklah sunyi daripada (menerima) keragu-raguan." 

"Maka terhadap imannya itu sebagian ulama meriwayatkan khilaf ☼ dan sebagian lagi memastikan adanya penjelasan padanya." 

"Maka berkatalah ia: Jika si muqollid memantapkan perkataan orang lain itu ☼ maka memadailah, namun jika tidak maka senantiasalah ia dalam bahaya”.


    Ini adalah sebab wajibnya makrifat sebagaimana disebutkan terdahulu. Maka seakan-akan pengarang berkata: "Diwajibkannya mukalaf mengetahui apa-apa yang terdahulu adalah untuk menghindari taqlid. Karena setiap orang yang taqlid dalam ilmu tauhid, maka imannya tidaklah sunyi daripada menerima keragu-raguan".

    Taqlid adalah: "Mengambil perkataan orang lain dengan tanpa mengetahui dalilnya”.

    Penyebutan lafadz "dengan tanpa mengetahui dalilnya" mengecualikan murid-murid sesudah para guru menunjuki mereka kepada beberapa dalil karena mereka ini termasuk orang-orang yang arif, bukan taqlid. Syeikh Sanusi membuat perumpamaan untuk membedakan mereka dengan orang-orang taqlid, yakni sekelompok orang yang telah melihat bulan sabit di mana sebagian mereka telah lebih dahulu melihatnya lalu mengabarkannya kepada sebagian yang lain. Maka jika mereka membenarkannya tanpa melihat sendiri, jadilah mereka itu orang-orang yang taqlid dan jika dia menunjuki mereka dengan tanda hingga mereka dapat melihatnya sendiri maka tidaklah mereka jadi orang taqlid.

    Maksud dari ”ilmu tauhid” pada bait itu adalah ilmu aqo'id, yakni ilmu tentang akidah-akidah. Jadi bukan hanya menetapkan keesaan Alloh semata. Sedangkan yang dimaksud dengan "imannya” pada kata-kata: إِيْمَانُهُ لَمْ يَخْلُ مِنْ تَرْدِيْدِ adalah pemantapannya terhadap hukum-hukun tauhid dengan tanpa dalil.


Perbedaan Pendapat Tentang Imannya Muqollid

    Terhadap sah tidaknya iman orang yang taqlid (muqollid) dalam perkara-perkara keimanan (akidah), para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

1. Tidak cukup (dalam arti tidak sah) taqlid sehingga orang-orang yang taqlid itu dianggap kafir.

2. Mencukupi taqlid itu namun dianggap durhaka secara mutlak, baik dia mampu berfikir dalam perkara-perkara keimanan atau tidak.

3. Mencukupi taqlid itu namun dianggap durhaka jika dia mampu untuk berfikir. Jika tidak mampu berfikir maka tidaklah dianggap durhaka.

4. Orang yang taqlid kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang qoth'iyyah sah imannya karena dia mengikut kepada yang qoth'i, tetapi kalau taqlid pada selain yang demikian maka imannya tidak sah karena terdapat kemungkinan yang besar untuk terjadinya kekeliruan.

5. Mencukupi taqlid itu dan tidak dianggap durhaka secara mutlak karena berfikir adalah syarat kesempurnaan. Maka siapa yang mampu berfikir lantas dia tidak berfikir maka dia telah meninggalkan perkara yang lebih utama.

6. Taqlid itu sahih dan haram berfikir tentang dalil-dalil akidah. Pendapat ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak suka kepada ilmu kalam. Kebencian terhadap ilmu kalam adalah sesuatu yang berlebihan kecuali ilmu kalam yang sudah bercampur dengan filsafat. Dan ucapan imam Syafi'i yang tidak suka kepada ilmu kalam ---jika memang benar diucapkan oleh beliau--- dimaksudkan kepada ilmu kalam yang sudah bercampur dengan filsafat tersebut.

    Masalah berfikir yang dikhilafkan di atas berlaku pada berfikir yang menyampaikan kepada makrifatulloh, bukan yang lainnya seperti berfikir yang menyampaikan kepada makrifat para rosul.

    Dan dari enam pendapat di atas maka yang lebih diunggulkan adalah pendapat nomor tiga. Bahkan al-Amidi telah menyampaikan adanya ittifak (consensus) para ashab atas tidak kafirnya orang yang taqlid dan bahwa pendapat mengenai tidak sahnya iman orang yang taqlid tidaklah diketahui kecuali pendapatnya Abu Hasyim al-Juba'i dari golongan Muktazilah.

    Abu Manshur al-Maturidi berkata: “Sepakat para ashab kita bahwa orang-orang yang awam itu adalah mukmin lagi arif dengan Tuhan mereka dan bahwa mereka termasuk ahli surga sebagaimana diterangkan dalam beberapa Hadis dan sudah teranggap ijmak karena sesungguhnya fitrah mereka telah menariknya untuk mentauhidkan Alloh Sang Pencipta dan mengiktikadkan keqidaman serta kebaruan apa-apa yang selain-Nya meskipun mereka tidak mampu mengibaratkannya dengan istilah para mutakallimin”.

    Perkataan pengarang dengan: وَبَعْضُهُمْ حَقَّقَ فِيْهِ الْكَشْفَ artinya: Dan sebagian ulama seperti Tajus Subki memastikan adanya penjelasan dalam hal imannya muqollid dari segi cukup atau tidaknya. Penjelasan dimaksud adalah:

1. Jika si muqollid memiliki kemantapan yang kuat terhadap benarnya perkataan orang lain, dalam arti jika orang yang ditaqlidi itu menarik kembali perkataannya dia tidak akan ikut maka cukuplah yang demikian itu dalam iman. Kepada muqollid yang beginilah dibawa pendapat yang mengatakan dengan cukupnya taqlid. Dan memadailah baginya yang demikian itu dalam hukum-hukum duniawi, maka dapatlah dia dinikahkan, dijadikan imam, dimakan sembelihannya, diwarisi oleh kerabatnya yang muslim dan diapun mewarisi mereka serta dimakamkan dipekuburan orang-orang muslim. Dan juga memadai dalam hukum-hukum ukhrawi, maka tidaklah dia kekal dalam neraka jika dia memasukinya dan tempat kembalinya adalah keselamatan dan surga. Maka dia adalah orang mukmin, akan tetapi berbuat durhaka dengan sebab meninggalkan berfikir jika memang dia mampu untuk berfikir.

2. Jika si muqollid tidak memberikan kemantapan terhadap benarnya perkataan orang lain dengan kemantapan yang kuat dimana dia sebenarnya mantap akan tetapi jika orang yang ditaqlidi itu menarik kembali perkataannya diapun ikut-ikutan, maka senantiasalah ia dalam bahaya karena masih menerima kebimbangan dan keragu-raguan. Terhadap muqollid yang seperti inilah dibawa pendapat yang mengatakan tidak cukupnya taqlid.

    Dengan demikian maka perbedaan pendapat itu adalah pada muqollid yang mantap dari segi kuat atau tidaknya kemantapan itu. Adapun orang yang syak dan zhan maka para ulama sepakat bahwa imannya tidak sah.

    Perbedaan pendapat tentang imannya muqollid sebagaimana uraian di atas hanya terkait dengan hukum-hukum keakhiratan dan apa-apa yang ada di sisi Alloh. Adapun yang terkait dengan hukum-hukum keduniaan maka dianggap cukup dengan pernyataan (ikrar) iman saja. Maka siapa yang telah menyampaikan ikrar iman berlakulah padanya hukum-hukum Islam dan tidak dihukumkan atasnya kekafiran kecuali jika ikrarnya itu diiringi dengan sesuatu yang menyebabkan kekafiran seperti sujud kepada patung atau berhala.


SINGA PUN TAKLUK LANTARAN SABAR TERHADAP KEBURUKAN ISTRI

    Dalam kitab 'Uqudul Lujain (عُقُوْدُ اللُّجَيْنِ = kalung perak) karya Syeh Nawawi al-Bantani, dikisahkan bahwa ada seorang sholeh mengunjungi rumah saudaranya yang juga terkenal sholeh. Sebut saja Dullah dan Darsun. Setidaknya tiap tahun Dullah pergi menjumpai saudaranya itu. Kali ini hampir saja Dullah tak bertemu Darsun. Begitu mengetuk pintu, yang terdengar adalah suara istri Darsun, "Siapa?"

    "Saya saudara suamimu, datang untuk mengunjunginya."

    "Suamiku sedang mencari kayu. Semoga ia tidak dikembalikan oleh Alloh ke rumah ini lagi."

    Dari balik pintu itu, istri Darsun kemudian terus mencaci-maki suaminya habis-habisan. Dullah hanya bisa menelan ludah, hingga akhirnya ia melihat Darsun pulang membawa kayu bersama seekor singa. Ya, Darsun meletakkan kayu itu di atas punggung binatang yang terkenal buas itu.

    Sembari menurunkan kayu dari punggung singa, Darsun berujar kepada istrinya, "Kembalilah ke dalam, semoga Alloh memberkatimu," katanya yang lantas mempersilahkan Dullah masuk ke dalam rumah.

    Sambil mengucapkan salam, Darsun menampakkan air muka gembira menyambut kunjungan saudaranya itu. Tak lupa ia sajikan makanan untuk Dullah. Pertemuan pun terasa cair dan hangat.

    Dullah lalu berpamitan. Tapi satu hal yang tetap menancap di pikiran Dullah, kekagumannya terhadap kesabaran Darsun menghadapi istrinya yang super cerewet, gemar mengolok suami sendiri, bahkan seperti melaknatnya. Darsun tak membalas lemparan kotoran dengan lemparan serupa.

    Tahun berikutnya, Dullah berkunjung lagi. Sesaat selepas mengetuk pintu, sambutan ramah datang dari istri Darsun. Ucapan "Selamat datang" meluncur, disusul dengan pujian terhadap tamu. Perempuan itu juga memuji Darsun sembari menunggunya pulang.

    Seperti biasa, Darsun pulang dengan membawa kayu bakar. Hanya saja, hari itu ia tak lagi bersama singa. Beban kayu bakar ia pikul sendiri di atas pundak. Darsun terlihat kian payah. Tapi sambutan yang menyenangkan terhadap saudaranya itu tidak berubah.

    Tentang dua suasana berbeda yang ia alami, sebelum pamit Dullah memberanikan diri bertanya kepada Darsun. Mengapa perempuan yang menyambutnya berbeda dari perempuan tahun sebelumnya? Kemana pula singa perkasa yang dulu menggotong kayu itu? Darsun memberi tahu, "Saudaraku, istriku yang berperilaku tercela itu telah meninggal dunia. Aku berusaha sabar atas perangai buruknya, sehingga Alloh memberiku kemudahan untuk menaklukkan singa, karena kesabaranku itu. Lalu aku menikah lagi dengan perempuan sholehah. Aku sangat berbahagia dengannya, hingga singa itu dijauhkan dariku, dan memaksaku memikul sendiri kayu bakarku."

✽✽✽✽

    Apa yang diceritakan Syeh Nawawi di atas tentu bukan ingin melegitimasi perangai buruk seorang istri. Karena dalam kitab yang sama, beliau berulang kali mengharuskan perempuan bersikap patuh dan menjaga tata krama terhadap suami. Pesan moral dititikberatkan kepada cara suami menyikapi perilaku istri. Ketika situasi mendesak suami menghadapi kemungkinan terburuk, maka bersabar adalah langkah paling bijak. Sabar berarti kuat, bukan lemah, apalagi kalah. Sabar juga bisa menjadi modal dasar bagi usaha untuk memperbaiki. Kemenangan dan kemuliaan Darsun dalam kisah tersebut tercermin dari keistimewaan yang ia peroleh, sebagai imbalan dari kesabarannya yang luar biasa itu. Hal sama juga bisa terjadi sebaliknya, yakni ketika istri terpaksa menghadapi perilaku suami yang jauh dari dambaan. Kesabaran adalah pilihan utama.

    Apa yang diceritakan dalam kitab kitab 'Uqudul Lujain ini juga merupakan secuil kisah dalam khazanah turots (literatur klasik) yang menguak kisah kehidupan rumah tangga orang-orang sholeh. Sebenarnya banyak sekali dalam khazanah turots cerita maupun kisah para ulama dan orang-orang sholeh yang memiliki istri berperangai kurang baik, yang bisa ditemui. Memang, tidak ada rumah tangga yang tidak pernah didera prahara. Semuanya pasti mengalami masalah-masalah entah kecil atau besar, atau juga masalah kecil yang dibuat besar. Rumah tangga para ulama pun demikian. Jangan dikira semua rumah tangga para ulama ataupun kiyai pasti berjalan mulus tanpa halangan suatu apapun. Bahkan, rumah tangga Nabi SAW pun pernah diterpa prahara.

    Namun demikian, dalam menghadapi cobaan tersebut, mereka selalu mengedepankan kebijaksanaan. Meskipun emosi mereka setiap kali diuji baik ketika dalam keadaan berduaan maupun di hadapan khalayak. Mereka tidak pernah naik darah dengan secara spontan melemparkan kata talak atau membalas dengan melakukan kekerasan atas perbuatan buruk istri mereka. Bahkan yang mereka tunjukkan adalah kebijaksanaan yang merupakan buah dari kedalaman ilmu. Mereka yakin bahwa semua itu adalah kesempatan untuk meraih ziyadah (tambahan) pahala dan ganjaran, pun untuk melebur segala kesalahan dan dosa.

Saturday, May 21, 2022

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.5

Taklif, Makrifat, Wajib , Jaiz, Mumtani'


(٩) فَكُلُّ مَنْ كُلِّفَ شَرْعًا وَجَبَا ☼ عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ مَا قَدْ وَجَبَا

(١٠) لِلّٰهِ وَالْجَائِزَ وَالْمُمْتَنِعَ ☼ وَمِثْلَ ذَا لِرُسْلِهِ فَاسْتَمِعَا

“Wajib atas tiap-tiap mukalaf menurut syara' untuk mengetahui apa-apa yang wajib bagi Alloh, apa-apa yang jaiz dan apa-apa yang tercegah. Dan (wajib pula mengetahui) yang seumpama ini bagi sekalian rosul-Nya maka hendaklah engkau dengarkan”.

    Maksud dari tiap-tiap mukalaf pada bait di atas adalah tiap-tiap orang mukalaf dari golongan manusia dan jin, laki-laki atau perempuan walaupun dia orang awam, hamba sahaya serta pelayan sampaipun ya'juj dan ma'juj. Namun tidak termasuk malaikat walaupun kita berpendapat bahwa mereka terkena taklif karena khilaf pada pen-taklifan mereka hanyalah yang berhubungan dengan selain makrifat kepada Alloh Swt. 

    Adapun mengenai makrifat kepada Alloh maka semua malaikat sudah mengetahuinya sebagai satu tabiat (pembawaan) mereka. Maka tidak ada seorang malaikat-pun yang tidak mengetahui sifat-sifat Alloh. Allah Swt. berfirman: 

شَهِدَ ٱللّٰهُ أَنَّهٗ لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَآئِكَةُ وَأُولُوا ٱلْعِلْمِ

"Alloh bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan juga malaikat serta orang-orang yang berilmu". (QS. Ali Imron: 18)

    Pada ayat ini malaikat disebutkan secara mutlak sementara manusia disebutkan orang-orang yang berilmu saja.

       Definisi taklif ada dua:  

1. اِلْزَامُ مَا فِيْهِ كُلْفَةٌ  = “Mewajibkan sesuatu yang mengandung beban".

2. طَلَبُ مَا فِيْهِ كُلْفَةٌ = “Menuntut sesuatu yang mengandung beban”.

    Berdasarkan definisi pertama dan dialah yang kuat maka taklif itu terbatas pada wajib dan haram saja. Tidak termasuk sunnah, makruh dan mubah karena tidak ada pewajiban pada ketiganya. Sedangkan menurut definisi kedua maka taklif itu mencakupi semuanya selain mubah karena tidak ada tuntutan pada perkara yang mubah. Dengan demikian mubah bukanlah taklif berdasarkan dua definisi di atas.

    Kalau dikatakan: “Bagaimana ini bisa terjadi sedangkan menurut ulama, hukum-hukum syara' itu ada sepuluh. Lima macam wadh'iyyah, yakni khitob Alloh Swt. yang berhubungan dengan penjadian sesuatu sebagai sebab, syarat, mani', sohih atau fasid; dan lima macam taklifiyyah, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Maka dijawablah bahwa yang dimaksud dengan taklifiyyah di situ adalah keadaan hukum-hukum itu tidaklah berhubungan kecuali dengan orang mukalaf sebagaimana ditegaskan para ulama ushul fikih.

    Mengenai syarat taklif ada empat:

1.    Baligh

2.    Berakal

3.    Sampainya dakwah

4.    Selamatnya indera

 -------------------------

    Maka mukalaf itu adalah orang yang baligh serta berakal yang telah sampai dakwah kepadanya dan selamat inderanya.

    Penyebutan “baligh” mengecualikan anak kecil sehingga dia tidak tergolong mukalaf. Maka orang yang mati sebelum baligh termasuk orang yang selamat sekalipun dia anak orang kafir dan dia tidak akan disiksa karena kekafirannya, tidak pula karena sebab lainnya[15].

    Penyebutan “berakal” mengecualikan orang gila, maka tidaklah dia mukalaf. Demikian juga orang mabuk yang bukan lantaran kelalimannya. Lain halnya jika dia mabuk lantaran kelalimannya sendiri maka tetaplah dia mukalaf. Akan tetapi tempat yang demikian itu (bukan mukalaf) adalah jika dia baligh dalam keadaan gila atau mabuk dan keadaannya terus seperti itu sampai mati. Berbeda halnya jika dia baligh dalam keadaan berakal kemudian dia gila atau mabuk sedangkan dia bukan mukmin dan mati seperti itu maka tidaklah dia selamat.

    Penyebutan “sampainya dakwah” mengecualikan orang yang tidak sampai dakwah kepadanya lantaran dia tinggal di puncak gunung yang tinggi, maka tidaklah dia termasuk mukalaf berdasarkan pendapat yang lebih sahih. Berbeda halnya dengan orang yang berpendapat bahwa dia itu mukalaf karena adanya akal yang dianggap cukup dalam hal wajibnya makrifatulloh meskipun tidak sampai dakwah kepadanya.

    Berdasarkan syarat sampainya dakwah timbul pertanyaan; bisakah mencukupi dengan sampainya dakwah dari nabi yang mana saja walaupun Nabi Adam, karena tauhid itu bukanlah perkara yang khusus dengan umat ini ataukah diharuskan sampainya dakwah dari rasul yang memang diutus kepadanya...?

    Pendapat yang tahqiq sebagaimana dinukil dari Allamah Malawi dari Ubay dalam syarah Muslim bahwa diharuskan sampainya dakwah dari rasul yang memang diutus kepadanya. Maka Ahlul Fatroh, yakni mereka yang berada di antara zaman-zaman rasul atau berada pada zaman rasul yang tidak diutus kepada mereka adalah orang-orang yang selamat meskipun mereka menyembah patung berhala.

    Jika timbul pertanyaan: “Bagaimana ini sedangkan Nabi pernah mengkhabarkan bahwa sekelompok orang dari Ahlul Fatroh ada di dalam neraka seperti Imri'il Qoys, Hatim at-Thoo'i dan sebagian bapak para sahabat karena sebagian sahabat pernah bertanya kepada Nabi ketika beliau tengah berkhotbah: “Dimanakah bapakku...?” Lantas Nabi menjawab: “Di neraka!”.

    Maka dijawab bahwa Hadis-hadis yang dibawakan itu adalah Hadis Ahad[16] dan dia tidak boleh bertentangan dengan dalil qoth'i, yakni firman Alloh: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا = “Dan Kami tidaklah akan menyiksa sehingga Kami mengutus seorang rosul”.[17] Dan juga karena ja'iznya mengazab orang yang sudah sah pengazabannya di antara mereka lantaran perkara khusus yang hanya diketahui oleh Allah dan rosul-Nya.

    Penyebutan “serta selamat inderanya” mengecualikan orang yang selainnya. Karena itulah sebagian ulama Syafi'iyyah berkata; “Kalau Alloh menciptakan seorang manusia dalam keadaan buta dan tuli maka gugurlah daripadanya kewajiban berfikir dan taklif”.

    Jika Anda telah mengetahui bahwa Ahlul Fatroh itu selamat berdasarkan pendapat yang rojih (unggul), maka dapatlah ditegaskan bahwa kedua orang tua Nabi adalah selamat juga karena termasuk Ahlul Fatroh.

    Perkataan pengarang dengan “menurut syara'” menunjukkan bahwasanya makrifat itu wajib dengan syara', bukan dengan akal. Ini adalah mazhabnya Asya'iroh. Maka menurut Asya'iroh makrifatulloh itu wajib dengan syara', begitu juga sekalian hukum karena tidak ada hukum sebelum syara', tidak hukum ushul'(pokok-pokok agama), tidak pula hukum furu' (cabang-cabang agama).

    Muktazilah berpendapat bahwa hukum-hukum itu semuanya tetap dengan akal. Karena itulah pengarang kitab Jam'ul Jawami' berkata: “Muktazilah menjadikan akal sebagai hakim” yakni akal dapat mencapai sekalian hukum meski syara' tidak pernah mendatangkannya. Menurut mereka syara' itu datang adalah untuk menguatkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh akal. Ini berarti mereka tidak menafikan syara' sama-sekali karena kalau demikian maka kafirlah mereka dengan pasti.

    Muktazilah mendasarkan pembicaraan mereka itu atas tahsin dan taqbih ( menganggap baik dan buruk ) yang keduanya ini dapat dicapai oleh akal. Maka yang baik menurut mereka adalah apa-apa yang dianggap baik oleh akal dan yang jelek adalah apa-apa yang dianggap jelek oleh akal. Apabila akal sudah mendapatkan bahwa satu perbuatan itu baik dengan sekira tercela orang yang meninggalkannya dan terpuji orang yang mengerjakannya maka dihukumkanlah perbuatan itu dengan wajib dan begitulah seterusnya.

    Sedangkan menurut Ahlus sunnah maka yang baik itu adalah apa-apa yang dipandang baik oleh syara' dan yang jelek adalah apa-apa yang dipandang jelek oleh syara'.

    Adapun menurut Maturidiyah; kewajiban makrifat itu adalah dengan akal. Kalau syara' tidak mendatangkannya maka akal-lah yang dapat mencapainya secara mandiri karena sudah terang dan jelasnya kewajiban seperti itu, bukan karena didasarkan atas tahsin aqli sebagaimana dikatakan oleh Muktazilah. Namun yang hak bahwa akal itu tidaklah dapat mencapai sesuatu secara mandiri.

    Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa terdapat tiga mazhab dalam hal tetapnya hukum:

1.   Mazhab Asya'iroh: Bahwa hukum-hukum itu semuanya tetap dengan syara', akan tetapi dengan syarat akal.

2.    Mazhab Maturidiyah: Bahwa kewajiban makrifat itu tetap dengan akal, bukan sekalian hukum.

3.    Mazhab Muktazilah: Bahwa hukum-hukum itu sekaliannya tetap dengan akal.

        Makrifat sama maknanya dengan ilmu yaitu: اَلْجَزْمُ الْمُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيْلٍ "Mantapnya keyakinan yang sesuai kebenaran serta berdasarkan dalil”.

    Kata-kata al-jazm (keyakinan yang mantap) mengecualikan zhon, syak dan waham. Zhon adalah satu keyakinan yang lebih kuat dibanding keraguannya. Syak adalah satu keyakinan yang sama kuat dengan keraguannya. Sedangkan waham adalah satu keyakinan yang lebih kecil dibanding keraguannya.

    Kata-kata “yang sesuai kebenaran” mengecualikan mantapnya keyakinan yang tidak sesuai dengan kebenaran seperti mantapnya keyakinan kaum Nashroni terhadap ajaran Trinitas.[18]

Kata-kata “berdasarkan dalil” mengecualikan mantapnya keyakinan yang sesuai kebenaran tapi tidak berdasarkan dalil karena yang demikian itu dinamakan dengan taklid.

Orang yang bersifat dengan zhon, syak dan waham pada akidah-akidah yang akan diterangkan nanti adalah kafir dengan ittifaq[19]. Adapun mereka yang bersifat dengan taklid dalam masalah-masalah akidah maka akan datang penjelasan tentang perbedaan pendapat yang ada di dalamnya.

Perkataan pengarang dengan: مَا قَدْ وَجَبَا artinya sekalian apa-apa yang wajib bagi Alloh. Akan tetapi mana di antaranya yang diterangkan secara tafshil (rinci) oleh dalil naqli dan aqli yakni 20 sifat yang nanti akan diterangkan maka wajiblah sekalian mukalaf untuk mengetahuinya secara tafshil pula. Dan mana di antaranya yang diterangkan secara ijmal (global) oleh dalil naqli dan aqli yakni segala macam sifat kesempurnaan maka wajiblah sekalian mukalaf untuk mengetahuinya secara ijmal pula. Seperti ini pula dikatakan pada yang mustahil.

Wajib adalah: مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ = “Sesuatu yang ketiadaannya tidak didapatkan pada akal”.

Wajib ada dua:

1.    Wajib Dhoruri seperti tahayyuz-nya jirim (benda) yakni mengambil bagian pada suatu tempat yang kosong.

2.    Wajib Nazhori seperti sifat-sifat Alloh.

Jaiz adalah: مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ تَارَةً وَعَدَمُهِ اُخْرٰى = "Sesuatu yang keberadaannya pada satu waktu dapat diterima akal dan pada waktu yang lain ketiadaannya pun dapat diterima akal”.

Jaiz ada dua:

1.    Jaiz Dhoruri[20] seperti bergeraknya jirim atau diamnya.

2.    Jaiz Nazhori[21] seperti mengazab orang yang taat meskipun dia tidak bermaksiat dan memberi pahala kepada pelaku maksiat meskipun dia kafir, karena pembicaraan di sini adalah tentang kemungkinan dari segi akal. Namun dari segi syara' hal yang demikian tidaklah mungkin terjadi.

    Sedangkan mumtani' maksudnya adalah mustahil. Para ulama mendefinisikannya dengan: مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ = “Sesuatu yang keberadaannya tidak didapatkan pada akal”.

    Mustahil ada dua:

1.   Mustahil Dhoruri seperti kosongnya jirim dari bergerak dan diam secara bersamaan.

2.    Mustahil Nazhori seperti adanya sekutu bagi Alloh Swt.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masing-masing dari bagian yang tiga itu terbagi kepada dhoruri dan nazhori sehingga semuanya menjadi enam.

    Sebagian ulama berkata bahwa ada kemungkinan meng-umpamakan bagian yang tiga itu dengan bergeraknya jirim dan diamnya. Maka yang wajib adalah salah satu dari keduanya. Yang mustahil adalah kosong dari kedua-duanya secara berbarengan. Dan yang jaiz adalah tetapnya salah satu dari keduanya sebagai ganti dari yang lainnya.

    Hukum-hukum ini sepantasnya mendapat perhatian karena Imam Haromain berkata bahwa mengetahui hukum-hukum tersebut adalah akal berdasarkan bahwa akal adalah ilmu tentang wajibnya segala yang wajib, jaiznya segala yang jaiz dan mustahilnya segala yang mustahil.

    Perkataan pengarang dengan: وَمِثْلُ ذَا لِرُسْلِهِ maksudnya: Dan wajib pula atas tiap-tiap mukalaf untuk mengetahui seumpama yang demikian (yakni wajib, mustahil, jaiz) bagi sekalian rosul-Nya. Pengarang mengisyaratkan dengan lafaz مِثْلُ (seumpama) kepada satu pemahaman bahwa yang wajib, mustahil dan jaiz pada sekalian rosul tidaklah sama dengan yang wajib, mustahil dan jaiz pada hak Alloh Swt.



[15]Berbeda halnya dengan Hanafiah dimana mereka berpendapat bahwa anak kecil yang berakal terkena taklif dengan iman karena adanya akal. Jika anak kecil itu meng-iktikadkan iman atau kafir maka perkaranya jelas namun jika dia tidak meng-iktikadkan salah satu dari keduanya maka jadilah dia penghuni neraka karena wajibnya iman atas dirinya dengan semata-mata akal.

[16]Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.

[17]Al-Isra' : 15.

[18]Tiga Tuhan yakni Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruhul Qudus.

[19]Kesepakatan ulama’.

[20]Suatu perkara yang tidak perlu banyak berfikir untuk memahaminya.

[21]Suatu perkara yang untuk memahaminya itu perlu pemikiran.