Tuesday, August 31, 2021

BAB JAMA’ & QOSHOR: REFRESING UNTUK MENGHILANGKAN RASA PENAT

★ SOAL: 

Bepergian yang memperbolehkan musafir untuk melakukan jama' atau mengqoshor sholat adalah, berpergian yang memiliki motif ghordlun shohih (tujuan yang positif) bukan maksiat. Apabila seseorang refresing bertujuan untuk menghilangkan rasa kepenatan diri, atau menghilangkan kesedihan hati, apakah ia tetap mendapatkan dispensasi untuk menjama' atau meng-qoshor sholat? 
 

JAWAB: 

 
Boleh, menurut pendapat Ibnu Hajar, karena refresing termasuk ghardlun shahih (tujuan yang positif). 
 

📚 REFERENSI: 

 
Kitab Hasiyah Al-Jamal (حَاشِيَةُ الْجَمَلِ) Juz 5 halaman 245: 
 
(قَوْلُهُ وَتَنَزُّهٌ) هُوَ إزَالَةُ الْكُدُرَاتِ الْبَشَرِيَّةِ، وَقَالَ شَيْخُنَا ح ف هُوَ رُؤْيَةُ مَا تَنْبَسِطُ بِهِ النَّفْسُ لِإِزَالَةِ هُمُوْمِ الدُّنْيَا
Artinya: 
Tanazzuh adalalah menghilangkan rasa kesedian atau kesusahan yang bersifat manusiawi. Dan guru kami Asy-Syamsu Muhammad bin Salim Al- Hafnawy berkata: “Tanazzuh adalah melihat sesuatu yang dapat menyenangkan hati karena hilangnya kesedihan-kesedihan dunia”. 
 
Kitab Nihayatul Muhtaj (نِهَايَةُ الْمُحْتَاجِ) Juz 6 halaman 362: 
 
(قَوْلُهُ: لِأَنَّهُ غَرَضٌ صَحِيْحٌ) هٰذَا صَرِيْحٌ فِيْ أَنَّ التَّنَزُّهَ بِذَاتِهِ غَرَضٌ صَحِيْحٌ وَإِنْ لَمْ يَقْتَرِنْ بِمَقْصُوْدٍ آخَرَ

Artinya: 

(Perkataan mushonnif: Karena sesungguhnya Tanazzuh [refresing] adalah bepergian yang memiliki motif positif) Dan ini sudah sangat jelah bahwa dzatiah tanazzuh [refresing itu sendiri] adalah ghorodl shohih [tujuan yang positif] meskipun tidak dibarengi dengan tujuan yang lain.

 

Kitab Hasyiyah Asy-Syarqowi (حَاشِيَةُ الشَّرْقَاوِيِّ) Juz 1 halaman 253: 

 

قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ وَلَا يَتَرَخَّصُ مَنْ سَافَرَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِغَرَضٍ صَحِيْحٍ

-----------

(قَوْلُهُ: قَالَ أَبُوْ مُحَمَّدٍ) أَيْ الْجُوَيْنِيِّ وَكَلَامُهُ مُعْتَمَدٌ إِذَا كَانَ الْحَامِلُ لَهُ عَلَى التَّنَقُّلِ مُجَرَّدُ الرُّؤْيَةِ أَمْ لَوْ كَانَ الْحَامِلُ لَهُ التَّنَزُّهُ لِإِزَالَةِ الْكَدُرَاتِ الْبَشَرِيَّةِ أَوِ الْأَمْرَاضِ فَيَتَرَخَّصُ لِأَنَّ ذٰلِكَ غَرَضٌ صَحِيْحٌ.

Artinya:

Abu Muhammad berkata: “Dan tidak [diperbolehkan] mengambil rukhshoh [menjama' atau mengqoshor sholat bagi] orang yang bepergian karena hanya untuk melihat bagunan-bangunan Negara, karena hal itu tidak termasuk ghorodl shohih (tujuan yang positif).

--------------

(Perkataan mushonnif: Abu Muhammad berkata) yakni [Abu Muhammad] Al-Juwaini. Pendapat Abu Muhammad Al-Juwaini diatas dapat dijadikan sebagai tendensi hukum, bila sesuatu yang mendorong terhadap musafir untuk berpindah (pergi) itu hanya ru'yatul bilad [melihat bangunan- bangunan Negara]. Atau, bila sesuatu yang mendorong musafir itu adalah tanazzuh (refresing) untuk menghilangkan kesedihan manusiawi, atau rasa penat [keletihan badan], maka ia boleh mengambil rukhshoh [menjama' atau mengqoshor sholat], karena refresing adalah tujuan yang positif.

 

Kitab Hasyiyah al-Bujairomi ‘alal Khotib (حَاشِيَةُ الْبُجَيْرَمِيِّ عَلَى الْخَطِيْبِ) Juz 5 Halaman 225:

 

وَمِنْهُ مَا لَوْ سَلَكَ لِغَرَضِ التِّجَارَةِ أَوْ التَّنَزُّهِ قَالَ م ر: لِأَنَّهُ غَرَضٌ صَحِيْحٌ انْضَمَّ لَهُ مَا ذُكِرَ، أَمَّا لَوْ كَانَ الْغَرَضُ التَّنَزُّهَ كَأَنْ كَانَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ فَلَا يَقْصُرُ اهـ. شَرْحُ م ر خِلَافًا لِابْنِ حَجَرٍ حَيْثُ فَرَّقَ بَيْنَ التَّنَزُّهِ وَرُؤْيَةِ الْبِلَادِ فَقَالَ: إنْ كَانَ الْغَرَضُ التَّنَزُّهَ جَازَ عَلَى الْأَوْجَهِ. قَالَ لِأَنَّهُ غَرَضٌ مَقْصُودٌ إذْ هُوَ إزَالَةُ الْكُدُوْرَةِ النَّفْسِيَّةِ بِرُؤْيَةِ مُسْتَحْسَنٍ يَغْسِلُهَا عَنْهَا، بِخِلَافِ مُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ ابْتِدَاءً أَوْ عِنْدَ الْعُدُوْلِ لِأَنَّهُ غَرَضٌ فَاسِدٌ وَلُزُوْمُ التَّنَزُّهِ لَهُ لَا نَظَرَ إلَيْهِ عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ مُطَّرِدٍ اهـ.

Artinya:  

Termasuk yang memperbolehkan meng-qoshor atau menjama' sholat adalah, jika musafir menempuh jalur karena motif berdagang atau refresing. Ar-Romli berpendapat, bahwa hal itu adalah tujuan positif yang terhimpun dengan hal (keterangan) diatas. Dan bila bertujuan tanzzuh (refresing) saja, semisal perjalanan tersebut bertujuan melihat bangunan-bangunan Negara, maka musafir tidak boleh mengqoshor sholat menurut imam Ar-Romli. Berbeda dengan pendapat Ibnu Hajar yang membedaan antara tanazzuh dan ru’yatil bilad, kemudian beliau berkata: “Apabila tujuannya itu refresing, maka musafir boleh mengqoshor sholat menurut qoul aujah, karena refresing adalah ghorod (tujuan) yang dimaksud. Sebab yang dinamakan refresing adalah menghilangkan rasa kesedihan hati dengan cara melihat sesuatu yang indah yang bisa menghilangkan kesedihan tersebut. Beda halnya dengan ru'yatul bilad, jika pada awal mulanya atau ketika berpindah itu bertujuan ru'yatul bilad (melihat bangunan-bangunan Negara), maka itu termasuk tujuan yang rusak (tidak benar), sedang tetapnya refresing pada musafir itu tidak menjadi pertimbangan, karena itu adalah tujuan yang tidak berlaku ".

Saturday, August 28, 2021

MENEMPUH PERJALANAN MASYAFATUL QOSHRI DALAM WAKTU SEKEJAB

 SOAL:

Salah satu hal yang sudah tidak unik lagi di telinga, (sebut saja mbah Amit), ia memiliki kelebihan bisa menempuh perjalanan satu mil, hanya dalam waktu relatif sangat singkat (ditempuh dalam waktu sekejab semisal). Perjalanan yang semacam ini, tentu tidak ada masyaqqoh dalam perjalanannya. Apakah mbah Amir tetap diperbolehkan mengqoshor sholat, mengingat jarak yang ditempuh sudah memenuhi syarat diperbolehkannya qoshor sholat?.

JAWAB:

Boleh.

REFERENSI:

Kitab Hasiyah Al-Baijuri (حَاشِيَةُ الْبَيْجُوْرِيِّ) juz I halaman 204:

وَلَوْ قَطَّعَ هٰذِهِ الْمَسَافَةَ فِيْ لَحْظَةٍ لِكَوْنِهِ مِنْ أَهْلِ الْخَطْوَةِ سَوَاءٌ قَطَّعَهَا فِيْ بَرٍّ أَوْ بَحْرٍ لَا يُقَالُ إِذَا قَطَّعَ الْمَسَافَةَ فِيْ لَحْظَةٍ لَا يَتَأَتّٰى الْقَصْرَ لِإِقَامَتِهِ بَعْدَ ذٰلِكَ لِأَنَّا نَقُوْلُ لَا يَلْزَمُ مَنْ قَطَّعَهُ الْمَسَافَةَ الْإِقَامَةَ الْقَاطِعَةَ لِلسَّفَرِ لِاحْتِمَالِ أَنْ يُقِيْمَ فِي الْمَقْصَدِ إِقَامَةً غَيْرَ قَاطِعَةٍ لِلسَّفَرِ فَيَتَأَتَّى الْقَصْرَ حِيْنَئِذٍ 

Artinya:

Andaikan seseorang menempuh perjalanan [sejauh 81 km keatas] ini dalam waktu sekejab, karena ia tergolong Ahlul Khuthwah (orang yang ahli melangkah secepat kilat), baik ia menempuhnya di daratan atau di lautan, maka tidak bisa dikatakan, "jika seseorang bisa menempuh perjalanan hanya dalam waktu sekejab, maka ia tidak diperbolehkan meng-qoshor sholatnya, karena setelah itu ia akan menjadi orang yang mukim". Sebab kami memiliki pandangan, belum tentu orang yang telah menempuh perjalanan, ia akan bermukim yang bisa memutus perjalanannya, karena ada kemungkinan ia akan bermukim di tempat tujuan dengan mukim yang tidak sampai memutus perjalanannya, jika demikian, maka si musafir tetap diperbolehkan meng-qoshor sholat".

MENYENTUH LAIN JENIS YANG BUKAN MAHROM-NYA

SOAL:
Apakah menyentuh lain jenis dapat membatalkan wudhu?

JAWAB:
Menurut pendapat Imam Syafi'i RA, menyentuh lain jenis yang bukan mahrom itu membatalkan wudhu, baik yang menyentuh ataupun orang yang disentuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji (اَلْفِقْهُ الْمَنْهَجِيُّ) juz 1 halaman 63:
 

لَمْسُ الرَّجُلِ زَوْجَتَهُ أَوِ الْمَرِأَةَ الْأَجْنَبِيَّةَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ فَإِنَّهُ يَنْتَقِضُ وُضُوْؤُهُ وَوُضُوْؤُهَا وَالْأَجْنَبِيَّةُ هِيَ كُلُّ امْرَأَةٍ يَحِلُّ لَهُ الزَّوَاجُ بِهَا
Artinya:
"Seorang laki-laki yang menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyyah (yang bukan mahromnya) tanpa penghalang maka wudhu' laki-laki dan perempuan itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi."

Pendapat ini didasarkan firman Alloh SWT:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضٰى أَوْ عَلٰى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْداً طَيِّباً (النساء: ٤٣)
Artinya:
"Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari buang air atau kamu menyentuh (mulamasah) perempuan lain (yang bukan mahramnya), kemudian kamu tidak menjumpai air, maka ber- tayammum-lah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS. An-Nisa': 43)

Dalam kitab al-Muwaththo' juz 2 halaman 65, disebutkan tentang penjelasan 'Abdulloh bin 'Umar RA mengenai apa yang dimaksud mulamasah dalam ayat tersebut:

عَنْ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ مِنَ الْمَلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوْءُ
Artinya:
Dari 'Abdulloh bin 'Umar, ia berkata: "Kecupan seorang suami kepada istrinya dan menyentuh dengan tangannya termasuk mulamasah. Maka siapa saja yang mengecup istrinya atau menyentuhnya, maka ia wajib melakukan wudhu."

Lalu, bagaimana dengan Hadits yang menjelaskan persentuhan Nabi SAW dengan sebagian istrinya padahal Nabi SAW dalam keadaan suci dari hadats kecil, seperti dalam Hadits 'Aisyah RA:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِيْ فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا (رواه البخاري)
Artinya:
Dari 'Aisyah RA istri Nabi SAW, sesungguhnya ia berkata, "Saya tidur di dekat Rasululloh SAW, sedangkan dua kakiku ada di depan Rosul SAW. Apabila akan sujud, Nabi SAW meraba kakiku (dengan tangannya), dan aku menarik kakiku. Dan setelah Nabi SAW berdiri aku bentangkan lagi kedua kakiku." (Shohih al-Bukhori, 369)

Maka hadits ini harus diartikan bahwa Nabi SAW ketika itu menggunakan penghalang, sehingga kulit beliau tidak bersentuhan langsung dengan kulit istrinya. Sebagaimana keterangan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' juz 2 halaman 22:

اَلْجَوَابُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ وُقُوْعِ يَدِهَا عَلٰى بَطْنِ قَدَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يَحْتَمِلُ فَوْقَ حَائِلٍ
Artinya:
"Jawaban atas Hadits 'Aisyah RA tentang menyentuhnya tangan beliau ke tumit Nabi SAW, maka hal itu boleh jadi menggunakan penghalang."

Di samping itu pula, Hadits 'Aisyah RA tersebut masih mengandung beberapa kemungkinan. Yakni ada kemungkinan Nabi SAW menyentuh menggunakan penghalang (kain atau yang semisalnya) atau tidak. Tidak ada kejelasan apakah Nabi SAW menyentuh kaki sayyidah 'Aisyah secara langsung atau dengan perantara. Karena itu hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudhu'. Sebagaimana kaidah yang dikemukakan oleh Imam Syafi'i RA dalam kitab Ghoyatul Wushul (غَايَةُ الْوُصُوْلِ) halaman 74:

وَقَائِعُ الْأَحْوَالِ إِذَا تَطَرَّقَ إِلَيْهَا الْإِحْتِمَالُ كَسَاهَا ثَوْبُ الْإِجْمَالِ وَسَقَطَ بِهَا الْإِسْتِدْلَالُ
Artinya:
"Beberapa kejadian yang masih menimbulkan berbagai kemungkinan, maka ia tercakup dalam dalil mujmal (global) dan tidak bisa dibuat dalil."

Dapat disimpulkan, sesuai dengan dalil-dalil yang telah diungkapkan di atas, menyentuh istri dapat membatalkan wudhu'.

PERJALANAN DITEMPUH DENGAN PESAWAT

SOAL:

Salah satu syarat diperbolehkannya menjama' atau meng-qoshor sholat adalah jarak perjalanan yang ditempuh telah mencapai masafatul qoshri. Yang menjadi pertayaan. Jika jarak masafatul qoshri ditempuh dengan pesawat, apakah musafir tetap diperbolehkan menjama' atau meng-qoshor sholat?

 

JAWAB: 

Ya tetap diperbolehkan, jika perjalanan tersebut bukan perjalanan maksiat.

 

REFERENSI:

Kitab Fiqhul ‘Ibadat Al-Syafi’iy (فِقْهُ الْعِبَادَاتِ الشَّافِعِيِّ) Juz 1 halaman 541:

 

وَسَفَرُ الْقَصْرِ: هُوَ السَّفَرُ الْمُبِيْحُ لِقَصْرِ الصَّلَاةِ وَهُوَ مَا كَانَ لِمَسَافَةٍ وَاحِدٌ وَثَمانُوْنَ كِيْلُوْ مِتْرًا فَمَا فَوْقَ وَلَا عِبْرَةَ لِوَسِيْلَةِ النَّقْلِ وَالْمُبَاحُ: مَا لَمْ يَكُنْ لِمَعْصِيَةٍ أَوْ بِمَعْصِيَةٍ

Artinya: Safarul qoshri adalah perjalanan yang memperbolehkan seseorang untuk meng-qoshor sholat. Yaitu perjalan yang jarak tempuhnya ada 81 km atau lebih. Dan tidaklah dipertimbangkan perantara yang dibuat berpindah (bepergian). Sedang yang dimaksud safar mubah disini adalah, bepergian yang bertujuan tidak karena kemaksiatan, atau dengan maksiat. 

 ➋ Kitab Rowai’ul Bayan (رَوَائِعُ الْبَيَانِ) Juz 1 halaman 188:

 

وَهٰذَا كُلُّهُ إِذَا كَانَ السَّفَرُ عَلَى الدَّوَابِ أَوِ الْبَعِيْرِ وَأَمَّا إِذَا كَانَ السَّفَرُ بِالطَّائِرَةِ أَوْ بِالسَّيَّارَةِ كَمَا فِيْ زَمَنِنَا فَإِنَّ الْمَسَافَةَ إِذَا كَانَتْ أَكْثَرُ مِنْ ثَمَانِيْنَ كِيْلُوْ مِتْرًا يَحِقُّ لَهُ الْإِفْطَارُ وَقَصْرُ الصَّلَاةِ فَهٰذِهِ الْمَسَافَةُ هِيَ السَّفَرُ الشَّرْعِيُّ

Artinya: Ini bila semua perjalan tersebut ditempuh dengan kuda atau unta. Dan bila perjalan itu ditempuh dengan pesawat atau mobil, seperti pada masa sekarang, maka hukumnya diperinci. Jika jarak perjalanan itu melebihi dari 80 km, maka musafir berhak (boleh) tidak berpuasa dan boleh meng-qoshor sholat, karena perjalanan tersebut adalah perjalanan yang sebangsa syar'i.

Thursday, August 19, 2021

KAIDAH FIQIH: SEGALANYA BERGANTUNG PADA NIAT

اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

Segala sesuatu tergantung tujuannya

    Dalam tataran filosofis, berpikir dan merasa dinilai sebagai sebuah kodrat alamiah yang dimiliki manusia. Pikiran dan perasaan akan menopang manusia untuk melakukan suatu laku-perbuatan agar lebih bermakna. Dengan pikirannya, manusia berusaha untuk membangun tujuan hidup dan idealismenya. Dengan tujuan dan idealisme itulah manusia bisa memaknai hidup melalui jalur fitrahnya secara berkualitas. Tanpa sebuah tujuan, maka nilai perbuatan yang dilakukan manusia menjadi absurd tanpa makna. Misalkan saja, aktivitas makan yang pada awalnya hanya ditujukan untuk memenuhi nafsu makan, atau menghilangkan rasa lapar, akan lebih bermakna jika dimaksudkan sebagai sarana ibadah kepada Alloh swt. Minum segelas air putih yang umumnya dilakukan untuk menghilangkan rasa haus, tentu akan lebih bernilai bila dimaksudkan untuk menjalankan sunah Nabi saw. berupa anjuran minum air putih saat berbuka puasa. 
  
    Dalam tataran realitas kita pun mengakui bahwa setiap perbuatan yang kita kerjakan pasti didasari motivasi ataupun tujuan tertentu. Jika tidak ada tujuan, maka perbuatan itu pastilah bersifat spekulatif. Kita makan karena ingin kenyang, minum untuk mengobati haus, tidur untuk mengistirahatkan badan, ibadah untuk mendekatkan diri pada Tuhan, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa niat mempunyai posisi sangat penting (krusial). Dianggap krusial karena ia menentukan segala gerak-langkah dan konstruksi pekerjaan yang kita lakukan, yang berkonsekuensi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak? beretika atau tidak? termasuk ibadah atau tidak? berpahala atau hambar tak bermakna? Tepat pada titik inilah kaidah 'al-umur bi al-maqdshid' ini amat penting dipahami. 
     
Dalam kaidah pertama ini dijelaskan beragam hal yang berkaitan dengan niat, baik tentang apa hakikat niat, kenapa harus berniat, kapan harus dilakukan, apa saja yang harus diniati, bagaimana caranya, dan masih banyak pertanyaan lainnya. Dengan mengetahui semua itu, maka kita akan memaknai hidup kita menjadi lebih berkualitas, baik di dunia maupun di akhirat. Dan hal ini akan tercapai bila kita mau mengkaji paparan berikut secara tuntas. Insyaa Alloh.
 
DASAR KAIDAH  
1. Al-Quran 
    Mengenai keharusan melakukan niat dalam ibadah, Alloh swt. menyatakan dalam al-Quran surat al-Bayyinah [98] ayat 5:
 
وَمَآ أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ  
"Mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Alloh, seraya memurnikan-ikhlas dalam beragama (ibadah). " 
 
    Kata al-din dalam bahasa Arab, secara umum biasa diartikan sebagai agama. Namun dalam konteks ayat di atas, al-Qurthubi menafsirinya sebagai ibadah. Dengan penafsiran ini, beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin,adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan yang tak bisa dipisahkan antara ibadah dan niat. Berniat merupakan hal yang wajib; seperti diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. 
 
    Apabila diamati secara seksama, dalam ayat ini terdapat rajutan yang sangat kuat antara ibadah, niat, ikhlas, dan pengesaan kepada Alloh swt. Bagaimana mungkin seseorang yang atheis, misalnya, akan punya niat untuk beribadah. Paling banter ia hanya bertindak dengan orientasi materialisme (kebendaan) yang ada dalam benaknya. Sama sekali tidak ada dimensi ikhlas dalam hatinya. Jangankan ikhlas, niat yang seharusnya menjadi pijakan dan tolok ukur awal dalam berbuat, sama sekali tidak diindahkan olehnya. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara pribadi mukmin dan jiwa seorang atheis. Niat, ibadah, ikhlas, dan peng-esa-an pada Yang Maha Kuasa adalah proses berkelanjutan yang selalu terkait satu sama lain, dan mampu menunjukkan perbedaan jati diri pada kedua entitas itu. 
 
    Sedangkan ikhlas, sebuah fase paling akhir dan penting, adalah ketaatan yang sama sekali bukan karena alasan-alasan yang bersifat duniawi (material), melainkan semata-mata hanya untuk mengharap ridlo Alloh swt. Dengan pendekatan diri pada Alloh swt. seorang mukmin dengan sendirinya akan terbedakan dengan seseorang yang tak beragama. Namun dia tidak boleh berhenti dalam titik ibadah yang hampa. Ia harus melalui lagi tahap yang maha berat dan transe-dental (ukhrawi). Dalam beribadah, ia harus melakukannya tanpa 'embel-embel' apapun selain mencari ridlo-Nya. Ikhlas akan sangat menentukan bernilai atau tidaknya satu konstruk ibadah, di samping akan berimplikasi pada kebaikan dunia dan akhirat. Pembahasan mengenai niat, ibadah, ikhlas, dan hal-hal yang bersinggungan dengan-nya, merupakan pesan terdalam ayat di atas, sehingga dari sinilah terbangun kaidah al-umur bi maqashidiha.
 

2.   Al-Hadits

Hadits Nabi saw. yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Keabsahan amal-amal tergantung pada niat"

Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi "tiada" dengan tanpa adanya niat. Karena jika hadits ini diterjemahkan seadanya; tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti "sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat". Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa "ada" tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad Yasin al-Fadani, maksud hadits di atas adalah penilaian terhadap predikat sebuah pekerjaan yang terkait erat dengan keberadaan atau eksistensinya; seperti sah atau sempurna. Dengan adanya penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat tergantung pada niat pelakunya. Inilah makna hadits yang benar menurut Syaikh Yasin.

Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan pendapat antar ulama seputar penafsiran substansi hadits di atas. Sementara ulama yang diwakili kalangan Syafi'iyyah, menjelaskan bahwa titik penekanan hadits ini hanya berkisar tentang "keabsahan" sebuah pekerjaan. Dengan demikian, jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan itu tidak akan mendapat pengabsahan (legalitas) dari syariat.

Lain lagi dengan golongan Hanafiyyah yang menafsirinya dengan makna "kesempurnaan pekerjaan". Dengan demikian bahwa kesempurnaan sebuah perbuatan menurut mereka tergantung pada niatnya. Dari penafsiran Hanafiyyah ini, kemudian akan dapat dipahami bahwa pekerjaan yang tidak diniati tetap sah sekalipun tidak dikatakan sempurna.

Dalam menakar derajat kekuatan dua pendapat ini, Ibnu Hajar al-Haytami menyatakan, bahwa apa yang telah dikemukakan Syafi'iyyah lebih unggul (awla). Karena pendapat Syafi'iyyah yang mengartikan "Innama al-a'mal" dengan 'terjemah' keabsahan sebuah perbuatan, lebih mendekati makna hakiki dibanding muatan makna majazi yang telah diungkapkan oleh Hanafiyyah. Apalagi dalam gramatika Arab ditegaskan, bahwa suatu kata yang bermakna mutlak (belum difokuskan pada makna hakiki atau makna kiasan) akan lebih 'mudah' dipahami bila diarahkan pada makna hakikinya.

Meski demikian, perbedaan antara Syafi'iyyah dan Hanafiyyah, sebenarnya tidak begitu tajam. Dibuktikan, dalam beberapa persoalan, Hanafiyyah tetap sepakat dengan Syafi'iyyah, bahwa ibadah yang berdiri sendiri (mustaqillah) seperti sholat, tetap harus diniati. Lain halnya dengan ibadah yang tidak 'menyendiri', dalam arti masih ada 'ketergantungan' pada ibadah yang lain, seperti wudlu, atau ibadah yang menjadi sarana bagi ibadah lain seperti tayamum; menurut Hanafiyyah tidak membutuhkan niat.

Disamping perbedaan di atas, ternyata masih ada ulama yang memiliki pandangan lain. Ulama muta'akhkhirin madzhab Hanbali misalnya, mengemukakan bahwa yang dimaksud amal perbuatan dalam hadits di atas hanyalah amal-amal syar'i; yakni setiap perbuatan yang dilakukan dalam konstruksi hukum-hukum syariat. Dengan demikian, menurut mereka, amal syar'i akan dianggap sah, diperhitungkan, atau diterima bila telah melalui perantara niat. Dengan pemahaman semacam itu, pendapat yang terakhir ini sebenarnya memiliki pemahaman yang hampir senafas dengan kalangan Syafi'iyyah. Perbedaannya, pendapat muta'akhkhirin madzhab Hambali ini mem-punyai konsekuensi bahwa perbuatan yang tidak membutuhkan niat— seperti makan, minum, mengembalikan barang pinjaman, dan lain sebagainya —sama sekali tidak diharuskan (baca: dianjurkan) untuk diniati.

Di lain pihak, ada pula ulama yang berpendapat bahwa kata "a'mal" dalam hadits itu harus dimaknai sebagai: semua perbuatan; secara umum, tanpa dibatasi hanya pada perbuatan-perbuatan syari saja. Pendapat ini merupakan penjelasan Imam Ibnu Hanbal (780 —855M). Dengan pandangan semacam itu, Ibnu Hanbal mengarahkan agar setiap orang yang melakukan aktifitas ritual, baik berupa shalat, puasa, atau beragam amal kebajikan lainnya, agar mendahulukan niat sebelum melakukan pekerjaan dimaksud. Menurut penafsiran Ibnu Hanbal ini, yang dimaksud "a'mal" dalam hadits tersebut adalah seluruh perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia (a'mal al-ikhtiyariyyah). Dan bahwa pekerjaan itu tidak akan terlaksana tanpa adanya kesengajaan dari pihak pelaku. Sedangkan redaksi kedua yang berbunyi: wa innama li kulli imri'in ma nawa, masih menurut pendapat ini, merupakan penjelasan dari perbuatan syar'i tersebut, dimana terkandung di dalamnya muatan pesan bahwa "buah" yang akan didapatkan seseorang amat tergantung dari niatnya. Jika niatnya baik maka perbuatannya akan ikut baik dan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika niatnya jelek maka akan berimbas pada per­buatan yang ikut menjadi jelek dan sekaligus mendapatkan dosa.

Di luar perbedaan penafsiran yang telah disebutkan di muka, kita juga akan menemui sedikit kejanggalan berkaitan dengan makna literal (lafzhi) hadits ini. Dalam bahasa Arab, kata al-a'mal biasanya bermakna segala aktivitas yang dilakukan oleh anggota tubuh, seperti halnya wudlu atau sholat, dan tidak memasukkan pekerjaan hati (afal al-qalb). Masalahnya jika perbuatan hati dimasukkan dalam kategori a'mal — yang mengharuskan untuk diniati lagi-, maka akan menimbulkan mata rantai pekerjaan yang tak berujung (tasalsul). Dengan demikian, berarti niat itu sendiri harus diniati lagi, demikian seterusnya. Untuk menghindari proses yang tanpa batas inilah, akhirnya perbuatan hati (baca: niat) sendiri tidak perlu lagi untuk diniati (lagi).

Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak dijadikan bahan pijakan membangun kaidah "al-umur bi maqashidiha" ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama yang berfungsi sebagai media "pembatas" rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr). Artinya, ketika kata al-a'mal bi al- niyyat didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niat lah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.

Hal-Hal Yang Berhubungan dengan Niat

Secara garis besar, hal-hal yang berhubungan dengan niat ada delapan macam, yaitu;

1.    Substansi niat.

2.    Status niat.

3.    Tempat niat.

4.    Waktu niat.

5.    Hal-hal yang membatalkannya.

6.    Tata cara berniat.

7.    Syarat-syaratnya.

8.    Tujuan pelaksanaannya.