Thursday, August 19, 2021

KAIDAH FIQIH: SEGALANYA BERGANTUNG PADA NIAT

اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

Segala sesuatu tergantung tujuannya

    Dalam tataran filosofis, berpikir dan merasa dinilai sebagai sebuah kodrat alamiah yang dimiliki manusia. Pikiran dan perasaan akan menopang manusia untuk melakukan suatu laku-perbuatan agar lebih bermakna. Dengan pikirannya, manusia berusaha untuk membangun tujuan hidup dan idealismenya. Dengan tujuan dan idealisme itulah manusia bisa memaknai hidup melalui jalur fitrahnya secara berkualitas. Tanpa sebuah tujuan, maka nilai perbuatan yang dilakukan manusia menjadi absurd tanpa makna. Misalkan saja, aktivitas makan yang pada awalnya hanya ditujukan untuk memenuhi nafsu makan, atau menghilangkan rasa lapar, akan lebih bermakna jika dimaksudkan sebagai sarana ibadah kepada Alloh swt. Minum segelas air putih yang umumnya dilakukan untuk menghilangkan rasa haus, tentu akan lebih bernilai bila dimaksudkan untuk menjalankan sunah Nabi saw. berupa anjuran minum air putih saat berbuka puasa. 
  
    Dalam tataran realitas kita pun mengakui bahwa setiap perbuatan yang kita kerjakan pasti didasari motivasi ataupun tujuan tertentu. Jika tidak ada tujuan, maka perbuatan itu pastilah bersifat spekulatif. Kita makan karena ingin kenyang, minum untuk mengobati haus, tidur untuk mengistirahatkan badan, ibadah untuk mendekatkan diri pada Tuhan, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa niat mempunyai posisi sangat penting (krusial). Dianggap krusial karena ia menentukan segala gerak-langkah dan konstruksi pekerjaan yang kita lakukan, yang berkonsekuensi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak? beretika atau tidak? termasuk ibadah atau tidak? berpahala atau hambar tak bermakna? Tepat pada titik inilah kaidah 'al-umur bi al-maqdshid' ini amat penting dipahami. 
     
Dalam kaidah pertama ini dijelaskan beragam hal yang berkaitan dengan niat, baik tentang apa hakikat niat, kenapa harus berniat, kapan harus dilakukan, apa saja yang harus diniati, bagaimana caranya, dan masih banyak pertanyaan lainnya. Dengan mengetahui semua itu, maka kita akan memaknai hidup kita menjadi lebih berkualitas, baik di dunia maupun di akhirat. Dan hal ini akan tercapai bila kita mau mengkaji paparan berikut secara tuntas. Insyaa Alloh.
 
DASAR KAIDAH  
1. Al-Quran 
    Mengenai keharusan melakukan niat dalam ibadah, Alloh swt. menyatakan dalam al-Quran surat al-Bayyinah [98] ayat 5:
 
وَمَآ أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ  
"Mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Alloh, seraya memurnikan-ikhlas dalam beragama (ibadah). " 
 
    Kata al-din dalam bahasa Arab, secara umum biasa diartikan sebagai agama. Namun dalam konteks ayat di atas, al-Qurthubi menafsirinya sebagai ibadah. Dengan penafsiran ini, beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin,adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan yang tak bisa dipisahkan antara ibadah dan niat. Berniat merupakan hal yang wajib; seperti diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. 
 
    Apabila diamati secara seksama, dalam ayat ini terdapat rajutan yang sangat kuat antara ibadah, niat, ikhlas, dan pengesaan kepada Alloh swt. Bagaimana mungkin seseorang yang atheis, misalnya, akan punya niat untuk beribadah. Paling banter ia hanya bertindak dengan orientasi materialisme (kebendaan) yang ada dalam benaknya. Sama sekali tidak ada dimensi ikhlas dalam hatinya. Jangankan ikhlas, niat yang seharusnya menjadi pijakan dan tolok ukur awal dalam berbuat, sama sekali tidak diindahkan olehnya. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara pribadi mukmin dan jiwa seorang atheis. Niat, ibadah, ikhlas, dan peng-esa-an pada Yang Maha Kuasa adalah proses berkelanjutan yang selalu terkait satu sama lain, dan mampu menunjukkan perbedaan jati diri pada kedua entitas itu. 
 
    Sedangkan ikhlas, sebuah fase paling akhir dan penting, adalah ketaatan yang sama sekali bukan karena alasan-alasan yang bersifat duniawi (material), melainkan semata-mata hanya untuk mengharap ridlo Alloh swt. Dengan pendekatan diri pada Alloh swt. seorang mukmin dengan sendirinya akan terbedakan dengan seseorang yang tak beragama. Namun dia tidak boleh berhenti dalam titik ibadah yang hampa. Ia harus melalui lagi tahap yang maha berat dan transe-dental (ukhrawi). Dalam beribadah, ia harus melakukannya tanpa 'embel-embel' apapun selain mencari ridlo-Nya. Ikhlas akan sangat menentukan bernilai atau tidaknya satu konstruk ibadah, di samping akan berimplikasi pada kebaikan dunia dan akhirat. Pembahasan mengenai niat, ibadah, ikhlas, dan hal-hal yang bersinggungan dengan-nya, merupakan pesan terdalam ayat di atas, sehingga dari sinilah terbangun kaidah al-umur bi maqashidiha.
 

2.   Al-Hadits

Hadits Nabi saw. yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Keabsahan amal-amal tergantung pada niat"

Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi "tiada" dengan tanpa adanya niat. Karena jika hadits ini diterjemahkan seadanya; tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti "sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat". Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa "ada" tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad Yasin al-Fadani, maksud hadits di atas adalah penilaian terhadap predikat sebuah pekerjaan yang terkait erat dengan keberadaan atau eksistensinya; seperti sah atau sempurna. Dengan adanya penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat tergantung pada niat pelakunya. Inilah makna hadits yang benar menurut Syaikh Yasin.

Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan pendapat antar ulama seputar penafsiran substansi hadits di atas. Sementara ulama yang diwakili kalangan Syafi'iyyah, menjelaskan bahwa titik penekanan hadits ini hanya berkisar tentang "keabsahan" sebuah pekerjaan. Dengan demikian, jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan itu tidak akan mendapat pengabsahan (legalitas) dari syariat.

Lain lagi dengan golongan Hanafiyyah yang menafsirinya dengan makna "kesempurnaan pekerjaan". Dengan demikian bahwa kesempurnaan sebuah perbuatan menurut mereka tergantung pada niatnya. Dari penafsiran Hanafiyyah ini, kemudian akan dapat dipahami bahwa pekerjaan yang tidak diniati tetap sah sekalipun tidak dikatakan sempurna.

Dalam menakar derajat kekuatan dua pendapat ini, Ibnu Hajar al-Haytami menyatakan, bahwa apa yang telah dikemukakan Syafi'iyyah lebih unggul (awla). Karena pendapat Syafi'iyyah yang mengartikan "Innama al-a'mal" dengan 'terjemah' keabsahan sebuah perbuatan, lebih mendekati makna hakiki dibanding muatan makna majazi yang telah diungkapkan oleh Hanafiyyah. Apalagi dalam gramatika Arab ditegaskan, bahwa suatu kata yang bermakna mutlak (belum difokuskan pada makna hakiki atau makna kiasan) akan lebih 'mudah' dipahami bila diarahkan pada makna hakikinya.

Meski demikian, perbedaan antara Syafi'iyyah dan Hanafiyyah, sebenarnya tidak begitu tajam. Dibuktikan, dalam beberapa persoalan, Hanafiyyah tetap sepakat dengan Syafi'iyyah, bahwa ibadah yang berdiri sendiri (mustaqillah) seperti sholat, tetap harus diniati. Lain halnya dengan ibadah yang tidak 'menyendiri', dalam arti masih ada 'ketergantungan' pada ibadah yang lain, seperti wudlu, atau ibadah yang menjadi sarana bagi ibadah lain seperti tayamum; menurut Hanafiyyah tidak membutuhkan niat.

Disamping perbedaan di atas, ternyata masih ada ulama yang memiliki pandangan lain. Ulama muta'akhkhirin madzhab Hanbali misalnya, mengemukakan bahwa yang dimaksud amal perbuatan dalam hadits di atas hanyalah amal-amal syar'i; yakni setiap perbuatan yang dilakukan dalam konstruksi hukum-hukum syariat. Dengan demikian, menurut mereka, amal syar'i akan dianggap sah, diperhitungkan, atau diterima bila telah melalui perantara niat. Dengan pemahaman semacam itu, pendapat yang terakhir ini sebenarnya memiliki pemahaman yang hampir senafas dengan kalangan Syafi'iyyah. Perbedaannya, pendapat muta'akhkhirin madzhab Hambali ini mem-punyai konsekuensi bahwa perbuatan yang tidak membutuhkan niat— seperti makan, minum, mengembalikan barang pinjaman, dan lain sebagainya —sama sekali tidak diharuskan (baca: dianjurkan) untuk diniati.

Di lain pihak, ada pula ulama yang berpendapat bahwa kata "a'mal" dalam hadits itu harus dimaknai sebagai: semua perbuatan; secara umum, tanpa dibatasi hanya pada perbuatan-perbuatan syari saja. Pendapat ini merupakan penjelasan Imam Ibnu Hanbal (780 —855M). Dengan pandangan semacam itu, Ibnu Hanbal mengarahkan agar setiap orang yang melakukan aktifitas ritual, baik berupa shalat, puasa, atau beragam amal kebajikan lainnya, agar mendahulukan niat sebelum melakukan pekerjaan dimaksud. Menurut penafsiran Ibnu Hanbal ini, yang dimaksud "a'mal" dalam hadits tersebut adalah seluruh perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia (a'mal al-ikhtiyariyyah). Dan bahwa pekerjaan itu tidak akan terlaksana tanpa adanya kesengajaan dari pihak pelaku. Sedangkan redaksi kedua yang berbunyi: wa innama li kulli imri'in ma nawa, masih menurut pendapat ini, merupakan penjelasan dari perbuatan syar'i tersebut, dimana terkandung di dalamnya muatan pesan bahwa "buah" yang akan didapatkan seseorang amat tergantung dari niatnya. Jika niatnya baik maka perbuatannya akan ikut baik dan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika niatnya jelek maka akan berimbas pada per­buatan yang ikut menjadi jelek dan sekaligus mendapatkan dosa.

Di luar perbedaan penafsiran yang telah disebutkan di muka, kita juga akan menemui sedikit kejanggalan berkaitan dengan makna literal (lafzhi) hadits ini. Dalam bahasa Arab, kata al-a'mal biasanya bermakna segala aktivitas yang dilakukan oleh anggota tubuh, seperti halnya wudlu atau sholat, dan tidak memasukkan pekerjaan hati (afal al-qalb). Masalahnya jika perbuatan hati dimasukkan dalam kategori a'mal — yang mengharuskan untuk diniati lagi-, maka akan menimbulkan mata rantai pekerjaan yang tak berujung (tasalsul). Dengan demikian, berarti niat itu sendiri harus diniati lagi, demikian seterusnya. Untuk menghindari proses yang tanpa batas inilah, akhirnya perbuatan hati (baca: niat) sendiri tidak perlu lagi untuk diniati (lagi).

Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak dijadikan bahan pijakan membangun kaidah "al-umur bi maqashidiha" ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama yang berfungsi sebagai media "pembatas" rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr). Artinya, ketika kata al-a'mal bi al- niyyat didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niat lah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.

Hal-Hal Yang Berhubungan dengan Niat

Secara garis besar, hal-hal yang berhubungan dengan niat ada delapan macam, yaitu;

1.    Substansi niat.

2.    Status niat.

3.    Tempat niat.

4.    Waktu niat.

5.    Hal-hal yang membatalkannya.

6.    Tata cara berniat.

7.    Syarat-syaratnya.

8.    Tujuan pelaksanaannya.

 

No comments:

Post a Comment

Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.