Friday, December 13, 2019

PENGERTIAN JADZAB DAN MAJDZUB



بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى قُطْبِ السَّالِكِيْنَ وَالْمَجْذُوْبِيْنَ سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَرْبَابِ الْأَحْوَالِ الْعَاشِقِيْنَ أَمَّا بَعْدُ:

Jadzab menurut bahasa berasal dari fi'il maadli: جَذَبَ-يَجْذِبُ–جَذْبًا yang berarti “menarik”.
Sedangkan al-Majdzub/اَلْمَجْذُوْبُ adalah bentuk Isim maf'ulnya yang berarti “Orang yang ditarik”.
Jadzab menurut istilah tasawuf ialah: Penarikan langsung dari Alloh Swt terhadap para hamba yang dikehendakinya, untuk dikenalkan kepada kesempurnaan dzatnya, sifat-sifatnya, asma-asmarnya dan atsar-atsarnya.
Dengan dzauq yang dikaruniakan Alloh atas hamba-hambanya yang mengalami jadzab ini, mereka bisa menyaksikan kesempurnaan dzatnya secara nyata.
Kemudian setelah itu mereka baru bisa memahami keterkaitan sifat-sifat Alloh atas kesempurnaan dzat-Nya yang maha segala-galanya.
Kemudian mereka baru dikenalkan kepada makhluk-makhluk Alloh, yang tak lain adalah atsar dari keagungan dan kesempurnaan dzat-Nya semata. Maka tak heran, jika para wali yang mengalami jadzab ini sering kali mengatakan: "Aku tidak melihat sesuatu, melainkan aku telah melihat Alloh terlebih dahulu".
Yang pertama kali dikenal oleh wali-wali jadzab ini adalah hakekat dzat Alloh yang maha suci. Kemudian setelah itu baru sifat-sifat-Nya, kemudian
menyaksikan keterkaitan asma-asma Alloh dengan atsar-atsar-Nya (makhluk-makhluknya), kemudian baru dikenalkan terhadap keberadaan para makhluk.
Keadaan orang yang jadzab ini merupakan kebalikan dari orang-orang yang suluk (Saalikin). Karena yang pertama kali di saksikan oleh orang yang suluk bukanlah dzat Alloh, namun Atsar Alloh (para makhluk), kemudian tajalli af'al (penampakan atas perbuatan-perbuatan Alloh), kemudian tajalli asma (penampakan asma-asma Alloh), kemudian tajalli sifat (penampakan sifat-sifat Alloh), kemudian baru tajalli dzat (penampakan atas kesempurnaan dzat Alloh).
Ketauhilah sesungguhnya jadzab itu manakala tidak dilalui dengan jalan suluk yang lurus, maka jadzab semacam ini tidak lebih dari tingkah-polah orang gila belaka. Paling-paling yang didapat hanyalah kebebasan dari siksa dan tuntutan-tuntutan Syara' yang dibebankan atas orang-orang mukallaf (karena termasuk dalam kategori orang gila). Karena sesungguhnya orang yang jadzab ini tidak termasuk golongan orang-orang mukallaf sebagaimana di terangkan di dalam kitab al-Mathoolib al-Wafiyyah.
Demikian pula orang yang suluk di jalan Alloh dengan mengikuti perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya, tanpa dikaruniai jadzab (penarikan), maka tidaklah banyak berarti, melainkan hanya menjadikannya sebagai ahli ibadah dan orang yang ahli ilmu dhohir belaka.
Masyarakat menganggapnya sebagai orang yang punya kedudukan, karena menguasai ilmu syari'at dan ahli ibadah, namun sebenarnya di hadapan Alloh tidak memiliki kedudukan apapun, karena sama sekali tidak mengenali Alloh, baik keagungan dzat-Nya, Sifat-Nya maupun Af'aal-Nya.
Adapun yang tergolong kekasih Alloh yang khusus dan teramat Istimewa tak lain hanyalah orang yang suluk di jalan Alloh, kemudian mengalami jadzab, kemudian kembali suluk di jalan Alloh.
Sesungguhnya hukum-hukum Syari'at itu manakala diamalkan dengan sepenuh hati, maka akan membawa seseorang menuju haal jadzab (penarikan ke hadhirat ilaahi) secaraperlahan, namun pasti.
Sedangkan amal yang tidak sesuai ketentuan Syara' itu akan jauh sekali dari haal jadzab, karena sesungguhnya amal bidh'ah itu di tolak oleh Alloh dan sama sekali tidak membawa atsar ruhaniah apapun terhadap qalbunya. Amal-amal bidh'ah itu buruk sekali akibatnya, terlebih perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar syari'at.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an, Hadits-hadits Nabi Saw, Siirah para Sahabat, Taabi'in dan para Auliya' yang menerangkan perihal jadzab ini. Antara lain firman Alloh:

فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًا
"Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan". (QS. al-A'rof : 143)

Alloh juga berfirman:

اَللّٰهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ إِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ
"Alloh Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa, lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Alloh". (QS. az-Zumar : 23)

Rosululloh Saw bersabda:

أَقِيْلُوْا ذَوِى الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا الْحُدُوْدَ
"Ampunilah kesalahan orang-orang yang bertingkah (nyleneh) itu, kecuali dalam masalah Hudûd".

Asy-Syafi'i menafsiri Dzawil Hai’aat ini dengan tafsiran: Orang-orang yang secara tidak sadar melakukan keburukan karena tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Suatu ketika ditanyakan kepada Ibnu Suraij, perihal Husain Al-Halaj yang sering berkata: "Ana Al-Haq" (aku ini yang maha haqq).
Beliau menjawab: "Al-Halaj ini laki-laki penuh misteri, aku tidak berani mengomentarinya". Ibnu Suraij memilih diam dan menahan diri.
Sementara itu Al-Qodli Abu Amr, Al-Junaid dan para Fuqoha' yang sezaman dengan al-Halaj, memberikan fatwa : "Bahwa al-Hallaj ini telah melakukan kekufuran".
Kemudian Khalifah Al-Muqtadir memerintahkan untuk menghukum al-Hallaj dengan seribu kali cambukan, dan jika setelah itu belum mati, supaya dipotong saja kedua tangan dan kakinya serta di pancung lehernya. Peristiwa tragis ini terjadi pada bulan Dzulhijjah sekitar tahun 309 H.
Umat islam pun berbeda pendapat dalam menyikapi Al-Hallaj. Sebagian sangat mengkultuskannya, sementara itu banyak juga yang menghukumi "kafir", dengan alasan Al-Hallaj di bunuh dengan pedang syar'i.
Termasuk di antaranya Ibnu Al-Muqri yang menghukumi kafir terhadap orang-orang yang meragukan kekufuran Ibnu Al-Arabi dan orang yang sepaham dengannya.
Dengan dalih apa yang sering mereka katakan itu (menurut lahiriahnya) merupakan paham "Manunggaling kawula Gusti".
Demikian itu sebenarnya hanya menurut pemahaman mereka saja. Karena sesungguhnya Ibnu Al-Arabi dan para pengikutnya itu mempunyai istilah-istilah tersendiri yang tidak sama dengan kebanyakan istilah ulama dhohir.
Berkata Syaikh Ahmad bin Shidiq di dalam kitab Tanwirul hijaa: "Hendaknya urusan orang-orang jadzab ini di serahkan saja kepada Alloh Swt, namun di dalam hati, kita harus tetap mengingkari perbuatan-perbuatannya yang tidak sesuai Syari'at. Karena sesungguhnya kita semua berkewajiban menjaga syari'at Alloh di muka bumi ini sebisa mungkin.
Syeikh Ibnu Tilmisani berkata: "Janganlah engkau mencela orang yang sedang dimabuk cinta, karena sesungguhnya orang yang mabuk itu bebas dari tuntutan syara'".
Berkata Syeikh Muhammad Husain Ali Al-Maliki: “Mereka (orang-orang jadzab) itu melakukan maksiat karena tidak bisa menghindar, sebagaimana orang yang terpelanting dari tempat yang tinggi".

TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.42



يَا ابْنَ آدَمَ إِنْ رَضِيْتَ بِمَا قَسَمْتُهُ لَكَ أَرَحْتُ بَدَنَكَ وَقَلْبَكَ وَإِنْ لَمْ تَرْضَ بِمَا قَسَمْتُهُ لَكَ سَلَّطْتُ عَلَيْكَ الدُّنْيَا حَتّٰى تَرْكُضُ فِيْهَا كَرَكْضِ الْوَحْشِ فِي الْبَرِيَّةِ أَيِ الصَّحْرَاءِ
Hai anak Adam, jika engkau ridho dengan apa yang telah Aku bagikan untukmu, maka Aku membuat nyaman tubuhmu dan hatimu. Dan jika engkau tidak ridho dengan apa yang telah Aku bagikan untukmu, niscaya Aku kuasakan keduniawian atas dirimu, hingga engkau akan berpacu dalam hal keduniawian, seperti berpacunya hewan liar di daratan, yakni tanah lapang (sahara).

وَعِزَّتِيْ وَجَلَالِيْ لَا يَنَالُكَ مِنْهَا إِلَّا مَا قَسَمْتُهُ لَكَ وَأَنْتَ عِنْدِيْ مَذْمُوْمٌ
Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, engkau tidak akan memperoleh dari dunia itu kecuali apa yang telah Aku tentukan bagiannya untukmu. Sedangkan engkau di sisi-Ku menjadi orang yang tercela [lantaran tak bersyukur].

(وَ) رَابِعُهَا أَنْ تُؤْمِنَ بِــــــــ(رُسُلِهِ) وَهُمْ أَفْضَلُ عِبَادِ اللّٰهِ. قَالَ تَعَالٰى: وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِيْنَ
(Dan) rukun iman yang keempat adalah engkau harus beriman kepada (para utusan-Nya), mereka adalah para hamba Alloh yang paling utama. Alloh Ta'ala berfirman: "Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya)."

بِأَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّ اللّٰهَ تَعَالٰى أَرْسَلَ لِلْخَلْقِ رُسُلًا رِجَالًا لَا يَعْلَمُ عَدَدَهُمْ إِلَّا اللّٰهُ
Dengan engkau meyakini bahwa Alloh Ta'ala telah mengutus kepada makhluk, para Rosul berjenis laki-laki, yang tidak ada yang mengetahui jumlah hitungan para Rosul itu, kecuali Alloh.

أَوَّلُهُمْ بِجَسَدِهِ آدَمُ وَخَاتِمُهُمْ وَأَفْضَلُهُمْ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللّٰهُ تَعَالٰى عَلَيْهِمْ وَسَلَّمَ وَكُلُّهُمْ مِنْ نَسْلِ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ
Permulaan para Rosul secara fisiknya adalah nabi Adam. Dan pungkasan para Rosul dan yang paling utama diantara mereka adalah baginda kita nabi Muhammad, semoga Alloh Ta'ala melimpahkan rohmat dan keselamatan kepada mereka, dan seluruh para Rosul itu berasal dari keturunan nabi Adam, 'alaihis salam.

وَأَنَّهُمْ صَادِقُوْنَ فِيْ جَمِيْعِ أَقْوَالِهِمْ فِيْ دَعْوَى الرِّسَالَةِ وَفِيْمَا بَلَغُوْهُ عَنِ اللّٰهِ تَعَالٰى وَفِي الْكَلَامِ الْعُرْفِيِّ نَحْوُ أَكَلْتُ وَشَرِبْتُ
Dan sesungguhnya para Rosul itu adalah orang-orang yang jujur dalam semua ucapan mereka, dalam pengakuan mereka mengenai kerosulan diri mereka; dan dalam perkara yang mereka menyampaikannya dari Alloh Ta'ala; dan dalam ucapan yang umum, seperti: "Aku telah makan" dan "Aku telah minum."

Thursday, December 12, 2019

MAQOM IBRAHIM A.S

Maqom Ibrohim adalah batu yang digunakan Ibrohim as. untuk berpijak saat membangun Ka'bah, yaitu ketika bangunan tersebut telah melebihi tinggi tubuhnya. Pada awalnya, kedua telapak kaki Ibrohim meninggalkan bekas pada batu tersebut, dan masih terlihat sampai zaman awal kedatangan Islam. Namun, lambat laun bekas tersebut hilang dikarenakan banyaknya sentuhan tangan manusia. Bukti masih terlihatnya bekas telapak kaki Ibrohim pada zaman itu adalah perkataan Abu Tholib berikut ini:

"Bekas telapak Ibrohim terlihat jelas di atas batu, ia berdiri di atas kedua kakinya tanpa terompah."

Diriwayatkan bahwa maqom tersebut pada awalnya menempel denganbangunan Ka'bah. Kondisi itu bertahan sampai masa pemerintahan Umar bin Khoththob. Umar menggeser sedikit posisi maqom tersebut untuk memberi keleluasaan kepada orang-orang yang melakukan thowaf dan sholat di sekitar maqoam. Para sahabat yang lain menyetujui tindakan Umar ini.

Alloh juga merestui perkataan Rosululloh ketika bersabda: "Kalau saja kita boleh memakai maqom Ibrohim untuk tempat sholat." Lalu Dia berfirman: "Dan jadikanlah sebagian maqom Ibrohim tempat sholat." (QS. Al-Baqoroh: 125)

Perlu disampaikan di sini bahwa Ibrahim a.s. pulalah yang membangun Masjidil Aqsho, kendati yang meletakkan pondasinya adalah Ya'qub a.s. Menurut sabda Rosululloh, rentang waktu antara peletakan pondasi dan pembangunannya adalah 40 tahun.

Adapun di hadis yang diriwayatkan an-Nasa'i disebutkan bahwa yang membangun Masjidil Aqsho adalah Sulaiman bin Daud as. Namun, perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan kata membangun dalam hadis ini adalah memperbaharui atau memugar. Penjelasan seperti ini dikemukakan oleh as-Suyuthi, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Hajar. Menurut Dr. Abu Syuhbah, penggunaan kata membangun dengan arti "memugar" ini sering terjadi dalam bahasa Arab.

Monday, March 18, 2019

TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.41



وَفِي التَّوْرَاةِ يَا ابْنَ آدَمَ لَا تَخَفْ مِنْ سُلْطَانٍ مَا دَامَ سُلطَانِيْ بَاقِيًا وَسُلْطَانِيْ بَاقٍ لَا يَنْفُدُ أَبَدًا بِفَتْحِ الْفَاءِ وَبِالدَّالِ الْمُهْمَلَةِ أَيْ لَا يَفْنٰى وَلَا يَنْقَطِعُ
Dan di dalam kitab Taurot [terdapat keterangan]: "Wahai anak Adam (manusia)! Janganlah engkau takut kepada penguasa, selama kekuasaan-Ku masih ada, dan kekuasaan-Ku itu tetap ada lagi tidak pernah habis selamanya." Lafadz يَنْفُدُ, dengan huruf fa' yang difatkhah dan huruf dal yang tidak bertitik, maksunya adalah "tidak akan punah dan tidak akan pernah berhenti".

يَا ابْنَ آدَمَ خَلَقْتُكَ لِعِبَادَتِيْ فَلَا تَلْعَبْ
"Hai anak adam! Aku menciptakanmu untuk beribadah kepadaku, maka janganlah engkau bermain-main (menyia-nyiakan)."

يَا ابْنَ آدَمَ لَا تَخَافَنَّ فَوَاتَ الرِّزْقِ مَا دَامَتْ خَزَائِنِيْ مَمْلُوْءَةً وَخَزَائِنِيْ لَا تَنْفَدُ ًبَدًا
"Hai anak Adam! Janganlah engkau terlalu khawatir terpaut (tidak mendapatkan) rizki, selama gudang-gudang penyimpanan harta-Ku masih penuh terisi. Padahal gudang-gudang penyimpanan harta-Ku itu tidak akan pernah habis selamanya."

يَا ابْنَ آدَمَ خَلَقْتُ السَّمٰوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ أَعْيَ بِخَلْقِهِنَّ أَيُعْيِيْنِيْ رَغِيْفٌ وَاحِدٌ أُسَوِّقُهُ إِلَيْكَ فِيْ كُلِّ حِيْنٍ وَقَوْلُهُ أَعْيَ مُضَارِعُ عَيِيَ بِكَسْرِ عَيْنِ الْفِعْلِ مِنْ بَابِ تَعِبَ أَيْ وَلَمْ أَعْجُزْ وَيُعْيِيْ بِضَمِّ حَرْفِ الْمُضَارَعَةِ مِنْ أَعْيَا الرُّبَاعِيِّ

"Hai anak Adam! Aku ciptakan langit dan bumi, dan Aku tidak kesulitan dalam menciptakannya. Apakah mungkin menyulikan diri-Ku, sebuah roti yang Aku kirimkan kepadamu setiap saat?" Dan firman Alloh berupa lafadz أَعْيَ adalah fi'il mudhori' dari lafadz عَيِيَ, dengan dibaca kasroh 'ain fi'ilnya, temasuk dari bab تَعِبَ, yakni "Dan Aku tidak lemah." Sedangkan lafadz يُعْيِيْ, dengan dibaca dhommah huruf mudhoro'ahnya, adalah dari fi'il madhi أَعْيَا yang berwazan ruba'iy.

يَا ابْنَ آدَمَ كَمَا لَا أُطَالِبُكَ بِعَمَلِ غَدٍ فَلَا تُطَالِبْنِيْ بِرِزْقِ غَدٍ 
"Hai anak Adam! Sebagaimana Aku tidak menuntutmu dengan amal [ibadah] di hari esok, maka janganlah kamu menuntut-Ku dengan rizki di esok hari."

يَا ابْنَ آدَمَ لِيْ عَلَيْكَ فَرِيْضَةٌ وَلَكَ عَلَيَّ رِزْقٌ فَإِنْ خَلَفْتَنِيْ فِيْ فَرِيْضَتِيْ لَمْ أُخَالِفْكَ فِيْ رِزْقِكَ عَلٰى مَا كَانَ
"Hai anak Adam! Adalah hak bagi-Ku untuk membebani kewajiban padamu, dan sudah sepatutnya atas diri-Ku [untuk memberi] rizki kepadamu. Lalu jika kamu mengingkari-Ku dalam kewajiban pada-Ku, maka Aku tidak akan mengingkarimu dalam hal memberi rizki kepadamu, berdasarkan atas apa yang telah ditentukan adanya."

Ilmu Fiqih || BAB WASIAT

PENGERTIAN WASIAT
Wasiat menurut bahasa berasal dari bahasa Arab "وَصِيَّةٌ" yang berarti pesan.

Menurut istilah (syara’) artinya: "Pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia."

Pengertian di atas adalah pengertian wasiat dalam arti umum. Baik mengenai pekerjaan/perbuatan yang harus dilaksanakan maupun harta yang ditinggalkan bila seseorang meninggal dunia. Adapun dalam pembahasan bab ini adalah wasiat dalam arti khusus, yaitu hanya berkaitan dengan masalah harta. Jadi, yang dimaksud wasiat di sini adalah pesan seseorang untuk menasharrufkan/membelanjakan harta yang ditinggalkan jika ia telah meninggal dunia, dengan cara-cara yang baik yang telah ditetapkan. Misalnya, seseorang berwasiat: "Kalau saya meninggal dunia, mohon anak angkat saya diberikan bagian seperlima dari harta yang ditinggalkan."

HUKUM WASIAT
Landasan hukum wasiat adalah sebagaimana firman Alloh swt.:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ (البقرة : ١٨٠(

Artinya:
"Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Baqarah/2: 180)

Jika dilihat dari segi obyek wasiat, maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Wajib
Wajib, dalam hal yang berhubungan dengan hak Alloh, seperti zakat, fidyah, puasa dan lain-lain yang merupakan utang yang wajib ditunaikan.

Segolongan ulama dari fuqoha’ seperti Qotadah, Ibnu Hazm, Taus Ibnu Mussayab, Ishaq bin Rawahah berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Perintah wasiat dalam (QS. Al-Baqarah/2: 180) tidak mansukh (terhapus), tetapi tetap berlaku, yaitu untuk kerabat dekat yang tidak memperoleh bagian dalam warisan.

Sunah
Sunah, apabila berwasiat kepada selain kerabat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan mengharapkan ridho Alloh swt. Pendapat ini dikuatkan oleh jumhur ulama termasuk di dalamnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.

Nabi saw. bersabda:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيْدُ أَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ. (رواه الشيخان وغيرهما(

Artinya:
"Dari Ibnu Umar bahwasanya Rosululloh saw. Bersabda: ‘Tidaklah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkannya sampai lewat dua malam, kecuali wasiatnya itu dicatat'." (HR. Bukhari Muslim dan lain-lain)

Maksudnya ialah bahwa wasiat itu perlu segera dicatat atau disaksikan di depan orang lain.

Makruh
Makruh, apabila hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak, serta keadaan mereka sangat memerlukan harta warisan sebagai penunjang dalam hidupnya, atau biaya untuk melanjutkan sekolahnya.

Haram
Haram, apabila harta yang diwasiatkan untuk tujuan yang dilarang oleh agama. Misalnya, mewasiatkan untuk membangun tempat perjudian atau tempat maksiat.

RUKUN DAN SYARAT WASIAT 
Rukun wasiat adalah:
1. Orang yang mewasiatkan (mushi).
2. Orang/pihak yang menerima wasiat (musho lahu).
3. Harta/sesuatu yang diwasiatkan (musho bihi).
4. Ijab qabul (shighot wasiat).

Masing-masing rukun wasiat di atas mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Syarat-syarat orang yang berwasiat:
Baligh.
Berakal sehat.
Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak mana pun.

Syarat-syarat orang/pihak yang menerima wasiat:
Harus benar-benar ada, meskipun orang/pihak yang diberi wasiat tidak hadir pada saat wasiat diucapkan.
Tidak menolak pemberian yang berwasiat.
Bukan pembunuh orang yang berwasiat.
Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.

Rosululloh saw. bersabda:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللّٰهَ قَدْ أَعْطٰى لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. (رواه أحمد والترمذي(

Artinya:
Dari Abi Umamah Al-Bahili ra. berkata, Aku mendengar Rosululloh saw. bersabda di dalam khutbahnya di tahun haji wada’: “Sesungguhnya Alloh telah memberikan hak kepada orang yang punya hak, maka tidak adawasiat bagi ahli waris."  
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إِلَّا أَنْ يُجِيْزَ الْوَرَثَةُ. (رواه الدار قطني(

Artinya:
"Tidak boleh berwasiat kepada orang yang menerima warisan kecuali ahli-ahli warisnya membolehkannya." (HR. Daruquthni)

Syarat-syarat harta/sesuatu yang diwasiatkan:
Jumlah wasiat tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
Harus ada ketika wasiat diucapkan.
Harus dapat memberi manfaat.
Tidak bertentangan dengan hokum syara', misalnya, wasiat agar membuat bangunan megah di atas kuburannya.

Syarat-syarat shighat:
Kalimatnya dapat dimengerti atau dipahami, baik dengan lisan maupun tulisan.
Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

KADAR WASIAT 
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta yang dipunyai oleh orang yang berwasiat. Yaitu harta bersih setelah dikurangi utang apabila orang yang berwasiat meninggalkan utang. Misalnya, orang yang berwasiat meninggal dunia dan meninggalkan harta berupa uang satu milyar. Ternyata ia mempunyai utang 500 juta, maka uang wasiat yang dikeluarkan adalah sepertiga dari 500 juta, bukan sepertiga dari satu milyar.

Rosululloh saw. bersabda:

إِنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ. (رواه البخاري ومسلم(

Artinya:
Sesungguhnya Rosululloh saw. telah bersabda: Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak." (HR. Bukhori dan Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, banyak ulama menetapkan, sebaiknya wasiatitu kurang dari sepertiga bagian dari harta yang dimiliki, apalagi bila ahli warisnya terdiri dari orang-orang yang membutuhkan harta warisan untuk biaya hidup.
.
Ketika Sa'ad bin Abi Waqosh sakit bertanya kepada Nabi saw., "Apakah boleh aku berwasiat dua pertiga atau setengah dari harta yang kumiliki?" Rosululloh menjawab:

قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: اَلثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ. (رواه البخاري ومسلم(

Artinya:
"Tidak.” Saya bertanya lagi: “(Bagaimana kalau) sepertiga?” Nabi menjawab: “(Ya) sepertiga. Sepertiga itu pun banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan harus meminta-minta kepada orang lain." (HR. Bukhori dan Muslim)

Dengan demikian, maka menurut ketentuan hadis di atas, wasiat yang diberikan oleh orang yang akan meninggal adalah sepertiga dari harta yang dipunyainya. Meskipun seandainya orang yang akan meninggal tersebut mewasiatkan seluruh hartanya, maka tetap pelaksanaannya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang di tinggalkannya.

WASIAT BAGI ORANG YANG TIDAK MEM PUNYAI AHLI WARIS
Para ulama sepakat bahwa batas minimal harta yang diwasiatkan adalah sepertiga harta. Jika lebih dari itu hendaklah atas persetujuan ahli waris dan dengan catatan tidak menyebabkan mudhorot bagi ahli waris. Bahkan ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki mushi, meskipun ada persetujuan dari ahli waris.

Adapun kadar wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
Sebagian berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga harta miliknya. Alasan mereka didasarkan kepada hadis-hadis Nabi saw. yang shohih yang mengatakan bahwa sepertiga itu pun sudah banyak, dan Nabi saw. tidak memberikan pengecualian kepada orang yang tidak mempunyai ahli waris.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya. Mereka beralasan bahwa hadis-hadis Nabi saw. yang membatasi sepertiga adalah karena ada ahli waris yang sebaiknya ditinggalkan dalam keadaan cukup daripada dalam keadaan miskin. Maka apabila ahli waris tidak ada, pembatasan sepertiga itu tidak berlaku. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Ubadah, Masruq, dan diikuti oleh ulama-ulama Hanafiah.

HIKMAH WASIAT 
Menaati perintah Allah swt. sebagaimana tertuang dalam QS Al-Baqarah ayat 180.
Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia.
Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi kerabat atau orang lain yang tidak mendapat warisan.