Monday, March 18, 2019

Ilmu Fiqih || BAB WASIAT

PENGERTIAN WASIAT
Wasiat menurut bahasa berasal dari bahasa Arab "وَصِيَّةٌ" yang berarti pesan.

Menurut istilah (syara’) artinya: "Pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia."

Pengertian di atas adalah pengertian wasiat dalam arti umum. Baik mengenai pekerjaan/perbuatan yang harus dilaksanakan maupun harta yang ditinggalkan bila seseorang meninggal dunia. Adapun dalam pembahasan bab ini adalah wasiat dalam arti khusus, yaitu hanya berkaitan dengan masalah harta. Jadi, yang dimaksud wasiat di sini adalah pesan seseorang untuk menasharrufkan/membelanjakan harta yang ditinggalkan jika ia telah meninggal dunia, dengan cara-cara yang baik yang telah ditetapkan. Misalnya, seseorang berwasiat: "Kalau saya meninggal dunia, mohon anak angkat saya diberikan bagian seperlima dari harta yang ditinggalkan."

HUKUM WASIAT
Landasan hukum wasiat adalah sebagaimana firman Alloh swt.:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ (البقرة : ١٨٠(

Artinya:
"Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Baqarah/2: 180)

Jika dilihat dari segi obyek wasiat, maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Wajib
Wajib, dalam hal yang berhubungan dengan hak Alloh, seperti zakat, fidyah, puasa dan lain-lain yang merupakan utang yang wajib ditunaikan.

Segolongan ulama dari fuqoha’ seperti Qotadah, Ibnu Hazm, Taus Ibnu Mussayab, Ishaq bin Rawahah berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Perintah wasiat dalam (QS. Al-Baqarah/2: 180) tidak mansukh (terhapus), tetapi tetap berlaku, yaitu untuk kerabat dekat yang tidak memperoleh bagian dalam warisan.

Sunah
Sunah, apabila berwasiat kepada selain kerabat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan mengharapkan ridho Alloh swt. Pendapat ini dikuatkan oleh jumhur ulama termasuk di dalamnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.

Nabi saw. bersabda:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيْدُ أَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ. (رواه الشيخان وغيرهما(

Artinya:
"Dari Ibnu Umar bahwasanya Rosululloh saw. Bersabda: ‘Tidaklah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkannya sampai lewat dua malam, kecuali wasiatnya itu dicatat'." (HR. Bukhari Muslim dan lain-lain)

Maksudnya ialah bahwa wasiat itu perlu segera dicatat atau disaksikan di depan orang lain.

Makruh
Makruh, apabila hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak, serta keadaan mereka sangat memerlukan harta warisan sebagai penunjang dalam hidupnya, atau biaya untuk melanjutkan sekolahnya.

Haram
Haram, apabila harta yang diwasiatkan untuk tujuan yang dilarang oleh agama. Misalnya, mewasiatkan untuk membangun tempat perjudian atau tempat maksiat.

RUKUN DAN SYARAT WASIAT 
Rukun wasiat adalah:
1. Orang yang mewasiatkan (mushi).
2. Orang/pihak yang menerima wasiat (musho lahu).
3. Harta/sesuatu yang diwasiatkan (musho bihi).
4. Ijab qabul (shighot wasiat).

Masing-masing rukun wasiat di atas mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Syarat-syarat orang yang berwasiat:
Baligh.
Berakal sehat.
Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak mana pun.

Syarat-syarat orang/pihak yang menerima wasiat:
Harus benar-benar ada, meskipun orang/pihak yang diberi wasiat tidak hadir pada saat wasiat diucapkan.
Tidak menolak pemberian yang berwasiat.
Bukan pembunuh orang yang berwasiat.
Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.

Rosululloh saw. bersabda:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللّٰهَ قَدْ أَعْطٰى لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. (رواه أحمد والترمذي(

Artinya:
Dari Abi Umamah Al-Bahili ra. berkata, Aku mendengar Rosululloh saw. bersabda di dalam khutbahnya di tahun haji wada’: “Sesungguhnya Alloh telah memberikan hak kepada orang yang punya hak, maka tidak adawasiat bagi ahli waris."  
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إِلَّا أَنْ يُجِيْزَ الْوَرَثَةُ. (رواه الدار قطني(

Artinya:
"Tidak boleh berwasiat kepada orang yang menerima warisan kecuali ahli-ahli warisnya membolehkannya." (HR. Daruquthni)

Syarat-syarat harta/sesuatu yang diwasiatkan:
Jumlah wasiat tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
Harus ada ketika wasiat diucapkan.
Harus dapat memberi manfaat.
Tidak bertentangan dengan hokum syara', misalnya, wasiat agar membuat bangunan megah di atas kuburannya.

Syarat-syarat shighat:
Kalimatnya dapat dimengerti atau dipahami, baik dengan lisan maupun tulisan.
Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

KADAR WASIAT 
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta yang dipunyai oleh orang yang berwasiat. Yaitu harta bersih setelah dikurangi utang apabila orang yang berwasiat meninggalkan utang. Misalnya, orang yang berwasiat meninggal dunia dan meninggalkan harta berupa uang satu milyar. Ternyata ia mempunyai utang 500 juta, maka uang wasiat yang dikeluarkan adalah sepertiga dari 500 juta, bukan sepertiga dari satu milyar.

Rosululloh saw. bersabda:

إِنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ. (رواه البخاري ومسلم(

Artinya:
Sesungguhnya Rosululloh saw. telah bersabda: Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak." (HR. Bukhori dan Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, banyak ulama menetapkan, sebaiknya wasiatitu kurang dari sepertiga bagian dari harta yang dimiliki, apalagi bila ahli warisnya terdiri dari orang-orang yang membutuhkan harta warisan untuk biaya hidup.
.
Ketika Sa'ad bin Abi Waqosh sakit bertanya kepada Nabi saw., "Apakah boleh aku berwasiat dua pertiga atau setengah dari harta yang kumiliki?" Rosululloh menjawab:

قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: اَلثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ. (رواه البخاري ومسلم(

Artinya:
"Tidak.” Saya bertanya lagi: “(Bagaimana kalau) sepertiga?” Nabi menjawab: “(Ya) sepertiga. Sepertiga itu pun banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan harus meminta-minta kepada orang lain." (HR. Bukhori dan Muslim)

Dengan demikian, maka menurut ketentuan hadis di atas, wasiat yang diberikan oleh orang yang akan meninggal adalah sepertiga dari harta yang dipunyainya. Meskipun seandainya orang yang akan meninggal tersebut mewasiatkan seluruh hartanya, maka tetap pelaksanaannya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang di tinggalkannya.

WASIAT BAGI ORANG YANG TIDAK MEM PUNYAI AHLI WARIS
Para ulama sepakat bahwa batas minimal harta yang diwasiatkan adalah sepertiga harta. Jika lebih dari itu hendaklah atas persetujuan ahli waris dan dengan catatan tidak menyebabkan mudhorot bagi ahli waris. Bahkan ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki mushi, meskipun ada persetujuan dari ahli waris.

Adapun kadar wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
Sebagian berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga harta miliknya. Alasan mereka didasarkan kepada hadis-hadis Nabi saw. yang shohih yang mengatakan bahwa sepertiga itu pun sudah banyak, dan Nabi saw. tidak memberikan pengecualian kepada orang yang tidak mempunyai ahli waris.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya. Mereka beralasan bahwa hadis-hadis Nabi saw. yang membatasi sepertiga adalah karena ada ahli waris yang sebaiknya ditinggalkan dalam keadaan cukup daripada dalam keadaan miskin. Maka apabila ahli waris tidak ada, pembatasan sepertiga itu tidak berlaku. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Ubadah, Masruq, dan diikuti oleh ulama-ulama Hanafiah.

HIKMAH WASIAT 
Menaati perintah Allah swt. sebagaimana tertuang dalam QS Al-Baqarah ayat 180.
Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia.
Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi kerabat atau orang lain yang tidak mendapat warisan.


No comments:

Post a Comment

Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.