Saturday, May 21, 2022

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.5

Taklif, Makrifat, Wajib , Jaiz, Mumtani'


(٩) فَكُلُّ مَنْ كُلِّفَ شَرْعًا وَجَبَا ☼ عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ مَا قَدْ وَجَبَا

(١٠) لِلّٰهِ وَالْجَائِزَ وَالْمُمْتَنِعَ ☼ وَمِثْلَ ذَا لِرُسْلِهِ فَاسْتَمِعَا

“Wajib atas tiap-tiap mukalaf menurut syara' untuk mengetahui apa-apa yang wajib bagi Alloh, apa-apa yang jaiz dan apa-apa yang tercegah. Dan (wajib pula mengetahui) yang seumpama ini bagi sekalian rosul-Nya maka hendaklah engkau dengarkan”.

    Maksud dari tiap-tiap mukalaf pada bait di atas adalah tiap-tiap orang mukalaf dari golongan manusia dan jin, laki-laki atau perempuan walaupun dia orang awam, hamba sahaya serta pelayan sampaipun ya'juj dan ma'juj. Namun tidak termasuk malaikat walaupun kita berpendapat bahwa mereka terkena taklif karena khilaf pada pen-taklifan mereka hanyalah yang berhubungan dengan selain makrifat kepada Alloh Swt. 

    Adapun mengenai makrifat kepada Alloh maka semua malaikat sudah mengetahuinya sebagai satu tabiat (pembawaan) mereka. Maka tidak ada seorang malaikat-pun yang tidak mengetahui sifat-sifat Alloh. Allah Swt. berfirman: 

شَهِدَ ٱللّٰهُ أَنَّهٗ لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَآئِكَةُ وَأُولُوا ٱلْعِلْمِ

"Alloh bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan juga malaikat serta orang-orang yang berilmu". (QS. Ali Imron: 18)

    Pada ayat ini malaikat disebutkan secara mutlak sementara manusia disebutkan orang-orang yang berilmu saja.

       Definisi taklif ada dua:  

1. اِلْزَامُ مَا فِيْهِ كُلْفَةٌ  = “Mewajibkan sesuatu yang mengandung beban".

2. طَلَبُ مَا فِيْهِ كُلْفَةٌ = “Menuntut sesuatu yang mengandung beban”.

    Berdasarkan definisi pertama dan dialah yang kuat maka taklif itu terbatas pada wajib dan haram saja. Tidak termasuk sunnah, makruh dan mubah karena tidak ada pewajiban pada ketiganya. Sedangkan menurut definisi kedua maka taklif itu mencakupi semuanya selain mubah karena tidak ada tuntutan pada perkara yang mubah. Dengan demikian mubah bukanlah taklif berdasarkan dua definisi di atas.

    Kalau dikatakan: “Bagaimana ini bisa terjadi sedangkan menurut ulama, hukum-hukum syara' itu ada sepuluh. Lima macam wadh'iyyah, yakni khitob Alloh Swt. yang berhubungan dengan penjadian sesuatu sebagai sebab, syarat, mani', sohih atau fasid; dan lima macam taklifiyyah, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Maka dijawablah bahwa yang dimaksud dengan taklifiyyah di situ adalah keadaan hukum-hukum itu tidaklah berhubungan kecuali dengan orang mukalaf sebagaimana ditegaskan para ulama ushul fikih.

    Mengenai syarat taklif ada empat:

1.    Baligh

2.    Berakal

3.    Sampainya dakwah

4.    Selamatnya indera

 -------------------------

    Maka mukalaf itu adalah orang yang baligh serta berakal yang telah sampai dakwah kepadanya dan selamat inderanya.

    Penyebutan “baligh” mengecualikan anak kecil sehingga dia tidak tergolong mukalaf. Maka orang yang mati sebelum baligh termasuk orang yang selamat sekalipun dia anak orang kafir dan dia tidak akan disiksa karena kekafirannya, tidak pula karena sebab lainnya[15].

    Penyebutan “berakal” mengecualikan orang gila, maka tidaklah dia mukalaf. Demikian juga orang mabuk yang bukan lantaran kelalimannya. Lain halnya jika dia mabuk lantaran kelalimannya sendiri maka tetaplah dia mukalaf. Akan tetapi tempat yang demikian itu (bukan mukalaf) adalah jika dia baligh dalam keadaan gila atau mabuk dan keadaannya terus seperti itu sampai mati. Berbeda halnya jika dia baligh dalam keadaan berakal kemudian dia gila atau mabuk sedangkan dia bukan mukmin dan mati seperti itu maka tidaklah dia selamat.

    Penyebutan “sampainya dakwah” mengecualikan orang yang tidak sampai dakwah kepadanya lantaran dia tinggal di puncak gunung yang tinggi, maka tidaklah dia termasuk mukalaf berdasarkan pendapat yang lebih sahih. Berbeda halnya dengan orang yang berpendapat bahwa dia itu mukalaf karena adanya akal yang dianggap cukup dalam hal wajibnya makrifatulloh meskipun tidak sampai dakwah kepadanya.

    Berdasarkan syarat sampainya dakwah timbul pertanyaan; bisakah mencukupi dengan sampainya dakwah dari nabi yang mana saja walaupun Nabi Adam, karena tauhid itu bukanlah perkara yang khusus dengan umat ini ataukah diharuskan sampainya dakwah dari rasul yang memang diutus kepadanya...?

    Pendapat yang tahqiq sebagaimana dinukil dari Allamah Malawi dari Ubay dalam syarah Muslim bahwa diharuskan sampainya dakwah dari rasul yang memang diutus kepadanya. Maka Ahlul Fatroh, yakni mereka yang berada di antara zaman-zaman rasul atau berada pada zaman rasul yang tidak diutus kepada mereka adalah orang-orang yang selamat meskipun mereka menyembah patung berhala.

    Jika timbul pertanyaan: “Bagaimana ini sedangkan Nabi pernah mengkhabarkan bahwa sekelompok orang dari Ahlul Fatroh ada di dalam neraka seperti Imri'il Qoys, Hatim at-Thoo'i dan sebagian bapak para sahabat karena sebagian sahabat pernah bertanya kepada Nabi ketika beliau tengah berkhotbah: “Dimanakah bapakku...?” Lantas Nabi menjawab: “Di neraka!”.

    Maka dijawab bahwa Hadis-hadis yang dibawakan itu adalah Hadis Ahad[16] dan dia tidak boleh bertentangan dengan dalil qoth'i, yakni firman Alloh: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا = “Dan Kami tidaklah akan menyiksa sehingga Kami mengutus seorang rosul”.[17] Dan juga karena ja'iznya mengazab orang yang sudah sah pengazabannya di antara mereka lantaran perkara khusus yang hanya diketahui oleh Allah dan rosul-Nya.

    Penyebutan “serta selamat inderanya” mengecualikan orang yang selainnya. Karena itulah sebagian ulama Syafi'iyyah berkata; “Kalau Alloh menciptakan seorang manusia dalam keadaan buta dan tuli maka gugurlah daripadanya kewajiban berfikir dan taklif”.

    Jika Anda telah mengetahui bahwa Ahlul Fatroh itu selamat berdasarkan pendapat yang rojih (unggul), maka dapatlah ditegaskan bahwa kedua orang tua Nabi adalah selamat juga karena termasuk Ahlul Fatroh.

    Perkataan pengarang dengan “menurut syara'” menunjukkan bahwasanya makrifat itu wajib dengan syara', bukan dengan akal. Ini adalah mazhabnya Asya'iroh. Maka menurut Asya'iroh makrifatulloh itu wajib dengan syara', begitu juga sekalian hukum karena tidak ada hukum sebelum syara', tidak hukum ushul'(pokok-pokok agama), tidak pula hukum furu' (cabang-cabang agama).

    Muktazilah berpendapat bahwa hukum-hukum itu semuanya tetap dengan akal. Karena itulah pengarang kitab Jam'ul Jawami' berkata: “Muktazilah menjadikan akal sebagai hakim” yakni akal dapat mencapai sekalian hukum meski syara' tidak pernah mendatangkannya. Menurut mereka syara' itu datang adalah untuk menguatkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh akal. Ini berarti mereka tidak menafikan syara' sama-sekali karena kalau demikian maka kafirlah mereka dengan pasti.

    Muktazilah mendasarkan pembicaraan mereka itu atas tahsin dan taqbih ( menganggap baik dan buruk ) yang keduanya ini dapat dicapai oleh akal. Maka yang baik menurut mereka adalah apa-apa yang dianggap baik oleh akal dan yang jelek adalah apa-apa yang dianggap jelek oleh akal. Apabila akal sudah mendapatkan bahwa satu perbuatan itu baik dengan sekira tercela orang yang meninggalkannya dan terpuji orang yang mengerjakannya maka dihukumkanlah perbuatan itu dengan wajib dan begitulah seterusnya.

    Sedangkan menurut Ahlus sunnah maka yang baik itu adalah apa-apa yang dipandang baik oleh syara' dan yang jelek adalah apa-apa yang dipandang jelek oleh syara'.

    Adapun menurut Maturidiyah; kewajiban makrifat itu adalah dengan akal. Kalau syara' tidak mendatangkannya maka akal-lah yang dapat mencapainya secara mandiri karena sudah terang dan jelasnya kewajiban seperti itu, bukan karena didasarkan atas tahsin aqli sebagaimana dikatakan oleh Muktazilah. Namun yang hak bahwa akal itu tidaklah dapat mencapai sesuatu secara mandiri.

    Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa terdapat tiga mazhab dalam hal tetapnya hukum:

1.   Mazhab Asya'iroh: Bahwa hukum-hukum itu semuanya tetap dengan syara', akan tetapi dengan syarat akal.

2.    Mazhab Maturidiyah: Bahwa kewajiban makrifat itu tetap dengan akal, bukan sekalian hukum.

3.    Mazhab Muktazilah: Bahwa hukum-hukum itu sekaliannya tetap dengan akal.

        Makrifat sama maknanya dengan ilmu yaitu: اَلْجَزْمُ الْمُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيْلٍ "Mantapnya keyakinan yang sesuai kebenaran serta berdasarkan dalil”.

    Kata-kata al-jazm (keyakinan yang mantap) mengecualikan zhon, syak dan waham. Zhon adalah satu keyakinan yang lebih kuat dibanding keraguannya. Syak adalah satu keyakinan yang sama kuat dengan keraguannya. Sedangkan waham adalah satu keyakinan yang lebih kecil dibanding keraguannya.

    Kata-kata “yang sesuai kebenaran” mengecualikan mantapnya keyakinan yang tidak sesuai dengan kebenaran seperti mantapnya keyakinan kaum Nashroni terhadap ajaran Trinitas.[18]

Kata-kata “berdasarkan dalil” mengecualikan mantapnya keyakinan yang sesuai kebenaran tapi tidak berdasarkan dalil karena yang demikian itu dinamakan dengan taklid.

Orang yang bersifat dengan zhon, syak dan waham pada akidah-akidah yang akan diterangkan nanti adalah kafir dengan ittifaq[19]. Adapun mereka yang bersifat dengan taklid dalam masalah-masalah akidah maka akan datang penjelasan tentang perbedaan pendapat yang ada di dalamnya.

Perkataan pengarang dengan: مَا قَدْ وَجَبَا artinya sekalian apa-apa yang wajib bagi Alloh. Akan tetapi mana di antaranya yang diterangkan secara tafshil (rinci) oleh dalil naqli dan aqli yakni 20 sifat yang nanti akan diterangkan maka wajiblah sekalian mukalaf untuk mengetahuinya secara tafshil pula. Dan mana di antaranya yang diterangkan secara ijmal (global) oleh dalil naqli dan aqli yakni segala macam sifat kesempurnaan maka wajiblah sekalian mukalaf untuk mengetahuinya secara ijmal pula. Seperti ini pula dikatakan pada yang mustahil.

Wajib adalah: مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ = “Sesuatu yang ketiadaannya tidak didapatkan pada akal”.

Wajib ada dua:

1.    Wajib Dhoruri seperti tahayyuz-nya jirim (benda) yakni mengambil bagian pada suatu tempat yang kosong.

2.    Wajib Nazhori seperti sifat-sifat Alloh.

Jaiz adalah: مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ تَارَةً وَعَدَمُهِ اُخْرٰى = "Sesuatu yang keberadaannya pada satu waktu dapat diterima akal dan pada waktu yang lain ketiadaannya pun dapat diterima akal”.

Jaiz ada dua:

1.    Jaiz Dhoruri[20] seperti bergeraknya jirim atau diamnya.

2.    Jaiz Nazhori[21] seperti mengazab orang yang taat meskipun dia tidak bermaksiat dan memberi pahala kepada pelaku maksiat meskipun dia kafir, karena pembicaraan di sini adalah tentang kemungkinan dari segi akal. Namun dari segi syara' hal yang demikian tidaklah mungkin terjadi.

    Sedangkan mumtani' maksudnya adalah mustahil. Para ulama mendefinisikannya dengan: مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ = “Sesuatu yang keberadaannya tidak didapatkan pada akal”.

    Mustahil ada dua:

1.   Mustahil Dhoruri seperti kosongnya jirim dari bergerak dan diam secara bersamaan.

2.    Mustahil Nazhori seperti adanya sekutu bagi Alloh Swt.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masing-masing dari bagian yang tiga itu terbagi kepada dhoruri dan nazhori sehingga semuanya menjadi enam.

    Sebagian ulama berkata bahwa ada kemungkinan meng-umpamakan bagian yang tiga itu dengan bergeraknya jirim dan diamnya. Maka yang wajib adalah salah satu dari keduanya. Yang mustahil adalah kosong dari kedua-duanya secara berbarengan. Dan yang jaiz adalah tetapnya salah satu dari keduanya sebagai ganti dari yang lainnya.

    Hukum-hukum ini sepantasnya mendapat perhatian karena Imam Haromain berkata bahwa mengetahui hukum-hukum tersebut adalah akal berdasarkan bahwa akal adalah ilmu tentang wajibnya segala yang wajib, jaiznya segala yang jaiz dan mustahilnya segala yang mustahil.

    Perkataan pengarang dengan: وَمِثْلُ ذَا لِرُسْلِهِ maksudnya: Dan wajib pula atas tiap-tiap mukalaf untuk mengetahui seumpama yang demikian (yakni wajib, mustahil, jaiz) bagi sekalian rosul-Nya. Pengarang mengisyaratkan dengan lafaz مِثْلُ (seumpama) kepada satu pemahaman bahwa yang wajib, mustahil dan jaiz pada sekalian rosul tidaklah sama dengan yang wajib, mustahil dan jaiz pada hak Alloh Swt.



[15]Berbeda halnya dengan Hanafiah dimana mereka berpendapat bahwa anak kecil yang berakal terkena taklif dengan iman karena adanya akal. Jika anak kecil itu meng-iktikadkan iman atau kafir maka perkaranya jelas namun jika dia tidak meng-iktikadkan salah satu dari keduanya maka jadilah dia penghuni neraka karena wajibnya iman atas dirinya dengan semata-mata akal.

[16]Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.

[17]Al-Isra' : 15.

[18]Tiga Tuhan yakni Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruhul Qudus.

[19]Kesepakatan ulama’.

[20]Suatu perkara yang tidak perlu banyak berfikir untuk memahaminya.

[21]Suatu perkara yang untuk memahaminya itu perlu pemikiran.

Thursday, May 19, 2022

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.4

Pengenalan Permata Ilmu Tauhid, Roja, Thoma', Tsawab, Derajat-derajat Ikhlas


وَهٰذِهِ أُرْجُوْزَةٌ لَقَّبْتُهَا ☼ جَوْهَرَةَ التَّوْحِيْدِ قَدْ هَذَّبْتُهَا

وَاللّٰهَ أَرْجُوْ فِي الْقَبُوْلِ نَافِعًا ☼ بِهَا مُرِيْدًا فِي الثَّوَابِ طَامِعًا

“Dan inilah satu manzumah berbahar rojaz yang aku gelari ☼ dengan “Permata Ilmu Tauhid” karena aku telah membersihkannya.

Dan hanya kepada Alloh aku bermohon agar kiranya dia dapat diterima serta memberikan manfaat  dengan sebab manzumah ini kepada para peminat yang sangat rakus terhadap pahala”.

    Jumlah bait daripada manzumah ini adalah 144. Pengarang memberinya nama dengan جَوْهَرُ التَّوْحِيْدِ = “Permata Ilmu Tauhid” karena dia telah membersihkannya serta meluruskannya dari segala macam keraguan, akidah-akidah yang rusak dan pembahasan panjang lebar yang bertele-tele.

    Lafaz ar-Roja' (اَلرَّجَاءُmenurut bahasa maknanya adalah harapan atau cita- cita. Sedangkan menurut istilah adalah terkaitnya hati dengan sesuatu yang disukai beserta menjalankan sebab-sebab untuk mendapatkannya. Contohnya adalah mengharapkan surga dengan jalan meninggalkan kemaksiatan dan melaksanakan ketaatan. Syeh Khotib menyebutkan satu Hadits Qudsi dalam tafsirnya:

مَا اَقَلَّ حَيَاءً مِنْ اَنْ يَطْمَعَ فِيْ جَنَّتِيْ بِغَيْرِ عَمَلٍ كَيْفَ اَجُوْدُ بِرَحْمَتِيْ عَلٰى مَنْ بَخِلَ بِطَاعَتِيْ

“Alangkah tidak tahu malunya orang yang mengharapkan surga-Ku dengan tidak beramal. Bagaimana Aku akan dermawan dengan rahmat-Ku kepada orang yang bakhil dengan ketaatan pada-Ku”.

    At-Thoma' (اَلطَّمَعُadalah pengharapan secara berlebihan. Sedangkan ats-Tsawab (اَلثَّوَابُadalah satu ukuran berupa ganjaran yang diketahui oleh Alloh Swt. yang dipersiapkan bagi siapapun dari hamba-Nya yang Dia kehendaki dalam rangka mengimbangi amalan-amalan mereka yang baik dengan semata-mata atas kehendak-Nya, bukan dengan ijab, bukan pula dengan wujub.¹

    Bukan dengan ijab artinya adalah bukan dengan ta'lil (terjadinya sesuatu dengan adanya sebab) yakni bahwa pahala itu terbit dari zat Alloh dengan terpaksa seperti gerakan cincin yang terbit dari gerakan jari tangan. Pemberian pahala dengan ijab adalah pendapat golongan falasifah.

    Bukan dengan wujub artinya bahwa pemberian pahala itu bukanlah satu kewajiban atas Alloh Swt. sebagaimana dikatakan oleh Muktazilah.²

    Apa yang disampaikan oleh pengarang dalam baitnya di atas mengandung isyarat bahwa beramal karena Alloh beserta menghendaki pahala adalah jaiz meski yang selainnya adalah lebih sempurna karena derajat-derajat ikhlas itu ada tiga:

1.  Al-'Ulya yakni seseorang beramal semata-mata karena Alloh dalam rangka melaksanakan perintah-Nya serta tegak beribadah kepada-Nya.

2.  Al-Wustho yakni seseorang beramal karena hendak mencari pahala dan menghindarkan diri dari siksa.

3.    Ad-Dun-ya yakni seseorang beramal dengan tujuan agar Alloh memuliakannya di dunia dan selamat dari bencana-Nya.

    Selain derajat yang tiga ini adalah riya' meski jenisnya berbeda-beda. Demikian dikatakan oleh Syaikhul Islam dalam penjelasan kitab Risalah al-Qusyairiyah.



¹ Masalah ijab dan wujub ini akan ditegaskan kembali dalam bait tersendiri no. 50.

² Penolakan pengarang tentang pendapat Muktazilah ini terdapat pada bait no. 51.

Tuesday, May 17, 2022

AKIDAH ISLAM

 A. PENGERTIAN, DASAR DAN TUJUAN AKIDAH ISLAM


1. Pengertian Akidah Islam

Menurut bahasa, kata akidah ber­asal dari bahasa Arab, yaitu: عَقَدَ - يَعْقِدُ - عَقْدًاYang artinya adalah mengikat atau mengadakan perjanjian.

Para ulama memberi pengertian (mendefinisikan) akidah sebagai berikut:

مَا عَقَدَ عَلَيْهِ الْقَلْبُ وَالضَّمِيْرُ

Artinya:

"Sesuatu yang terikat kepadanya hati dan hati nurani.”

Di dalam Al-Qur'an kata "aqad" sering disebutkan, antara lain, dalam surah Al-Ma'idah ayat 1:

يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ.

Artinya:

"'Wahai orang-orang yang beriman! Pe­nuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Ma'idah: 1)

Adapun yang dimaksud dengan aqad di sini adalah janji, baik janji kepada Alloh, maupun janji kepada sesama manusia.

Menurut istilah, akidah adalah suatu pokok atau dasar keyakinan yang harus dipegang oleh orang yang mem­percayainya.

Berdasarkan pengertian akidah di atas, maka yang dimaksud akidah Islam adalah pokok-pokok kepercayaan yang harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim, berdasarkan dalil-dalil naqli dan aqli.


2. Dasar-dasar Akidah Islam

Sebenarnya dasar-dasar akidah Islam tidak lain adalah dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu: Al-Qur'an, dan Al-Hadits (Sunah Rasul). Akidah Islam disusun atas dasar dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. Di dalam Al-Qur'an banyak disebut pokok-pokok akidah, seperti: nama-nama dan sifat- sifat Alloh, tentang malaikat, kitab-kitab Alloh, hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Mengenai pokok-pokok atau kan­dungan akidah Islam, antara lain, disebutkan dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 285 sebagai berikut:


اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

Artinya:

"Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata),"Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya." Dan mereka berkata,"Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali." (QS. Al-Baqarah: 285)  

        Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan:

اَنْ تُؤْمِنَ بِاللّٰهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Artinya:

"Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya para rasul-rasul-Nya, hari akhir dan hendaklah engkau beriman akan qadar ketentuan baik dan buruk". (HR. Muslim).

Al-Qur'an dan Hadits merupakan dasar akidah Islam dan pegangan serta pedoman bagi kaum muslimin. Selama kaum muslimin masih berpegang ke­pada pedoman tersebut, maka di­jamin selamat dari kesesatan. Sabda Rasululloh saw.:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا كِتَابَ اللّٰهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ.

Artinya:

"Telah kutinggalkan kepadamu dua pedoman, jika kamu tetap berpegang kepada keduanya, kamu takkan tersesat selama- lamanya, yakni Kitabulloh (Al-Qur'an) dan sunah Rasululloh."


3. Tujuan Akidah Islam

Akidah Islam harus menjadi pedom­an bagi setiap muslim. Artinya, setiap umat Islam harus meyakini pokok- pokok kandungan akidah Islam tersebut.

Adapun tujuan akidah Islam itu adalah:

a. Memupuk dan mengembangkan dasar ketuhanan yang ada sejak lahir.

Manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Sejak dilahirkan ma­nusia cenderung mengakui adanya Tuhan. Firman Alloh dalam surah Al-A'raf ayat 172-173 yang artinya sebagai berikut:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang be­lakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan," Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini", atau agar kamu tidak mengatakan,"Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) se­telah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?" (QS. Al-A'raf: 172-173)

Dengan naluri berketuhanan, manusia berusaha untuk mencari Tuhannya. Kemampuan akal dan ilmu yang berbeda-beda memungkin­kan manusia akan keliru mengenal Tuhan. Dengan akidah Islam, naluri atau kecenderungan manusia akan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dapat berkembang dengan benar.

 

b.   Memelihara manusia dari ke­musyrikan.

Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan perlu adanya tun­tunan yang jelas tentang kepercaya­an terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kemugkinan manusia terperosok ke dalam kemusyrikan selalu terbuka, baik syirik jaly (terang-terangan) berupa perbuatan, maupun syirik khofy (tersembunyi) di dalam hati. Dengan mempelajari akidah Islam manusia akan terpelihara dari per­buatan syirik.

c.   Menghindarkan diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan.

Manusia diberi kelebihan oleh Alloh dari makhluk lainnya berupa akal pikiran. Pendapat-pendapat atau faham-faham yang semata-mata didasarkan atas akal manusia, kadang-kadang menyesatkan ma­nusia itu sendiri. Oleh sebab itu, akal pikiran perlu dibimbing oleh akidah Islam agar manusia terbebas atau terhindar dari kehidupan yang sesat.


B. IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

1. Iman

Dari segi bahasa iman berarti percaya. Berasal dari bahasa Arab اٰمَنَ - يُؤْمِنُ - اِيْمَانًا. Menurut istilah:

اَلْإِيْمَانُ هُوَ تَصْدِيْقٌ بِالْقَلْبِ وَاِقْرَارٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ.

Artinya:

"Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan memperbuat dengan anggota badan (beramal)."

Apakah yang dibenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan di­amalkan itu? Sudah barang tentu adalah seluruh ajaran Islam. Jika seseorang sudah mengimani seluruh ajaran Islam, maka orang tersebut sudah dapat dikatakan mukmin (orang yang ber­iman).

Iman itu terdiri atas tiga tingkatan:

a.     Tingkatan mengenal. Pada tingkat­an pertama ini seseorang baru mengenal sesuatu yang diimani. 

b.     Tingkatan kesadaran. Pada tingkat kedua ini iman seseorang sudah lebih tinggi, karena sesuatu yang diimani didasari oleh alasan-alasan tertentu.

c.  Tingkat haqqul yaqin. Tingkat ini adalah tingkatan iman yang ter­tinggi. Seseorang mengimani se­uatu tidak hanya mengetahui dengan alasan-alasan tertentu, tetapi dibarengi dengan ketaatan dan berserah diri kepada Alloh.

2. Islam

Kata Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu: اَسْلَمَ - يُسْلِمُ - إِسْلَامًا. Yang artinya adalah patuh, tunduk, menyerahkan diri, selamat.

Sedangkan menurut istilah, Islam yaitu agama yang mengajarkan agar manusia berserah diri dan tunduk se­penuhnya kepada Alloh.

Yang dimaksud dengan tunduk atau berserah diri adalah mengerjakan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya.

Sehubungan dengan pengertian Islam ini, Rosululloh Saw. bersabda:

اَلْاِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا. (رواه البخاري)

Artinya:

"Islam itu ialah engkau menyembah Alloh (menghambakan diri kepada-Nya, Dia sendiri saja), tiada engkau persekutukan Dia dengan suatu yang lain, engkau dirikan sembahyang, engkau keluarkan zakat yang difardhukan, engkau berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau tunaikan ibadah haji jika engkau sanggup pergi ke Baitulloh." (HR. Bukhari)

Orang yang tunduk dan berserah diri kepada Alloh disebut muslim. Seseorang yang betul-betul muslim, hidup dan matinya hanya semata-mata mencari keridhoan Alloh. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, surah Al-An'am ayat 162, yang artinya adalah:

"Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan seluruh alam."


2. Ihsan

        Ihsan artinya berbuat baik. Berasal dari bahasa Arab: أَحْسَنَ - يُحْسِنُ - إِحْسَانًا. Sedangkan Ihsan menurut istilah adalah ber­bakti dan mengabdikan diri kepada Alloh swt. dengan dilandasi kesadaran dan keikhlasan.

Berbakti kepada Alloh yakni ber­buat sesuatu yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri, sesama manusia, maupun untuk makhluk lainnya. Semua perbuatan itu dilakukan semata-mata karena Alloh, seolah-olah orang yang melakukan perbuatan itu sedang ber­hadapan dengan Alloh.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah menerangkan:

أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

Artinya:

"Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihat engkau."

Ihsan ada empat macam, yaitu:

a.     Ihsan terhadap Alloh, yakni me­ngerjakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya.

b.     Ihsan terhadap diri sendiri, yakni mengerjakan segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri dan menghindari semua perbuatan yang mendatangkan ke­celakaan atau kerugian kepada diri sendiri.

c.    Ihsan terhadap sesama manusia, yakni berbuat baik kepada saudara berdasar keturunan, saudara karena tetangga, kerabat, ataupun se­agama. Alloh berfirman dalam surah An-Nisa' ayat 36 sebagai berikut:

وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ (النساء: ٣٦)

Artinya:

“. . . Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak- anak yatim, orang-orang miskin, te­tangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Alloh tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri."

d.   Ihsan terhadap makhluk lain (alam lingkungan), yakni berbuat baik atau memelihara alam lingkungan agar tetap lestari dan tidak punah.


4. Hubungan dan Perbedaan antara Iman, Islam dan Ihsan

Hubungan antara iman, Islam dan ihsan bagaikan segitiga sama sisi. hubungan antara sisi yang satu dan sisi yang lainnya sangat erat. Jadi, orang yang takwa ibarat segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya terdiri dari iman, Islam dan ihsan. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.

Di samping adanya hubungan antara iman, Islam dan ihsan juga terdapat perbedaan antara ketiganya se­kaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih menekankan pada segi ke­yakinan di dalam hati, (تَصْدِيْقٌ بِالْقَلْبِ). Islam merupakan sikap untuk berbuat atau beramal. Ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan nyata.Ihsan merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan Islam seseorang.

 

5. Rukun Iman

Rukun Iman ada 6 perkara:

1.      Iman kepada Alloh

2.      Iman kepada para malaikat

3.      Iman kepada kitab-kitab Alloh

4.      Iman kepada para rasul Alloh

5.      Iman kepada hari kiamat (hari akhir)

6.      Iman kepada qadha dan qadar Alloh

Sehubungan dengan rukun iman ini Rosululloh bersabda:

اَنْ تُؤْمِنَ بِاللّٰهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (رواه ابوداود)

Artinya:

"Hendaknya engkau beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-­Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada qadar-Nya yang baik dan yang buruk". (HR. Abu Dawud).

6. Hal-hal Lain yang Juga Harus Diimani

Selain rukun iman sebagaimana yang telah disebutkan di atas masih ada beberapa hal yang wajib diimani, yaitu:

a.   Ruhaniyat (spiritual), yaitu yang berhubungan dengan mahkluk gaib, seperti adanya roh yang terdapat pada jasad manusia, adanya jin dan setan.

b.     Ketuhanan, yaitu yang berhubung­an dengan nama, sifat, kudrat atau kekuasaan Alloh, misalnya Alloh memperjalankan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra' Mi'raj.

c.   Kenabian/kerasulan, yang me­nyangkut sifat-sifat dan kesucian para nabi, yaitu tentang orang-orang yang memiliki ketakwaan yang sangat mendalam di luar ke­biasaan manusia pada umumnya. Orang-orang tersebut dinamakan Wali Alloh.

d.  Sam'iyat, yaitu hal-hal yang ber­hubungan dengan alam ghaib, se­perti alam barzah, padang mahsyar, siksa kubur, nikmat kubur, tanda-tanda hari kiamat dan hidup se­sudah mati.