Saturday, May 21, 2022

TERJEMAH JAUHARUT TAUHID Bag.5

Taklif, Makrifat, Wajib , Jaiz, Mumtani'


(٩) فَكُلُّ مَنْ كُلِّفَ شَرْعًا وَجَبَا ☼ عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفَ مَا قَدْ وَجَبَا

(١٠) لِلّٰهِ وَالْجَائِزَ وَالْمُمْتَنِعَ ☼ وَمِثْلَ ذَا لِرُسْلِهِ فَاسْتَمِعَا

“Wajib atas tiap-tiap mukalaf menurut syara' untuk mengetahui apa-apa yang wajib bagi Alloh, apa-apa yang jaiz dan apa-apa yang tercegah. Dan (wajib pula mengetahui) yang seumpama ini bagi sekalian rosul-Nya maka hendaklah engkau dengarkan”.

    Maksud dari tiap-tiap mukalaf pada bait di atas adalah tiap-tiap orang mukalaf dari golongan manusia dan jin, laki-laki atau perempuan walaupun dia orang awam, hamba sahaya serta pelayan sampaipun ya'juj dan ma'juj. Namun tidak termasuk malaikat walaupun kita berpendapat bahwa mereka terkena taklif karena khilaf pada pen-taklifan mereka hanyalah yang berhubungan dengan selain makrifat kepada Alloh Swt. 

    Adapun mengenai makrifat kepada Alloh maka semua malaikat sudah mengetahuinya sebagai satu tabiat (pembawaan) mereka. Maka tidak ada seorang malaikat-pun yang tidak mengetahui sifat-sifat Alloh. Allah Swt. berfirman: 

شَهِدَ ٱللّٰهُ أَنَّهٗ لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَآئِكَةُ وَأُولُوا ٱلْعِلْمِ

"Alloh bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan juga malaikat serta orang-orang yang berilmu". (QS. Ali Imron: 18)

    Pada ayat ini malaikat disebutkan secara mutlak sementara manusia disebutkan orang-orang yang berilmu saja.

       Definisi taklif ada dua:  

1. اِلْزَامُ مَا فِيْهِ كُلْفَةٌ  = “Mewajibkan sesuatu yang mengandung beban".

2. طَلَبُ مَا فِيْهِ كُلْفَةٌ = “Menuntut sesuatu yang mengandung beban”.

    Berdasarkan definisi pertama dan dialah yang kuat maka taklif itu terbatas pada wajib dan haram saja. Tidak termasuk sunnah, makruh dan mubah karena tidak ada pewajiban pada ketiganya. Sedangkan menurut definisi kedua maka taklif itu mencakupi semuanya selain mubah karena tidak ada tuntutan pada perkara yang mubah. Dengan demikian mubah bukanlah taklif berdasarkan dua definisi di atas.

    Kalau dikatakan: “Bagaimana ini bisa terjadi sedangkan menurut ulama, hukum-hukum syara' itu ada sepuluh. Lima macam wadh'iyyah, yakni khitob Alloh Swt. yang berhubungan dengan penjadian sesuatu sebagai sebab, syarat, mani', sohih atau fasid; dan lima macam taklifiyyah, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Maka dijawablah bahwa yang dimaksud dengan taklifiyyah di situ adalah keadaan hukum-hukum itu tidaklah berhubungan kecuali dengan orang mukalaf sebagaimana ditegaskan para ulama ushul fikih.

    Mengenai syarat taklif ada empat:

1.    Baligh

2.    Berakal

3.    Sampainya dakwah

4.    Selamatnya indera

 -------------------------

    Maka mukalaf itu adalah orang yang baligh serta berakal yang telah sampai dakwah kepadanya dan selamat inderanya.

    Penyebutan “baligh” mengecualikan anak kecil sehingga dia tidak tergolong mukalaf. Maka orang yang mati sebelum baligh termasuk orang yang selamat sekalipun dia anak orang kafir dan dia tidak akan disiksa karena kekafirannya, tidak pula karena sebab lainnya[15].

    Penyebutan “berakal” mengecualikan orang gila, maka tidaklah dia mukalaf. Demikian juga orang mabuk yang bukan lantaran kelalimannya. Lain halnya jika dia mabuk lantaran kelalimannya sendiri maka tetaplah dia mukalaf. Akan tetapi tempat yang demikian itu (bukan mukalaf) adalah jika dia baligh dalam keadaan gila atau mabuk dan keadaannya terus seperti itu sampai mati. Berbeda halnya jika dia baligh dalam keadaan berakal kemudian dia gila atau mabuk sedangkan dia bukan mukmin dan mati seperti itu maka tidaklah dia selamat.

    Penyebutan “sampainya dakwah” mengecualikan orang yang tidak sampai dakwah kepadanya lantaran dia tinggal di puncak gunung yang tinggi, maka tidaklah dia termasuk mukalaf berdasarkan pendapat yang lebih sahih. Berbeda halnya dengan orang yang berpendapat bahwa dia itu mukalaf karena adanya akal yang dianggap cukup dalam hal wajibnya makrifatulloh meskipun tidak sampai dakwah kepadanya.

    Berdasarkan syarat sampainya dakwah timbul pertanyaan; bisakah mencukupi dengan sampainya dakwah dari nabi yang mana saja walaupun Nabi Adam, karena tauhid itu bukanlah perkara yang khusus dengan umat ini ataukah diharuskan sampainya dakwah dari rasul yang memang diutus kepadanya...?

    Pendapat yang tahqiq sebagaimana dinukil dari Allamah Malawi dari Ubay dalam syarah Muslim bahwa diharuskan sampainya dakwah dari rasul yang memang diutus kepadanya. Maka Ahlul Fatroh, yakni mereka yang berada di antara zaman-zaman rasul atau berada pada zaman rasul yang tidak diutus kepada mereka adalah orang-orang yang selamat meskipun mereka menyembah patung berhala.

    Jika timbul pertanyaan: “Bagaimana ini sedangkan Nabi pernah mengkhabarkan bahwa sekelompok orang dari Ahlul Fatroh ada di dalam neraka seperti Imri'il Qoys, Hatim at-Thoo'i dan sebagian bapak para sahabat karena sebagian sahabat pernah bertanya kepada Nabi ketika beliau tengah berkhotbah: “Dimanakah bapakku...?” Lantas Nabi menjawab: “Di neraka!”.

    Maka dijawab bahwa Hadis-hadis yang dibawakan itu adalah Hadis Ahad[16] dan dia tidak boleh bertentangan dengan dalil qoth'i, yakni firman Alloh: وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا = “Dan Kami tidaklah akan menyiksa sehingga Kami mengutus seorang rosul”.[17] Dan juga karena ja'iznya mengazab orang yang sudah sah pengazabannya di antara mereka lantaran perkara khusus yang hanya diketahui oleh Allah dan rosul-Nya.

    Penyebutan “serta selamat inderanya” mengecualikan orang yang selainnya. Karena itulah sebagian ulama Syafi'iyyah berkata; “Kalau Alloh menciptakan seorang manusia dalam keadaan buta dan tuli maka gugurlah daripadanya kewajiban berfikir dan taklif”.

    Jika Anda telah mengetahui bahwa Ahlul Fatroh itu selamat berdasarkan pendapat yang rojih (unggul), maka dapatlah ditegaskan bahwa kedua orang tua Nabi adalah selamat juga karena termasuk Ahlul Fatroh.

    Perkataan pengarang dengan “menurut syara'” menunjukkan bahwasanya makrifat itu wajib dengan syara', bukan dengan akal. Ini adalah mazhabnya Asya'iroh. Maka menurut Asya'iroh makrifatulloh itu wajib dengan syara', begitu juga sekalian hukum karena tidak ada hukum sebelum syara', tidak hukum ushul'(pokok-pokok agama), tidak pula hukum furu' (cabang-cabang agama).

    Muktazilah berpendapat bahwa hukum-hukum itu semuanya tetap dengan akal. Karena itulah pengarang kitab Jam'ul Jawami' berkata: “Muktazilah menjadikan akal sebagai hakim” yakni akal dapat mencapai sekalian hukum meski syara' tidak pernah mendatangkannya. Menurut mereka syara' itu datang adalah untuk menguatkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh akal. Ini berarti mereka tidak menafikan syara' sama-sekali karena kalau demikian maka kafirlah mereka dengan pasti.

    Muktazilah mendasarkan pembicaraan mereka itu atas tahsin dan taqbih ( menganggap baik dan buruk ) yang keduanya ini dapat dicapai oleh akal. Maka yang baik menurut mereka adalah apa-apa yang dianggap baik oleh akal dan yang jelek adalah apa-apa yang dianggap jelek oleh akal. Apabila akal sudah mendapatkan bahwa satu perbuatan itu baik dengan sekira tercela orang yang meninggalkannya dan terpuji orang yang mengerjakannya maka dihukumkanlah perbuatan itu dengan wajib dan begitulah seterusnya.

    Sedangkan menurut Ahlus sunnah maka yang baik itu adalah apa-apa yang dipandang baik oleh syara' dan yang jelek adalah apa-apa yang dipandang jelek oleh syara'.

    Adapun menurut Maturidiyah; kewajiban makrifat itu adalah dengan akal. Kalau syara' tidak mendatangkannya maka akal-lah yang dapat mencapainya secara mandiri karena sudah terang dan jelasnya kewajiban seperti itu, bukan karena didasarkan atas tahsin aqli sebagaimana dikatakan oleh Muktazilah. Namun yang hak bahwa akal itu tidaklah dapat mencapai sesuatu secara mandiri.

    Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa terdapat tiga mazhab dalam hal tetapnya hukum:

1.   Mazhab Asya'iroh: Bahwa hukum-hukum itu semuanya tetap dengan syara', akan tetapi dengan syarat akal.

2.    Mazhab Maturidiyah: Bahwa kewajiban makrifat itu tetap dengan akal, bukan sekalian hukum.

3.    Mazhab Muktazilah: Bahwa hukum-hukum itu sekaliannya tetap dengan akal.

        Makrifat sama maknanya dengan ilmu yaitu: اَلْجَزْمُ الْمُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيْلٍ "Mantapnya keyakinan yang sesuai kebenaran serta berdasarkan dalil”.

    Kata-kata al-jazm (keyakinan yang mantap) mengecualikan zhon, syak dan waham. Zhon adalah satu keyakinan yang lebih kuat dibanding keraguannya. Syak adalah satu keyakinan yang sama kuat dengan keraguannya. Sedangkan waham adalah satu keyakinan yang lebih kecil dibanding keraguannya.

    Kata-kata “yang sesuai kebenaran” mengecualikan mantapnya keyakinan yang tidak sesuai dengan kebenaran seperti mantapnya keyakinan kaum Nashroni terhadap ajaran Trinitas.[18]

Kata-kata “berdasarkan dalil” mengecualikan mantapnya keyakinan yang sesuai kebenaran tapi tidak berdasarkan dalil karena yang demikian itu dinamakan dengan taklid.

Orang yang bersifat dengan zhon, syak dan waham pada akidah-akidah yang akan diterangkan nanti adalah kafir dengan ittifaq[19]. Adapun mereka yang bersifat dengan taklid dalam masalah-masalah akidah maka akan datang penjelasan tentang perbedaan pendapat yang ada di dalamnya.

Perkataan pengarang dengan: مَا قَدْ وَجَبَا artinya sekalian apa-apa yang wajib bagi Alloh. Akan tetapi mana di antaranya yang diterangkan secara tafshil (rinci) oleh dalil naqli dan aqli yakni 20 sifat yang nanti akan diterangkan maka wajiblah sekalian mukalaf untuk mengetahuinya secara tafshil pula. Dan mana di antaranya yang diterangkan secara ijmal (global) oleh dalil naqli dan aqli yakni segala macam sifat kesempurnaan maka wajiblah sekalian mukalaf untuk mengetahuinya secara ijmal pula. Seperti ini pula dikatakan pada yang mustahil.

Wajib adalah: مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ = “Sesuatu yang ketiadaannya tidak didapatkan pada akal”.

Wajib ada dua:

1.    Wajib Dhoruri seperti tahayyuz-nya jirim (benda) yakni mengambil bagian pada suatu tempat yang kosong.

2.    Wajib Nazhori seperti sifat-sifat Alloh.

Jaiz adalah: مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ تَارَةً وَعَدَمُهِ اُخْرٰى = "Sesuatu yang keberadaannya pada satu waktu dapat diterima akal dan pada waktu yang lain ketiadaannya pun dapat diterima akal”.

Jaiz ada dua:

1.    Jaiz Dhoruri[20] seperti bergeraknya jirim atau diamnya.

2.    Jaiz Nazhori[21] seperti mengazab orang yang taat meskipun dia tidak bermaksiat dan memberi pahala kepada pelaku maksiat meskipun dia kafir, karena pembicaraan di sini adalah tentang kemungkinan dari segi akal. Namun dari segi syara' hal yang demikian tidaklah mungkin terjadi.

    Sedangkan mumtani' maksudnya adalah mustahil. Para ulama mendefinisikannya dengan: مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ = “Sesuatu yang keberadaannya tidak didapatkan pada akal”.

    Mustahil ada dua:

1.   Mustahil Dhoruri seperti kosongnya jirim dari bergerak dan diam secara bersamaan.

2.    Mustahil Nazhori seperti adanya sekutu bagi Alloh Swt.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masing-masing dari bagian yang tiga itu terbagi kepada dhoruri dan nazhori sehingga semuanya menjadi enam.

    Sebagian ulama berkata bahwa ada kemungkinan meng-umpamakan bagian yang tiga itu dengan bergeraknya jirim dan diamnya. Maka yang wajib adalah salah satu dari keduanya. Yang mustahil adalah kosong dari kedua-duanya secara berbarengan. Dan yang jaiz adalah tetapnya salah satu dari keduanya sebagai ganti dari yang lainnya.

    Hukum-hukum ini sepantasnya mendapat perhatian karena Imam Haromain berkata bahwa mengetahui hukum-hukum tersebut adalah akal berdasarkan bahwa akal adalah ilmu tentang wajibnya segala yang wajib, jaiznya segala yang jaiz dan mustahilnya segala yang mustahil.

    Perkataan pengarang dengan: وَمِثْلُ ذَا لِرُسْلِهِ maksudnya: Dan wajib pula atas tiap-tiap mukalaf untuk mengetahui seumpama yang demikian (yakni wajib, mustahil, jaiz) bagi sekalian rosul-Nya. Pengarang mengisyaratkan dengan lafaz مِثْلُ (seumpama) kepada satu pemahaman bahwa yang wajib, mustahil dan jaiz pada sekalian rosul tidaklah sama dengan yang wajib, mustahil dan jaiz pada hak Alloh Swt.



[15]Berbeda halnya dengan Hanafiah dimana mereka berpendapat bahwa anak kecil yang berakal terkena taklif dengan iman karena adanya akal. Jika anak kecil itu meng-iktikadkan iman atau kafir maka perkaranya jelas namun jika dia tidak meng-iktikadkan salah satu dari keduanya maka jadilah dia penghuni neraka karena wajibnya iman atas dirinya dengan semata-mata akal.

[16]Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.

[17]Al-Isra' : 15.

[18]Tiga Tuhan yakni Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruhul Qudus.

[19]Kesepakatan ulama’.

[20]Suatu perkara yang tidak perlu banyak berfikir untuk memahaminya.

[21]Suatu perkara yang untuk memahaminya itu perlu pemikiran.

No comments:

Post a Comment

Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.