Monday, March 18, 2019

TERJEMAH KASYIFATUS SAJA Bag.41



وَفِي التَّوْرَاةِ يَا ابْنَ آدَمَ لَا تَخَفْ مِنْ سُلْطَانٍ مَا دَامَ سُلطَانِيْ بَاقِيًا وَسُلْطَانِيْ بَاقٍ لَا يَنْفُدُ أَبَدًا بِفَتْحِ الْفَاءِ وَبِالدَّالِ الْمُهْمَلَةِ أَيْ لَا يَفْنٰى وَلَا يَنْقَطِعُ
Dan di dalam kitab Taurot [terdapat keterangan]: "Wahai anak Adam (manusia)! Janganlah engkau takut kepada penguasa, selama kekuasaan-Ku masih ada, dan kekuasaan-Ku itu tetap ada lagi tidak pernah habis selamanya." Lafadz يَنْفُدُ, dengan huruf fa' yang difatkhah dan huruf dal yang tidak bertitik, maksunya adalah "tidak akan punah dan tidak akan pernah berhenti".

يَا ابْنَ آدَمَ خَلَقْتُكَ لِعِبَادَتِيْ فَلَا تَلْعَبْ
"Hai anak adam! Aku menciptakanmu untuk beribadah kepadaku, maka janganlah engkau bermain-main (menyia-nyiakan)."

يَا ابْنَ آدَمَ لَا تَخَافَنَّ فَوَاتَ الرِّزْقِ مَا دَامَتْ خَزَائِنِيْ مَمْلُوْءَةً وَخَزَائِنِيْ لَا تَنْفَدُ ًبَدًا
"Hai anak Adam! Janganlah engkau terlalu khawatir terpaut (tidak mendapatkan) rizki, selama gudang-gudang penyimpanan harta-Ku masih penuh terisi. Padahal gudang-gudang penyimpanan harta-Ku itu tidak akan pernah habis selamanya."

يَا ابْنَ آدَمَ خَلَقْتُ السَّمٰوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ أَعْيَ بِخَلْقِهِنَّ أَيُعْيِيْنِيْ رَغِيْفٌ وَاحِدٌ أُسَوِّقُهُ إِلَيْكَ فِيْ كُلِّ حِيْنٍ وَقَوْلُهُ أَعْيَ مُضَارِعُ عَيِيَ بِكَسْرِ عَيْنِ الْفِعْلِ مِنْ بَابِ تَعِبَ أَيْ وَلَمْ أَعْجُزْ وَيُعْيِيْ بِضَمِّ حَرْفِ الْمُضَارَعَةِ مِنْ أَعْيَا الرُّبَاعِيِّ

"Hai anak Adam! Aku ciptakan langit dan bumi, dan Aku tidak kesulitan dalam menciptakannya. Apakah mungkin menyulikan diri-Ku, sebuah roti yang Aku kirimkan kepadamu setiap saat?" Dan firman Alloh berupa lafadz أَعْيَ adalah fi'il mudhori' dari lafadz عَيِيَ, dengan dibaca kasroh 'ain fi'ilnya, temasuk dari bab تَعِبَ, yakni "Dan Aku tidak lemah." Sedangkan lafadz يُعْيِيْ, dengan dibaca dhommah huruf mudhoro'ahnya, adalah dari fi'il madhi أَعْيَا yang berwazan ruba'iy.

يَا ابْنَ آدَمَ كَمَا لَا أُطَالِبُكَ بِعَمَلِ غَدٍ فَلَا تُطَالِبْنِيْ بِرِزْقِ غَدٍ 
"Hai anak Adam! Sebagaimana Aku tidak menuntutmu dengan amal [ibadah] di hari esok, maka janganlah kamu menuntut-Ku dengan rizki di esok hari."

يَا ابْنَ آدَمَ لِيْ عَلَيْكَ فَرِيْضَةٌ وَلَكَ عَلَيَّ رِزْقٌ فَإِنْ خَلَفْتَنِيْ فِيْ فَرِيْضَتِيْ لَمْ أُخَالِفْكَ فِيْ رِزْقِكَ عَلٰى مَا كَانَ
"Hai anak Adam! Adalah hak bagi-Ku untuk membebani kewajiban padamu, dan sudah sepatutnya atas diri-Ku [untuk memberi] rizki kepadamu. Lalu jika kamu mengingkari-Ku dalam kewajiban pada-Ku, maka Aku tidak akan mengingkarimu dalam hal memberi rizki kepadamu, berdasarkan atas apa yang telah ditentukan adanya."

Ilmu Fiqih || BAB WASIAT

PENGERTIAN WASIAT
Wasiat menurut bahasa berasal dari bahasa Arab "وَصِيَّةٌ" yang berarti pesan.

Menurut istilah (syara’) artinya: "Pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia."

Pengertian di atas adalah pengertian wasiat dalam arti umum. Baik mengenai pekerjaan/perbuatan yang harus dilaksanakan maupun harta yang ditinggalkan bila seseorang meninggal dunia. Adapun dalam pembahasan bab ini adalah wasiat dalam arti khusus, yaitu hanya berkaitan dengan masalah harta. Jadi, yang dimaksud wasiat di sini adalah pesan seseorang untuk menasharrufkan/membelanjakan harta yang ditinggalkan jika ia telah meninggal dunia, dengan cara-cara yang baik yang telah ditetapkan. Misalnya, seseorang berwasiat: "Kalau saya meninggal dunia, mohon anak angkat saya diberikan bagian seperlima dari harta yang ditinggalkan."

HUKUM WASIAT
Landasan hukum wasiat adalah sebagaimana firman Alloh swt.:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ (البقرة : ١٨٠(

Artinya:
"Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."
(QS. Al-Baqarah/2: 180)

Jika dilihat dari segi obyek wasiat, maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut:
Wajib
Wajib, dalam hal yang berhubungan dengan hak Alloh, seperti zakat, fidyah, puasa dan lain-lain yang merupakan utang yang wajib ditunaikan.

Segolongan ulama dari fuqoha’ seperti Qotadah, Ibnu Hazm, Taus Ibnu Mussayab, Ishaq bin Rawahah berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Perintah wasiat dalam (QS. Al-Baqarah/2: 180) tidak mansukh (terhapus), tetapi tetap berlaku, yaitu untuk kerabat dekat yang tidak memperoleh bagian dalam warisan.

Sunah
Sunah, apabila berwasiat kepada selain kerabat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan mengharapkan ridho Alloh swt. Pendapat ini dikuatkan oleh jumhur ulama termasuk di dalamnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.

Nabi saw. bersabda:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيْدُ أَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ. (رواه الشيخان وغيرهما(

Artinya:
"Dari Ibnu Umar bahwasanya Rosululloh saw. Bersabda: ‘Tidaklah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkannya sampai lewat dua malam, kecuali wasiatnya itu dicatat'." (HR. Bukhari Muslim dan lain-lain)

Maksudnya ialah bahwa wasiat itu perlu segera dicatat atau disaksikan di depan orang lain.

Makruh
Makruh, apabila hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak, serta keadaan mereka sangat memerlukan harta warisan sebagai penunjang dalam hidupnya, atau biaya untuk melanjutkan sekolahnya.

Haram
Haram, apabila harta yang diwasiatkan untuk tujuan yang dilarang oleh agama. Misalnya, mewasiatkan untuk membangun tempat perjudian atau tempat maksiat.

RUKUN DAN SYARAT WASIAT 
Rukun wasiat adalah:
1. Orang yang mewasiatkan (mushi).
2. Orang/pihak yang menerima wasiat (musho lahu).
3. Harta/sesuatu yang diwasiatkan (musho bihi).
4. Ijab qabul (shighot wasiat).

Masing-masing rukun wasiat di atas mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Syarat-syarat orang yang berwasiat:
Baligh.
Berakal sehat.
Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak mana pun.

Syarat-syarat orang/pihak yang menerima wasiat:
Harus benar-benar ada, meskipun orang/pihak yang diberi wasiat tidak hadir pada saat wasiat diucapkan.
Tidak menolak pemberian yang berwasiat.
Bukan pembunuh orang yang berwasiat.
Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.

Rosululloh saw. bersabda:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللّٰهَ قَدْ أَعْطٰى لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. (رواه أحمد والترمذي(

Artinya:
Dari Abi Umamah Al-Bahili ra. berkata, Aku mendengar Rosululloh saw. bersabda di dalam khutbahnya di tahun haji wada’: “Sesungguhnya Alloh telah memberikan hak kepada orang yang punya hak, maka tidak adawasiat bagi ahli waris."  
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إِلَّا أَنْ يُجِيْزَ الْوَرَثَةُ. (رواه الدار قطني(

Artinya:
"Tidak boleh berwasiat kepada orang yang menerima warisan kecuali ahli-ahli warisnya membolehkannya." (HR. Daruquthni)

Syarat-syarat harta/sesuatu yang diwasiatkan:
Jumlah wasiat tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
Harus ada ketika wasiat diucapkan.
Harus dapat memberi manfaat.
Tidak bertentangan dengan hokum syara', misalnya, wasiat agar membuat bangunan megah di atas kuburannya.

Syarat-syarat shighat:
Kalimatnya dapat dimengerti atau dipahami, baik dengan lisan maupun tulisan.
Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

KADAR WASIAT 
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta yang dipunyai oleh orang yang berwasiat. Yaitu harta bersih setelah dikurangi utang apabila orang yang berwasiat meninggalkan utang. Misalnya, orang yang berwasiat meninggal dunia dan meninggalkan harta berupa uang satu milyar. Ternyata ia mempunyai utang 500 juta, maka uang wasiat yang dikeluarkan adalah sepertiga dari 500 juta, bukan sepertiga dari satu milyar.

Rosululloh saw. bersabda:

إِنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَلثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ. (رواه البخاري ومسلم(

Artinya:
Sesungguhnya Rosululloh saw. telah bersabda: Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak." (HR. Bukhori dan Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, banyak ulama menetapkan, sebaiknya wasiatitu kurang dari sepertiga bagian dari harta yang dimiliki, apalagi bila ahli warisnya terdiri dari orang-orang yang membutuhkan harta warisan untuk biaya hidup.
.
Ketika Sa'ad bin Abi Waqosh sakit bertanya kepada Nabi saw., "Apakah boleh aku berwasiat dua pertiga atau setengah dari harta yang kumiliki?" Rosululloh menjawab:

قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: اَلثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ. (رواه البخاري ومسلم(

Artinya:
"Tidak.” Saya bertanya lagi: “(Bagaimana kalau) sepertiga?” Nabi menjawab: “(Ya) sepertiga. Sepertiga itu pun banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan harus meminta-minta kepada orang lain." (HR. Bukhori dan Muslim)

Dengan demikian, maka menurut ketentuan hadis di atas, wasiat yang diberikan oleh orang yang akan meninggal adalah sepertiga dari harta yang dipunyainya. Meskipun seandainya orang yang akan meninggal tersebut mewasiatkan seluruh hartanya, maka tetap pelaksanaannya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang di tinggalkannya.

WASIAT BAGI ORANG YANG TIDAK MEM PUNYAI AHLI WARIS
Para ulama sepakat bahwa batas minimal harta yang diwasiatkan adalah sepertiga harta. Jika lebih dari itu hendaklah atas persetujuan ahli waris dan dengan catatan tidak menyebabkan mudhorot bagi ahli waris. Bahkan ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki mushi, meskipun ada persetujuan dari ahli waris.

Adapun kadar wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
Sebagian berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga harta miliknya. Alasan mereka didasarkan kepada hadis-hadis Nabi saw. yang shohih yang mengatakan bahwa sepertiga itu pun sudah banyak, dan Nabi saw. tidak memberikan pengecualian kepada orang yang tidak mempunyai ahli waris.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya. Mereka beralasan bahwa hadis-hadis Nabi saw. yang membatasi sepertiga adalah karena ada ahli waris yang sebaiknya ditinggalkan dalam keadaan cukup daripada dalam keadaan miskin. Maka apabila ahli waris tidak ada, pembatasan sepertiga itu tidak berlaku. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Ubadah, Masruq, dan diikuti oleh ulama-ulama Hanafiah.

HIKMAH WASIAT 
Menaati perintah Allah swt. sebagaimana tertuang dalam QS Al-Baqarah ayat 180.
Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia.
Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi kerabat atau orang lain yang tidak mendapat warisan.


IMAM GHOZALI MEMPEROLEH HIKMAH SAAT DIRAMPOK

Imam al-Ghozali di masa belajarnya rajin merangkum pelajaran para gurunya sehingga rangkuman itu menjadi sebuah kitab yang sangat dia sayangi, kitab itu dia beri nama "Ta'liqoh" (rangkuman atau ringkasan berbagai keterangan). Tentang ta'liqoh ini beliau memiliki pengalaman yang unik dan dapat dijadikan teladan oleh para santri dan para pelajar. Beliau bercerita:

Suatu ketika di tengah perjalanan, aku dan rombongan kafilah yang lain dihadang oleh para perampok, mereka mengambil seluruh bekal dan barang kami dengan paksa sehingga tidak ada yang tersisa. Pada saat itu aku sangat khawatir dengan buku ta'liqoh yang aku letakkan di dalam tas dan tas itu telah mereka rampas. Saat mereka pergi aku segera mengejar mengikuti mereka untuk menyelamatkan buku itu.

Pemimpin mereka berkata kepadaku: “Pergilah! Pulanglah! Jangan mengikuti kami atau engkau akan mati kami bunuh!”

Aku berkata: “Wahai fulan, Demi Alloh, aku minta, kembalikan kepadaku ta'liqoh itu!”

“Apa itu ta'liqoh?” Pemimpin perampok bertanya.

Aku segera menjawab: “Itu adalah buku rangkuman ilmu yang telah aku pelajari selama ini. Aku berkelana dan pergi mengembara jauh meninggalkan negara dan keluarga untuk mendapatkannya, agar dengannya aku menjadi ahli ilmu. Tolong kembalikan dia kepadaku! Toh buku itu tidak kalian butuhkan!”

Mendengar ucapanku itu tiba-tiba pemimpin perampok itu tertawa seakan-akan ia mengejekku dan karena ia tertawa, maka para perampok yang lainnya juga ikut tertawa bersamanya. Dia lalu berkata kepadaku: “Wahai pemuda, bagaimana engkau mengaku sebagai ahli ilmu bila ilmu tidak engkau hapal di dalam hatimu dan hanya engkau titipkan di dalam ta'liqoh itu! Apa jadinya jika buku itu tetap aku rampas dan tidak aku kembalikan kepadamu?! Ilmumu akan hilang dan pergi darimu sebagaimana hilangnya buku itu!” Kemudian pemimpin perampok itu memperintahkan para pengikutnya untuk mengembalikan buku itu kepadaku dan mereka segera pergi meninggalkan tempat itu.

Saat itu aku senang karena berhasil mendapat buku itu kembali, akan tetapi aku tertarik dengan kata-kata raja perampok itu. Aku pikir apa yang dia ucapkan adalah benar. Ini adalah nasihat dan hikmah yang dikirim oleh Alloh kepadaku melalui perampok itu, kalau begitu aku harus menghapal ilmu sehingga seandainya bukuku pergi atau hilang dariku, maka ilmu akan tetap bersamaku dan tidak hilang bersama buku itu. Itulah kesimpulan yang kudapat di dalam hatiku.

Setelah sampai di kota Thuus maka aku serius menghapalkan semua ilmu yang tertulis dalam ta'liqoh itu sehingga aku berhasil menyelesaikannya dalam masa tiga tahun.

 PUSTAKA:
Terjemah Bidayatul Hidayah terbitan PT. TOHA PUTRA SemarangRA Semarang

Monday, March 4, 2019

ILMU MAWARIS


PENGERTIAN ILMU MAWARIS
Mawaris (مَوَارِثُadalah bentuk jamak dari kata "Mirats (مِيْرَاثٌ)" yang artinya “harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia". Sedangkan menurut istilah ialah:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لَا يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَّةُ التَّوْزِيْعِ
Artinya:
"Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima warisan, orang-orang yang tidak berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris dan cara pembagiannya."

Atau juga didefinisikan dengan:
اَلْفِقْهُ الْمُتَعَلِّقُ بِالْإِرْثِ وَمَعْرِفَةِ الْحِسَابِ الْمُوْصِلِ إِلٰى مَعْرِفَةِ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ مِنَ التِّرْكَةِ لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ
Artinya:
"Pengetahuan yang berkaitan dengan harta warisan dan perhitungan untuk mengetahui kadar harta pusaka yang wajib diberikan kepada tiap orang yang berhak."

Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu Faroidh (فَرَائِضُ), bentuk jamak dari “Faridhoh (فَرِيْضَةٌ)" yang artinya "bagian tertentu” atau "ketentuan".

Disebut dengan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Dinamakan ilmu faroidh karena dalam ilmu ini dibicarakan bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan besarnya bagi masing-masing ahli waris. Kedua istilah tersebut prinsipnya sama, yaitu ilmu yang membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan tirkah (تِرْكَةٌ = harta peninggalan) orang yang meninggal.


HUKUM MEMPELAJARI ILMU MAWARIS
Kalau melihat hadis Nabi saw. yang memerintahkan mempelajari ilmu mawaris, maka hukum mempelajarinya adalah wajib.
اَلْأَصْلُ فِي الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
Artinya:
“Asal hukum perintah adalah wajib."

Pengertian wajib di sini adalah wajib kifayah. Jika di suatu tempat tertentu ada yang mempelajarinya, maka sudah terpenuhi tuntutan rosul. Tapi jika tidak ada yang mempelajarinya, maka semua orang berdosa.


Permasalahan yang muncul sekarang adalah banyak orang yang tidak memahami ilmu mawaris, sehingga sangat sulit mencari orang-orang yang benar-benar menguasai ilmu ini. Di sisi lain banyak anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, sehingga akibatnya mereka membagi harta warisan menurut kehendak mereka sendiri dan tidak berpijak pada cara-cara yang benar menurut Islam. Misalnya, pembagian harta warisan sama rata antara semua anak. Bahkan anak angkat memperoleh bagian, cucu mendapat bagian walaupun ada anak almarhum (orang yang meninggal) dan lain-lain. Kenyataan ini terutama akibat tidak memahaminya aturan yang digariskan dalam ilmu mawaris.


TUJUAN ILMU MAWARIS
Secara umum tujuan mempelajari ilmu mawaris adalah agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syari'at Islam.
Agar diketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa bagian masing-masing.
Menentukan pembagian harta warisan secara adil dan benar, sehingga tidak terjadi perselisihan di antara manusia yang dikarenakan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Alloh swt. berfirman:
تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ. وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا. وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ. وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِداً فِيْهَا. وَلَهٗ عَذَابٌ مُهِيْنٌ. (النساء: ١٣-١٤)
Artinya:
"Itulah batas-batas (hukum) Alloh. Barang siapa taat kepada Alloh dan rosul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung. Dan barang siapa mendurhakai Alloh dan rosul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan." (QS. An-Nisa’: 13-14)

KEDUDUKAN ILMU MAWARIS 
Ilmu mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu mawaris harta peninggalan seseorang dapat disalurkan kepada yang berhak, sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Karena pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam pandangan Alloh dan manusia.


Ilmu mawaris ini benar-benar harus dipahami, agar dapat dilaksanakan sebagai mana mestinya.

Rosululloh saw. bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوْا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسٰى وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِيْ. (رواه ابن ماجه والدار قطني)
Artinya:
Dari Abu Huroirah berkata, Rosululloh saw bersabda: “Hai Abu Huroiroh, pelajarilah faroidh dan ajarkanlah kepada orang lain, karena masalah ini adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan, serta ilmu itu yang pertama-tama akan dicabut dari umatku.” 
(HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)

SUMBER HUKUM ILMU MAWARIS
Al-Qur'an
Ketentuan-ketentuan tentang ilmu mawaris, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, pokok-pokoknya telah ditentukan oleh Al-Qur'an. Al-Qur'an telah menjelaskannya dengan jelas dan tegas. Bahkan tidak ada hukum-hukum yang dijelaskan secara terperinci seperti hukum mawaris ini, antara lain dijelaskan dalam QS. An-Nisa'/4: 7-14, 176, Al-Ahzab/33: 6, dan surah-surah lainnya.
Al-Hadits
Al-Hadis adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur'an. Sesuai dengan kedudukannya, Al-Hadis memberikan dorongan dan motivasi mengenai pelaksanaan mawaris.
Rosululloh saw. bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْسِمُوْا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلٰى كِتَابِ اللّٰهِ. (رواه مسلم وابو داود(
Artinya:
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, Rosululloh saw. telah bersabda: “Bagilah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut (ketentuan) kitab All
oh." (HR. Muslim dan Abu Daud)
Ijma' dan ijtihad
Ijma' dan ijtihad para ulama banyak berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan mawaris terutama menyangkut masalah teknisnya.

AYAT-AYAT MAWARIS
Ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan mawaris adalah QS. An-Nisa'/4: 7-14 dan 176. Sedangkan yang langsung berkaitan dengan ketentuan pembagian warisan adalah ayat 7, 11, 12, dan 176.
Ayat-ayat tersebut adalah:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا. (النساء: ٧(
Artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."
(QS. An-Nisa'/4: 7)

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهٗ وَلَدٌ وَوَرِثَهٗ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهٗ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِيْ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُوْنَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا. (النساء: ١١(
Artinya:
"Alloh mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakamu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Penbagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Alloh. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa’/4: 11)

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِيْنَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهٗٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوْٓا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصٰى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌ. (النساء: ١٢(
Artinya:
“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu), atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Alloh. Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa/4: 12)

يَسْتَفْتُوْنَكَ ۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَلَهٗ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِنْ كَانُوْا إِخْوَةً رِجَالًا وَّنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. (النساء: ١٧٦(
Artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Alloh memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati, dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Alloh menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nisã'/4: 176)

HIKMAH MEMPELAJARI ILMU MAWARIS
  1. Dapat memahami hukum-hukum Alloh yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
  2. Terhindar dari adanya kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta warisan di suatu tempat.
  3. Dapat dilaksanakannya pembagian harta warisan dengan benar.
  4. Terhindar dari adanya perselisihan di antara manusia dalam hal pembagian harta warisan karena ketidaktahuan dalam pembagian harta warisan.
SEBAB-SEBAB WARIS-MEWARISI
Sebab-sebab mewarisi dalam ketentuan syari'at Islam adalah karena empat sebab, yaitu:
Karena Hubungan Keluarga (Nasab)
Hubungan keluarga dalam hal ini biasa disebut dengan nasab hakiki, yakni hubungan darah atau keturunan atau kerabat, baik leluhur si mayit (ushul), keturunan (furu’) atau kerabat menyamping (hawasyi), yang tidak memandang laki-laki maupun perempuan, orang tua ataupun anak-anak, lemah maupun kuat. Semuanya menerima warisan sesuai ketentuan yang berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa' ayat 7. Waris-mewarisi karena hubungan ini dapat terjadi baik ke bawah, ke atas maupun ke samping.

Dilihat dari penerimaannya, hubungan kekerabatan ini dapat dibagi kepada tiga kelompok:
Ashabul furudh nasabiyah. Yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak mendapat bagian tertentu.
Ashobah nasabiyah. Yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak menerima bagian sisa dari ashabul furudh. Jika ashabul furudh tidak ada, maka mereka dapat menerima seluruh harta warisan, tetapi jika harta warisan habis dibagi, maka mereka tidak mendapat apa-apa.
Dzawil arham. Yaitu kerabat yang agak jauh nasabnya. Golongan ini tidak termasuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu, tapi mereka mendapat warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.

Karena Hubungan Perkawinan Yang Sah (Mushoharah)
Perkawinan yang sah menurut syari'at Islam, menyebabkan adanya saling mewarisi antara suami istri, selama hubungan perkawinan tersebut masih utuh. Jika statusnya sudah cerai, maka gugurlah saling mewarisi di antara keduanya, kecuali masa iddah pada talak raj'i.

Karena Hubungan Wala'
Wala' adalah hubungan kekeluargaan yang timbul karena memerdekakan hamba sahaya. Para ahli fiqih sering menyebutnya dengan nasab hukmi. Orang yang memerdekakan memperoleh hak wala', yakni berhak menjadi ahli waris dari budak tersebut.

Rosululloh saw. bersabda:
إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ. (متفق عليه(
Artinya:
"Sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan budak.” (HR. Bukhori Muslim)

Dalam hadis lain, Rosululloh saw. bersabda:
اَلْوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوْهَبُ. (رواه ابن حزيمة وابن حبان والحاكم(

Artinya:
“Hubungan wala' itu adalah hubungan kerabat seperti hubungan turunan, tidak dijual dan tidak diberikan." (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Dengan hak wala' ini, maka orang yang memerdekakan hamba (budak), jika orang yang dimerdekakan tersebut meninggal dunia, maka ia memperoleh warisan. Akan tetapi, tidak sebaliknya, jika orang yang memerdekakan meninggal dunia, maka orang yang dimerdekakan tidak mendapat warisan.

Karena Hubungan Agama
Jika orang Islam meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan maupun wala', maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan kaum muslimin. Itulah yang disebut hubungan agama dalam waris-mewarisi.
Rosululloh saw. bersabda:
أَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ. (رواه ابو داود واحمد(
Artinya:
“Saya menjadi ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Yang dimaksud Rosululloh menjadi ahli waris adalah bahwa Rosululloh itu menerima dan menyalurkannya kepada kaum muslimin, atau digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.

HALANGAN WARIS-MEWARISI
Ahli waris gugur haknya untuk mendapatkan warisan karena sebab-sebab di bawah ini:
HAMBA SAHAYA
Hamba sahaya tidak mendapatkan warisan, baik dari tuannya maupun dari orang tua kandungnya. Kecuali hamba tersebut sudah merdeka, ia mendapat warisan sebagaimana orang merdeka lainnya. Tapi ia tidak mendapat warisan dari orang yang memerdekakannya.

Alloh swt. berfirman:
... عَبْدًا مَمْلُوْكًا لَّا يَقْدِرُ عَلٰى شَيْءٍ (النحل: ٧٥(
Artinya:
“Hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu.” (QS. An-Nahl: 75)

PEMBUNUH
Orang yang membunuh keluarganya tidak mempunyai hak menerima warisan dari orang yang dibunuh. Artinya hak menerima warisan menjadi gugur karena membunuh. Misalnya, anak yang membunuh orang tuanya, maka ia tidak berhak mendapat warisan dari ayahnya.
Rosululloh bersabda:
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْءٌ (رواه النسائي(
Artinya:
"Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya." (HR. An-Nasa'i)

Dalam hadis lain ditegaskan:
مَنْ قَتَلَ قَتِيْلًا فَإِنَّهُ لَا يَرِثُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرُهُ وَإِنْ كَانَ لَهُ وَالِدُهُ أَوْ وَلَدُهُ فَلَيْسَ لِقَاتِلٍ مِيْرَاثٌ (رواه احمد(
Artinya:
"Barang siapa yang membunuh seseorang, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun orang yang dibunuh tidak mempunyai ahli waris selain dirinya, dan jika yang terbunuh itu ayah atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak ada hak untuk mewarisi."
(HR. Ahmad)

MURTAD
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang yang murtad gugur hak mewarisinya, baik itu dari atas, bawah maupun dari samping. Demikian pula sebaliknya, ia tidak dapat mewariskan hartanya kepada keluarganya yang muslim.

BERLAINAN AGAMA
Antara orang Islam dengan orang non Islam (kafir) tidak ada hak saling mewarisi, meskipun ada hubungan kerabat yang sangat dekat. Kedudukannya sama dengan orang murtad.
Rosululloh saw. bersabda:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ. (رواه احمد(
Artinya:
Dari Usamah bin Zaid, dari Nabi saw. bersabda: “Tidak mewarisi orang Islam dari orang kafir. Demikian pula orang kafir tidak pula mewarisi dari orang Islam." (HR. Jamaah)

AHLI WARIS
Ahli waris ialah orang-orang yang bisa memperoleh warisan dari seseorang yang meninggal dunia. Ahli waris dapat dilihat dari dua segi; Pertama, dari jenis kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kedua, dari segi haknya atas warisan, yaitu terdiri dari dzawil furudh dan ashobah.

Ahli waris laki-laki, terdiri dari:
Bapak.
Kakek (ayahnya bapak) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki seayah.
Saudara laki-laki seibu.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
Paman sekandung (saudara laki-laki bapak sekandung).
Paman sebapak (saudara laki-laki seayah).
Anak laki-laki paman sekandung.
Anak laki-laki paman seayah.
Suami.
Laki-laki yang memerdekakan budak.

Ahli waris perempuan, terdiri dari:
Ibu.
Nenek dari pihak ibu terus ke atas.
Nenek dari pihak bapak (tidak terus ke atas).
Anak perempuan.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.
Saudara perempuan sekandung.
Saudara perempuan seayah.
Saudara perempuan seibu.
Istri.
Perempuan yang memerdekakan hamba sahaya.
Apabila semua ahli waris perempuan masih hidup, maka yang berhak menerima warisan adalah anak perempuan, ibu, dan nenek.

Bila semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan masih ada (hidup) semua, maka yang mewarisi adalah:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Ayah.
Ibu.
Suami/istri.

FURUDH MUQODDAROH
Furudh (فُرُوْضٌ) artinya "bagian-bagian" dan muqoddaroh (مُقَدَّرَةٌ) artinya "yang ditentukan". Jadi, furudh muqoddaroh (فُرُوْضٌ مُقَدَّرَةٌ) artinya ahli waris yang bagian-bagian besarnya telah ditentukan di dalam Al-Qur'an.

Furudh al-muqoddaroh (فُرُوْضُ الْمُقَدَّرَةِ) ada enam, yaitu:
2/3 (dua pertiga)
1/2 (setengah)
1/3 (sepertiga)
1/4 (seperempat)
1/6 (seperenam)
1/8 (seperdelapan)


2/3 (DUA PERTIGA)
Ahli waris yang mendapat dua pertiga adalah:
Dua orang anak perempuan atau lebih, apabila tidak ada anak laki-laki.
Dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Saudara laki-laki kandung.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.

1/2 (SETENGAH)
Ahli waris yang memperoleh setengah adalah:
Anak perempuan tunggal, apabila tidak ada anak laki-laki.
Cucu perempuan tunggal, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Anak perempuan.
Saudara perempuan kandung tunggal, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Saudara perempuan sebapak tunggal, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki- laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak. 
Saudara perempuan kandung.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Suami, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.

1/3 (SEPERTIGA)
Ahli waris yang memperoleh sepertiga adalah:
Ibu, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, baik saudara sekandung, sebapak, maupun seibu.
Dua orang saudara atau lebih seibu, baik laki-laki maupun perempuan, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.

1/4 (SEPEREMPAT)
Ahli waris yang memperoleh seperempat adalah:
Suami, apabila ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Istri, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.

1/6 (SEPERENAM)
Ahli waris yang memperoleh seperenam adalah:
Bapak, jika ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Ibu, apabila ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, baik saudara sekandung, sebapak maupun seibu.
Nenek, baik dari pihak ibu atau bapak, apabila tidak ada ahli waris:
Ibu.
Bapak (khusus nenek dari pihak bapak).
Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Anak perempuan lebih dari satu orang. Artinya, jika hanya ada satu orang anak perempuan kandung, maka cucu perempuan memperoleh bagian seperenam.
Saudara perempuan sebapak, baik seorang atau lebih, dengan syarat bersamanya ada seorang saudara perempuan sekandung. Itu pun dengan syarat apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
Cucu perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Saudara seibu tunggal, baik laki-laki maupun perempuan, apabila tidak ada ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki. 
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.

1/8 (SEPERDELAPAN)
Ahli waris yang memperoleh seperdelapan adalah istri, apabila ada salah seorang ahli waris:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.

HIJAB NUQSHON & HIRMAN
Hijab (حِجَابٌ) artinya “penutup” atau “penghalang”. Maksudnya adalah penutup atau penghalang ahli waris yang semestinya mendapat bagian menjadi tidak mendapat bagian atau tetap menerima warisan, tetapi jumlahnya berkurang karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kekerabatannya.

Hijab ada dua macam:
Hijab Nuqshon (حِجَابٌ نُقْصَانٌ), yaitu penghalang yang dapat mengurangi bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris. Misalnya, istri bisa mendapat 1/4 warisan, karena ada anak maka ia mendapatkan 1/8.
Hijab Hirman (حِجَابٌ حِرْمَانٌ), yaitu penghalang yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kekerabatannya.

Ada ahli waris yang tidak bisa terhijab oleh ahli waris yang lainnya, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan. Uraian mengenai ahli waris yang dapat terhijab akan diuraikan pada bagian selanjutnya.


AHLI WARIS YANG TERHIJAB NUQSHON
Ahli waris yang terhijab nuqshon adalah sebagai berikut:
Ibu, terhijab oleh anak, cucu, dua orang saudara atau lebih.
Bapak, terhijab oleh anak atau cucu.
Suami atau istri, terhijab oleh anak atau cucu.
  
AHLI WARIS YANG TERHIJAB HIRMAN
Ahli waris yang terhijab hirman adalah sebagai berikut:
Cucu laki-laki terhijab oleh anak laki-laki.
Kakek dari bapak terhijab oleh bapak.
Saudara laki-laki sekandung terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Saudara laki-laki sekandung.
Saudara perempuan sekandung bersama dengan anak/cucu perempuan.
Saudara laki-laki seibu terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung (keponakan), terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Saudara perempuan sekandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
Paman kandung (saudara laki-laki bapak sekandung), terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
Paman (saudara laki-laki bapak sebapak) sebapak terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anaklaki-laki).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
Paman sekandung.
Anak laki-laki dari paman sekandung, terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anaklaki-laki).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
Paman sekandung.
Paman sebapak.
Anak laki-laki paman sebapak, terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anaklaki-laki).
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
Paman sekandung.
Paman sebapak.
Anak laki-laki paman kandung.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Dua anak perempuan atau lebih jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Nenek dari pihak bapak terhijab oleh bapak.
Nenek dari pihak ibu, terhijab oleh ibu.
Saudara perempuan kandung, terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Saudara perempuan sebapak terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bapak.
Saudara perempuan kandung dua orang atau lebih, jika tidak ada saudara laki-laki sebapak.
Seorang saudara perempuan bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Saudara perempuan seibu, terhijab oleh:
Anak laki-laki.
Anak perempuan.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.


DZAWIL FURUDH DAN ‘ASHOBAH
Dzawil furudh (ذَوِي الْفُرُوْضِ) artinya yang mempunyai bagian tertentu. Maksudnya ahli waris yang bagiannya sudah tertentu, sebagaimana sudah dijelaskan dalam fasal furudh muqaddaroh (فُرُوْضٌ مُقَدَّرَةٌ).

Sedangkan 'ashobah (عَصَبَةٌ) menurut bahasa artinya "pembela atau penolong". Dan menurut istilah syar'i adalah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya dengan kadar tertentu. Ia menerima bagian setelah ahli waris dzawil furudh menerima bagiannya. Oleh karena itu, ashobah ini mungkin saja menerima semua sisa, atau sebagian sisa, atau bahkan tidak menerima sama sekali, karena harta yang dibagikan telah habis diberikan kepada dzawil furudh.

Pembagian dzawil furudh dan 'ashobah ini dapat diklasifikasikan kepada empat kelompok:
Ahli waris yang menerima sebagai dzawil furudh saja dan tidak akan menerima 'ashobah, yaitu:
Suami.
Istri.
Saudara laki-laki seibu.
Saudara perempuan seibu.
Ibu.
Nenek dari pihak bapak.
Nenek dari pihak ibu.
Ahli waris yang menerima bagian sebagai 'ashobah saja. Dengan kemungkinan bisa menerima seluruh harta warisan, menerima sisa harta atau mungkin sama sekali tidak menerimanya. Mereka adalah:
Anak laki-laki.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Saudara laki-laki sekandung.
Saudara laki-laki sebapak.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
Paman sekandung.
Paman sebapak.
Anak laki-laki paman sekandung.
Anak laki-laki paman sebapak.
. Ahli waris adakalanya sebagai dzawil furudh dan adakalanya sebagai ashobah, yaitu:
Anak perempuan.
Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Saudara perempuan kandung.
Saudara perempuan sebapak
Ahli waris yang adakalanya menerima bagian sebagai dzawil furudh, adakalanya sebagai ashobah dan adakalanya sekaligus sebagai dzawil furudh dan 'ashobah. Mereka adalah:
Bapak.
Kakek dari pihak bapak.

MACAM-MACAM 'ASHOBAH
Adapun tentang 'ashobah terbagi kepada tiga bagian, yaitu:
'Ashobah binafsih (عَصَبَةٌ بِنَفْسِهِ).
Ashabah binafsih yaitu menerima sisa harta karena dirinya sendiri, bukan karena sebab lain. Yang termasuk ashobah binafsih adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara laki-laki seibu. Rosululloh saw. bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْحِقُوْا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلٰى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه(
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rosululloh saw. bersabda: “Berikanlah ketentuan-ketentuan warisan itu kepada yang berhak, kemudian jika masih sisa untuk ahli waris laki-laki yang lebih dekat."
(HR. Bukhori Muslim)

'Ashobah bil ghoiri (عَصَبَةٌ بِالْغَيْرِ).
‘Ashobah bil ghoiri yaitu ahli waris yang menerima sisa harta karena bersama dengan ahli waris laki-laki yang setingkat dengannya. Yang termasuk ‘ashobah ini adalah ahli waris perempuan yang bersamanya ada ahli waris laki-laki, yaitu:
Anak perempuan, jika bersamanya ada anak laki-laki.
Cucu perempuan, jika bersamanya ada cucu laki-laki.
Saudara perempuan kandung, jika bersamanya ada saudara laki-laki kandung.
Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya ada saudara laki-laki sebapak.

'Ashobah ma'al ghoiri (عَصَبَةٌ مَعَ الْغَيْرِ).
‘Ashobah ma'al ghoiri yaitu menjadi ‘ashobah karena bersama-sama dengan ahli waris perempuan dalam garis lain, yakni mereka yang menerima harta sebagai dzawil furudh. Jadi, bersama dengan ahli waris lain yang tidak setingkat. Yang termasuk 'ashobah ini adalah ahli waris perempuan yang bersamanya ada ahli waris perempuan yang tidak segaris/setingkat, yaitu:
Saudara perempuan kandung, jika bersamanya ada ahli waris:
Anak perempuan (satu orang atau lebih), atau
Cucu perempuan (satu orang atau lebih).

Saudara perempuan sebapak, jika bersamanya ada ahli waris:
Anak perempuan (satu orang atau lebih), atau
Cucu perempuan (satu orang atau lebih).

Rosululloh saw. bersabda:
قَضٰى رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْاِبْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ الْاِبْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَلِلْأَخْتِ مَا بَقِيَ. (رواه الجماعة إلا المسلم والنسائي من ابن مسعود(
Artinya:
"Rosululloh saw. menetapkan untuk anak perempuan setengah bagian, cucu perempuan (dari anak laki-laki) seperenam bagian untuk mencukupi dua pertiga bagian, dan sisanya untuk saudara perempuan." (HR. Jamaah, kecuali Muslim dan Nasa'i dari Ibnu Mas'ud)

BAGIAN MASING-MASING AHLI WARIS
Di bawah ini akan dijelaskan tentang pembagian masing-masing ahli waris, dengan kemungkinan-kemungkinan kadar bagiannya, atau kemungkinan memperoleh atau tidaknya.
Anak laki-laki.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Mendapatkan semua harta warisan, apabila tidak ada anak perempuan, ibu bapak dan suami/istri.
Sebagai 'ashobah binafsih, setelah diambil bagian dzawil furudh. Dan akan memperoleh seluruh sisa jika tidak ada anak perempuan. Bila ada anak perempuan, maka bagiannya adalah dua kali bagian perempuan.

Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Jika tidak terhijab, ia sebagai ‘ashobah binafsih; bisa memperoleh seluruh sisa warisan, jika tak ada cucu perempuan dari anak laki-laki; jika ada cucu perempuan (dari laki-laki), bagiannya dua kali bagian cucu perempuan.
Tidak memperoleh warisan (terhijab), bila ada anak laki-laki.

Bapak.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Dapat terhijab nuqshon.
1/6 bagian, jika ada ahli waris anak atau cucu laki-laki.
1/6 bagian ditambah 'ashobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan.
'Ashobah, jika tidak ada anak atau cucu baik laki-laki maupun peempuan.

Kakek dari pihak bapak.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman, jika ada bapak.
1/6 bagian jika ada anak atau cucu laki-laki.
1/6 bagian ditambah 'ashobah, jika ada anak atau cucu perempuan.
Sebagai ‘ashobah, apabila tidak ada anak/cucu laki-laki maupun perempuan.

Saudara laki-laki sekandung.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki atau bapak.
'Ashobah binafsih, bisa memperoleh seluruh sisa warisan.
1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara, baik laki-laki maupun perempuan.

Saudara laki-laki sebapak.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung.
'Ashobah binafsih.
1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara sebapak baik laki-laki maupun perempuan.

Saudara laki-laki seibu.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki, bapak, kakek dari pihak bapak.
1/3 bagian jika terdiri dari dua orang atau lebih.
1/6 bagian jika hanya satu orang.

Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari saudara sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman sebapak.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman.
Bisa 'ashobah binafsih.

Suami.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab nuqshon, jika ada anak atau cucu.
1/2 bagian jika tidak ada anak atau cucu.
1/4 bagian jka ada anak atau cucu.

Anak perempuan.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Tidak dapat terhijab.
1/2 bagian jika hanya seorang dan tidak ada anak laki-laki.
2/3 bagian jika lebih dari satu orang dan tidak ada anak laki-laki.
'Ashobah bil ghoiri jika ada anak laki-laki.

Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Dapat terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, dua anak perempuan atau lebih.
1/2 bagian, jika hanya seorang, tidak ada cucu laki-laki, atau seorang anak perempuan.
2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki atau seorang anak perempuan.
1/6 bagian, jika ada anak perempuan tapi tidak ada cucu laki-laki.

Ibu.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab nuqshon, jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih.
1/3 bagian jika tidak ada anak cucu, atau dua orang saudara atau lebih.
1/3 dari sisa, jika termasuk gharawain. Gharawain adalah jika ahli waris terdiri dari suami, ibu dan bapak, atau istri, ibu dan bapak.
1/6 bagian jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih.

 Nenek.
Kemungkinan memperoleh warisan
:
Bisa terhijab hirman, jika ada anak, ibu atau bapak.
1/6 bagian (untuk seorang atau dua orang nenek) jika tidak ada anak, ibu atau bapak).

Saudara perempuan kandung.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak.
1/2 bagian, jika hanya seorang atau tidak ada anak, cucu perempuan atau saudara laki-laki sekandung.
2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak, cucu perempuan, atau saudara laki-laki sekandung.
Bisa 'ashobah bil ghoiri, jika ada saudara laki-laki kandung.
Bisa 'ashobah ma'al ghoiri, jika tidak ada saudara laki-laki kandung, tapi ada ahli waris anak perempuan, atau cucu perempuan, atau anak, dan cucu perempuan.

Saudara perempuan sebapak.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, dua orang atau lebih saudara perempuan kandung atau saudara perempuan kandung bersama anak/cucu perempuan.
1/2 bagian, jika seorang dan tidak ada saudara laki-laki, bapak, anak, cucu perempuan atau saudara perempuan kandung.
2/3 bagian, jika terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak ada ahli waris anak, cucu perempuan, saudara laki-laki sebapak atau saudara perempuan kandung.
1/6 bagian, jika ada seorang saudara perempuan kandung tetapi tidak ada anak, cucu perempuan atau saudara laki-laki sebapak.
‘Ashobah bil ghoiri jika ada saudara laki-laki sebapak.
'Ashobah ma'al ghoiri, jika tidak ada saudara laki-laki sebapak, atau saudara perempuan kandung. Tetapi ada ahli waris anak perempuan atau cucu perempuan.

Saudara perempuan seibu.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, bapak, atau kakek dari pihak bapak.
1/3 bagian jika terdiri dari dua orang atau lebih.
1/6 bagian jika hanya seorang.

Istri.
Kemungkinan memperoleh warisan:
Bisa terhijab nuqshon, jika ada anak atau cucu.
1/4 bagian, jika tidak ada anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan.
1/8 bagian jika ada anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan.

CARA PEMBAGIAN WARISAN
Dalam pembagian harta warisan ini, selain harus mengetahui hukum-hukumnya, juga kita perlu mengetahui ilmu berhitung atau cara menghitung harta warisan. Ada kaidah-kaidah perhitungan yang harus diketahui, sehingga selain memudahkan cara pembagiannya, juga dapat membagi harta warisan dengan benar.

Di antara cara menghitung bagian masing-masing ahli waris adalah dengan cara dicari dahulu asal masalah, yaitu bilangan bulat yang digunakan untuk membagi harta warisan. Caranya adalah sebagai berikut:

Jika ahli waris hanya terdiri dari ahli waris 'ashobah binafsih, maka asal masalahnya adalah sejumlah ahli waris yang ada:
Misalnya:
Ahli waris terdiri dari 5 orang anak laki-laki. Maka asal masalahnya adalah lima. Cara pembagian warisannya langsung dibagi 5, dan masing-masing ahli waris mendapat satu bilangan.

Jika ahli waris hanya terdiri dari ahli waris 'ashobah laki-laki dan perempuan, maka untuk laki-laki dua kali lipat perempuan, dengan cara dikalikan dua.
Misalnya:
Ahli waris terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan. Cara mencari asal masalahnya:
(4 × 2) + 3 = 11.
Cara pembagian harta warisnya:
Harta dibagi 11; untuk anak laki-laki masing-masing dua bagian dan masing-masing anak perempuan satu bagian.

Jika ahli waris hanya satu orang ahli waris dzawil furudh, maka asal masalahnya adalah angka "penyebut" bagian ahli waris yang bersangkutan
Misalnya:
Ahli waris hanya seorang anak perempuan. Bagian seorang anak perempuan adalah 1/2. Maka asal masalahnya adalah 2. Cara pembagian harta warisnya adalah:
Harta warisan : 2 = bagian anak perempuan.
Ahli waris hanya seorang saudara perempuan seibu. Bagiannya adalah 1/6. Maka asal masalahnya adalah 6. 
Cara pembagian harta warisannya adalah: 
harta warisan : 6 = bagian saudara perempuan seibu.

Jika ahli waris terdiri dari ahli waris dzawil furudh dua orang atau lebih, baik ada ahli waris 'ashobah atau tidak, maka mencari asal masalahnya dengan cara mencari "kelipatan persekutuan terkecil (KPK)" dari angka penyebut bagian masing-masing ahli waris.
Misalnya:
Seseorang meninggal, ahli warisnya: seorang anak perempuan, suami, dan bapak. Bagian anak perempuan 1/2, suami 1/4, dan bapak 'ashobah/sisa. Asal masalah atau KPK dari 1/2 dan 1/4 adalah 4.
Anak perempuan = 1/2 × 4 = 2
Suami = 1/4 × 4 = 1
Bapak = 4 - (2 + 1) = 1

Cara pembagian akhir harta warisannya adalah:
Anak perempuan = 2/4 × 4 = 2
Suami = 1/4 × 4 = 1
Bapak = 1/4 × 4 = 1

CONTOH PERMASALAHAN
PERTANYAAN:
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta Rp. 48.000.000,00. Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu, dan dua anak laki-laki. Berapakah bagian masing-masing ahli waris tersebut?

JAWABAN:
Bagian istri 1/6, bagian ibu 1/8, dua anak laki-laki adalah 'ashobah/sisa. Asal masalah atau KPK dari 1/6 dan 1/8 adalah 24. Sehingga bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
Istri = 1/6 × 24 = 4
Ibu = 1/8 × 24 = 3
2 anak laki-laki = 24 - (4 + 3) = 17

Langkah akhir pembagian harta warisannya:
Istri = 4/24 × Rp. 48.000.000,00 = Rp. 8.000.000,00
Ibu = 3/24 × Rp. 48.000.000,00 = Rp. 6.000.000,00
2 anak laki-laki = 17/24 × Rp. 48.000.000,00 = Rp. 34.000.000,00

Jumlah:
Rp. 8.000.000,00 + Rp. 6.000.000,00 + Rp. 34.000.000,00
= Rp. 48.000.000,00


PERMASALAHAN DALAM PEMBAGIAN WARISAN
1. AL-AUL
Al-Aul artinya bertambah. Dalam ilmu faroidh aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak daripada asal masalahnya, sehingga asal masalahnya harus ditambah atau diubah.
Misalnya:
Ahli waris terdiri dari suami dan 2 orang saudara perempuan kandung. Bagian suami 1/2 dan dua saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalahnya adalah 6.

Suami: 1/2 × 6 = 3
2 saudara (perempuan) kandung: 2/3 × 6 = 4
Jumlah bagian: (3 + 4) = 7

Asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7, ini berarti tidak cocok. Agar harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris dengan adil, maka asal masalah dinaikkan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya adalah:

Suami: 3/7 × harta warisan
2 saudara (perempuan) kandung:  4/7 × harta warisan

Ahli waris terdiri dari istri, ayah, ibu dan dua anak perempuan. Harta peninggalan sebesar Rp. 81.000,-. Bagian masing-masing adalah: istri 1/8, ayah 1/6 dan 2 anak perempuan 2/3. Asal masalahnya 24. Cara menghitungnya adalah:

Istri: 1/8 × 24 = 3
Ayah: 1/6 × 24 = 4
Ibu: 1/6 × 24 = 4
2 anak perempuan: 2/3 × 24 = 16
Jumlah bagian: (3 + 4 + 4 + 16) = 27

Asal masalahnya 24 sedangkan jumlah bagian 27, sehingga cara perhitungan akhirnya adalah:

Istri: 3/27 × 81.000,- = 9.000,-
Ayah: 4/27 × 81.000,- = 12.000,-
Ibu: 4/27 × 81.000,- = 12.000,-
2 anak perempuan: 16/27 × 81.000,- = 48.000,-

Jumlah bagian:
(9.000,- + 12.000,- + 12.000,- + 48.000,-) = 81.000,-

Ahli waris terdiri dari istri, ibu, dua saudara perempuan kandung dan seorang saudara seibu. Harta peninggalan Rp. 45.000.000,-. Bagian masing-masing adalah: Istri 1/4, ibu 1/6, dua saudara perempuan kandung 2/3 dan seorang saudara seibu 1/6. Asal masalahnya 12.

Istri: 1/4 × 12 = 3
Ibu: 1/6 × 12 = 2
2 saudara (perempuan) kandung: 2/3 × 12 = 8
Seorang saudara seibu: 1/6 × 12 = 2
Jumlah: (3 + 2 + 8 + 2) = 15

Asal masalahnya 12, sedangkan jumlah bagian 15. Maka asal masalah dinaikkan menjadi 15. Cara perhitungan akhirnya:

Istri: 3/15 × 45.000.000,- = 9.000.000,-
Ibu: 2/15 × 45.000.000,- = 6.000.000,-
2 saudara (perempuan) kandung:  8/15 × 45.000.000,- = 24.000.000,-
1 saudara seibu:  2/15 × 45.000.000,- = 6.000.000,-

Jumlah:
(9.000.000,- + 6.000.000,- + 24.000.000,- + 6.000.000,-) = 45.000.000,-



2. AR-RODD

Ar-Rodd (ar-roddu) yaitu: “Mengembalikan”. Menurut istilah faroidh ialah “Membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut bagiannya masing-masing.


Ar-Rodd ini dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih ada sisa harta. Sedangkan di antara ahli waris tidak ada ‘ashobah. Maka sisa harta tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada, kecuali suami/istri.

Contoh penyelesaian dengan Rodd:
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan ibu. Bagian anak perempuan 1/2 dan ibu 1/6. Asal masalahnya berarti 6.

Anak perempuan: 1/2 × 6 = 3
Ibu: 1/6 × 6 = 1
Jumlah: (3 + 1) = 4

Asal masalah (KPK) adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4, maka penyelesaian dengan rodd asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Sehingga cara penyelesaian akhirnya adalah sebagai berikut:

Anak perempuan: 3/4 × harta warisan = ...
Ibu: 1/4 × harta warisan = ...

Cara penyelesaian di atas adalah apabila tidak ada suami atau istri. Apabila ada suami atau istri, maka cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

Seseorang meninggal dengan meninggalkan harta sebesar Rp. 18.000.000,-. Ahli waris terdiri dari istri, dua orang saudara seibu da ibu. Bagian istri 1/4, dua orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri: 1/4 × 12 = 3
Dua saudara seibu: 1/3 × 12 = 4
Ibu: 1/6 × 12 = 2
Jumlah bagian: (3 + 4 + 2) = 9

Karena ada istri, maka sebelum sisa harta warisan dibagikan, hak untuk istri diambil dulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi.

Maka untuk istri: 
3/12 × Rp. 18.000.000,- = Rp. 4.500.000,-

Sisa warisan setelah diambil istri berarti:
(Rp. 18.000.000,-) - (Rp. 4.500.000,-) = Rp. 13.500.000,-

Kemudian sisa warisan Rp. 13.500.000,- ini dibagi untuk dua orang saudara seibu dan ibu, yaitu dengan cara bilangan pembaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris, yaitu 4 + 2 = 6. Maka bagian masing-masing adalah:

Dua saudara seibu: 4/6 × Rp. 13.500.000,- = Rp. 9.000.000,-
Ibu: 2/6 × Rp. 13.500.000,- = Rp. 4.500.000,-
Jumlah: (Rp. 9.000.000,- + Rp. 4.500.000,-) = Rp. 13.500.000,-

Maka perolehan akhir masing-masing ahli waris adalah:

Istri = Rp. 4.500.000,-
Dua orang saudara seibu = Rp. 9.000.000,-
Ibu = Rp. 4.500.000,-
Jumlah:
(Rp. 4.500.000,- + Rp. 9.000.000,- + Rp. 4.500.000,-) = Rp. 18.000.000,-

3. GHOROWAIN
Ghorowain yaitu dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah:

Pertama, pembagian warisan jika ahli warisnya: suami, ibu, dan bapak.
Kedua, pembagian warisan jika ahli warisnya: istri, ibu, dan bapak.

Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Tholib dan Zaid bin Tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqoha. Dua hal tersebut di atas dianggap sebagai masalah karena jika dibagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil daripada ibu. Untuk itu dipakai pedoman perhitungan khusus sebagaimana di bawah ini:

Untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah: suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak 'ashobah. Misalnya, harta peninggalan Rp. 30.000.000,-. Cara pembagiannya adalah sebagai berikut:

Suami: 1/2 × Rp. 30.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Sisa = Rp. 15.000.000,-
Ibu: 1/3 x Rp. 15.000.000,- = Rp. 5.000.000,-
Bapak 'Ashobah = Rp. 10.000.000,-
Jumlah = Rp. 30.000.000,-

Untuk masalah kedua maka bagian masing-masing adalah istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak 'ashobah. Misalnya, harta peninggalan Rp. 60.000.000,-. Cara pembagiannya adalah sebagai berikut:

Istri: 1/4 × Rp. 60.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Sisanya = Rp. 45.000.000,-
Ibu: 1/3 × Rp. 45.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Bapak 'Ashobah = Rp. 30.000.000,-
Jumlah = Rp. 60.000.000,-

4. MASALAH MUSYAROKAH
Musyarokah atau musyarikah artinya yang diserikatkan. Yaitu jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris semestinya memperoleh warisan, tetapi tidak memperolehnya, maka disyarikatkan kepada ahli waris lain yang memperoleh bagian.

Masalah musyarikah ini terjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara seibu, dan saudara laki-laki sekandung. Jika dihitung menurut kaidah mawaris yang umum, saudara laki-laki tidak mendapatkan warisan. Padahal saudara laki-laki kandung lebih kuat daripada saudara seibu. Sebagaimana dapat dilihat dalam pembagian di bawah ini:

Suami = 1/2 = 3/6 = 3
Ibu = 1/6 = 1/6 = 1
2 orang saudara seibu = 1/3 = 2/6 = 2
Saudara laki-laki kandung 'Ashobah = 0 = tidak mendapat bagian.

Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang dikuti oleh Imam Tsauri, Syafi'i dan lain-lain, pembagian seperti di atas tidak adil. Maka untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu di dalam bagian yang 1/3 (dibagi dua untuk dua orang saudara seibu dan saudara sekandung). Sehingga penyelesaiannya dapat dilihat dalam pembagian di bawah ini:

Suami = 1/2 = 3/6 = 3
Ibu = 1/6 =1/6 = 1
2 saudara seibu dan saudara (laki-laki) sekandung = 1/3 = 2/6 = 2
Jumlah = (3 + 1 + 2) = 6

Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata, meskipun di antara mereka ada ahli waris laki-laki maupun perempuan.

5. MASALAH AKDARIYAH
Akdariyah artinya mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek menyusahkan saudara perempuan dalam pembagian warisan. Masalah ini terjadi ketika ada orang yang meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari: Suami, ibu, saudara perempuan kandung/sebapak, dan kakek.
Menurut kaidah umum, pembagian mereka adalah:

Suami = 1/2 = 3/6 = 3
Ibu = 1/3 = 2/6 = 2
Saudara perempuan = 1/2 = 3/6 = 3
Kakek = 1/6 = 1/6 = 1
Jumlah = (3 + 2 + 3 + 1) = 9
Asal masalah 6, dan dapat diselesaikan dengan aul = 9.

Dalam pembagian di atas, kakek memperoleh bagian yang lebih kecil daripada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam susunan ahli waris. Bahkan kakek adalah garis laki-laki, yang biasanya memperoleh bagian lebilh besar daripada perempuan. Maka dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dalam cara penyelesaiannya, yaitu:
Menurut pendapat Abu Bakar ra., saudara perempuan kandung/sebapak mahjub oleh kakek. Sehingga bagian yang diperoleh oleh masing-masing ahli waris adalah: suami 1/4, ibu 1/3, kakek 'ashobah, dan saudara perempuan terhijab hirman.
Menurut pendapat Umar bin Khoththob dan Ibnu Mas'ud, untuk memecahkan masalah di atas, maka bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu tidak lebih besar daripada bagian kakek. Sehingga bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris adalah: suami 1/2, ibu 1/6, saudara perempuan 1/2 dan kakek 1/6. Diselesaikan dengan aul.
Menurut pendapat Zaid bin Tsabit, cara menyelesaikan masalah akdariyah tersebut dengan cara menghimpun bagian saudara perempuan dan kakek lalu membaginya dengan prinsip laki-laki memperoleh dua kali bagian perempuan. Sebagaimana jatah pembagian umum, saudara perempuan 1/2, dan kakek 1/6. 1/2 dan 1/6 digabungkan lalu dibagikan untuk berdua dengan perbandingan pembagian saudara perempuan dan kakek 2 : 1.

HAL-HAL YANG BERKENAAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
Jika seseorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris terlebih dahulu ditunaikan kewajiban-kewajiban almarhum/almarhumah, yang berkaitan dengan harta. Masalah-masalah yang berkaitan dengan harta tersebut antara lain:
Biaya penyelenggaraan jenazah. 
 Pelunasan utang, jika ada. 
ⓒ Pelaksanaan wasiat.

PENETAPAN AHLI WARIS YANG MENDAPAT BAGIAN
Setelah menyelesaikan persoalan-persoalan di atas, harus dilaksanakan "itsbatul waris" penetapan ahli waris yang berhak menerima waris. Dalam itsbatul waris ini harus dilakukan secara cermat dengan langkah-langkah sebagai berikut:
ⓐ Meneliti siapa saja yang menjadi ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan maupun karena sebab lainnya.
  Meneliti siapa saja yang terhalang nerima warisan. Misalnya, karena membunuh atau beda agama.
      Meneliti ahli waris yang dapat terhijab.
Menetapkan ahli waris yang berhak menerima warisan, setelah melakukan perhitungan yang tepat tentang jumlah harta peninggalan almarhum/almarhumah.

CARA PEMBAGIAN SISA HARTA ('ASHOBAH)
Yang dimaksud dengan sisa harta warisan adalah:
ⓐ  Sisa harta setelah semua ahli waris menerima bagiannya.
ⓑ  Sisa harta karena orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris.
Di dalam menyelesaikan masalah di atas, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
Jumhur sahabat, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama Syi'ah berpendapat:
Dibagikan kembali kepada dzawil furudh selain suami/istri dengan jalan rodd.
Bila tidak ada ahli waris, maka harta warisan diberikan kepada dzawil arham.
Bila dzawil arham pun tidak ada, maka harta peninggalan diserahkan ke baitul mal.

Imam Malik, Imam Syafi'i, Al-Auza'i dan lain-lain berpendapat bahwa sisa harta warisan, baik setelah ahli waris mendapatkan bagiannya maupun karena tidak ada ahli waris tidak boleh diselesaikan dengan jalan rodd maupun diserahkan kepada dzawil arham, tetapi harus diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan umat Islam.

BAGIAN ANAK DALAM KANDUNGAN
Anak yang masih dalam kandungan jika ditinggalkan ayahnya merupakan masalah yang belum dapat dipastikan jika dikaitkan dengan masalah mawaris. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:
Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekerabatan yang sah dengan si mayit, maka perlu diperhatikan tenggang waktu antara akad nikah dengan usia kandungan. Jika usia kandungan lebih tua daripada usia akad nikah, maka bayi tidak berhak memperoleh warisan.
Belum bisa dipastikan jenis kelamin dan jumlah bayi dalam kandungan. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah:
Laki-laki, seorang atau lebih.
Perempuan; seorang atau lebih.
Laki-laki dan perempuan.
Banci dan lain-lain.

Belum bisa dipastikan, apakah janin akan lahir dalam keadaan hidup atau mati.
Jika warisan dibagikan, maka ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Misalnya, ada yang terhijab nuqshon maupun hirman. Atau mungkin melebihi yang diperkirakan, misalnya, kalau bayi lahir meninggal.

Bayi yang lahir dalam keadaan hidup mempunyai hak warisan dari ayahnya yang meninggal. Rosululloh saw. bersabda:
إِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُوْدُ وَرِثَ (رواه أصحاب السنن(

Artinya:
"Jika anak yang dilahirkan berteriak, maka ia diberi warisan." (HR. Ashab Al-Sunan)

لَا يَرِثُ الصَّبِيُّ حَتّٰى يَسْتَهِلَّ (رواه أحمد(
Artinya:
"Bayi dalam kandungan tidak berhak mewarisi sehingga berteriak." (HR. Ahmad)

Jalan keluar dalam masalah di atas adalah:
Para ahli waris yang ada boleh mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kecuali ahli waris yang terhijab hirman dengan lahirnya anak, tidak mengambil dahulu sampai ada kepastian kelahiran bayi.
Apabila harta warisan dapat dijaga dan pembagiannya tidak mendesak, maka pembagian warisan ditunda sampai bayi lahir.

BAGIAN ORANG YANG HILANG
Yang dimaksud hilang di sini adalah orang yang tidak lagi diketahui keberadaannya dalam jangka waktu yang relatif lama. Tidak diketahui beritanya di mana tempat tinggalnya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.

Orang yang hilang tersebut sebagai muwarrits (orang yang meninggalkan harta warisan) maupun ahli waris (orang yang mendapatkan harta warisan), sehingga pengurusan hartanya dapat dilaksanakan sebagai berikut:
Apabila kedudukannya sebagai muwarrits.
Harta orang yang hilang ditahan sampai ada kepastian keberadaannya, atau ada kepastian hidup atau matinya.
Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Abdul Hakam ditunggu sampai batas usia lebih kurang 70 tahun.

Apabila kedudukannya sebagai ahli waris.
Harta warisan dibagikan, dan ia (orang yang hilang) diberikan bagian sebagaimana bagian semestinya. Jika ia masih hidup dan datang, maka bagiannya itu diserahkan. Kalau ternyata sudah meninggal, maka bagiannya diserahkan kepada ahli waris lain yang berhak.

BAGIAN ORANG YANG MENINGGAL BERSAMA-SAMA

Orang yang meninggal dalam waktu yang bersamaan, baik itu karena kecelakaan; seperti tabrakan, tenggelam, kebakaran, dan lain-lain, maupun peperangan, atau karena penyakit, tidak saling waris mewarisi meskipun ada hubungan kekerabatan yang dekat atau karena pernikahan. Sebab adanya saling waris-mewarisi karena adanya dua pihak yang berlainan, yakni al-muwarrits (orang yang mewariskan harta) sudah meninggal, sementara al-warits (orang yang mewarisi/menerima warisan) masih dalam keadaan hidup.

Pendapat di atas semula dipegang oleh Abu Bakar dan Umar, lalu diikuti oleh jumhur fuqoha’. Antara lain Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan lain-lain.

Dengan demikian, karena tidak saling mewarisi, maka harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup. Misalnya; suami, istri dan anak meninggal bersama-sama, dan meninggalkan harta, maka harta mereka dibagikan kepada masing-masing ahli warisnya yang masih hidup

HIKMAH PEMBAGIAN WARISAN
Menghindarkan terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta warisan.
Menghindari timbulnya fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah adalah pembagian harta warisan yang tidak benar.
Dapat mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya.
Menjunjung tinggi hukum Alloh dan sunah Rosululloh.