Thursday, August 12, 2021

KAIDAH FIQIH: TETAP BERLAKUNYA HUKUM ASAL

اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلٰى مَا كَانَ

Hukum Asal Adalah Ketetapan yang Telah Dimiliki Sebelumnya

Kaidah ini menandaskan bahwa suatu perkara yang telah berada pada satu kondisi tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain. Alasan utama mengapa hukum yang pertama harus dijadikan pijakan, karena dasar segala sesuatu adalah tidak berubah atau tetap seperti sediakala (بَقَاءٌ). Sementara kemungkinan untuk merubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum. Contohnya, seseorang yang ragu apakah sudah berhadats atau belum, maka yang dijadikan ukuran (مِعْيَارٌ) adalah kondisi yang sebelumnya. Apabila pada kondisi sebelumnya ia belum wudhu, maka ia dihukumi berhadats. Tapi bila sebelumnya ia sudah pernah wudhu, maka ia tetap dihukumi suci.          ،

Contoh lain adalah seseorang yang ketika sholat Jum’at meragukan apakah sholat yang ia laksanakan sudah keluar waktu atau belum. Keraguan semacam ini tidak akan mempengaruhi keabsahan sholat yang sedang dilaksanakan. Sebab, keluarnya waktu adalah sebuah kemungkinan yang bersifat baru, padahal kondisi asalnya, waktu sholat Jum’at itu masih tetap ada, dan secara otomatis kondisi asal itu tetap bertahan (اِسْتْمْرَارٌ) hingga sholat selesai dilaksanakan.

Contoh selanjutnya adalah seseorang yang sudah berniat wudlu sebelum membasuh muka yang merupakan permulaan rukun wudhu. Niat itu ia ucapkan saat melaksanakan kesunahan wudlu, baik saat berkumur atau memasukkan air ke lubang hidung (istinsyaq). Ketika mulai membasuh muka, barulah timbul keraguan dalam hatinya, apakah niat yang sudah dilakukan sejak berkumur itu masih tetap ada atau hilang. Dalam kondisi semacam ini, wudhunya tetap dihukumi sah, karena keraguan tersebut bara timbul dan bersifat spekulatif. Padahal sebelumnya ia telah meyakini bahwa dirinya telah berniat sehingga niat tersebut dianggap ada dan berlangsung hingga ia membasuh mukanya.

Dalam ushul fiqih, substansi kaidah ini dikenal dengan istilah istishhab (اِسْتِصْحَابٌ), yang secara etimologis berarti 'menetapi' dan 'tidak berpisah'. Sedangkan dalam terminologi ushul fiqih, pemaknaannya disesuaikan dengan topik bahasan. Dalam kajian tentang lafadz yang ‘am (عَامٌّ) dan khash (خَاصٌّ), misalnya, istishhab dimaknai sebagai menjaga ke-umum- an (universalisme) kata hingga ada dalil yang meng-khusus-kannya. Sementara dalam istilah fiqih, istishhab dimaknai sebagai "Tetapnya hukum atas keberadaan atau ketidak beradaannya". Dalam artian, jika sebelumnya sudah 'ada', maka selanjutnya tetap dihukumi 'ada'. Begitupun jika sebelumnya 'tidak ada', maka pada masa selanjutnya tetap dihukumi 'tidak ada'.

Secara garis besar, fuqaha kemudian membagi istishhab dalam dua pemilahan berikut:

1.      Istishhab al-madhi li al-hal (اِسْتِصْحَابُ الْمَاضِيْ لِلْحَالِ), yakni bila ada suatu perkara yang berada dalam satu kondisi tertentu pada masa lalu (zaman madhi) maka pada masa kini (zaman hal) ia tetap dihukumi seperti keadaan semula, selama belum ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

2.     Istishhab al-hal li al-madhi (اِسْتِصْحَابُ الْحَالِ  لِلْمَاضِيْ), yakni suatu perkara yang pada saat sekarang (zaman hal) berada dalam satu kondisi tertentu, dimana keberadaannya sama persis seperti pada masa lalu. Dengan catatan, tidak ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

Sementara kaidah yang sedang kita bahas saat ini lebih identik dengan bagian yang pertama (baca; Istishhab al-hal li al-madhi).

Pengecualian Kaidah Istishhab:

Jika ada seseorang yang dititipi (mūda’ = مُوْدَعٌ) mengaku telah mengembalikan barang yang dititipkan, maka pengakuannya bisa diterima dengan disertai sumpah. Padahal jika mengikuti kaidah diatas, mūda’ seharusnya dianggap belum mengembalikan barang yang dititipkan kepadanya -walaupun telah bersumpah- selama belum ada kepastian bahwa barang itu sudah dikembalikan. Sebab kondisi asalnya adalah, barang itu tetap berada di tangan mūda’.

Dalam persoalan mengusap muzah, ketika ada seorang muqīm (orang yang tidak bepergian) meragukan apakah ketika dia mengusap itu telah genap sehari semalam; yakni batas maksimal diperbolehkannya mengusap muzah tanpa membasuh kaki saat wudhu. Jika demikian kondisinya, maka ia tidak diperkenankan mengusap muzah dan wajib membasuh kedua kakinya ketika bewdhu. Padahal jika ditilik 'hukum asalnya', maka perbuatannya belum lewat sehari semalam.

 

No comments:

Post a Comment

Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.