Saturday, May 9, 2015

Jual Beli Mercon untuk Berhariraya (MUKTAMAR NU KE-2 NO.32)

Masalah
Sahkah jual beli petasan (mercon-Jawa) untuk merayakan hari raya atau pengantin dan lain-lain sebagainya?
Putusan
Jual beli tersebut hukumnya sah karena ada maksud baik, yaitu adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Referensi
[1] I’anahtuth Thalibin
وَ أَمَّا صَرْفُهُ فِي الصَّدَقَةِ وَ وُجُوْهِ الْخَيْرِ وَالْمَطَاعِمِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْهَدَايَا الَّتِي لاَ تَلِيْقُ بِهِ فَلَيْسَ بِتَبْذِيْرٍ . (وَقَوْلُهُ لَيْسَ بِتَبْذِيْرٍ) أَيْ عَلَى الأَصَحِّ لأَنَّ لَهُ فِي ذَلِكَ غَرْضًا صَحِيْحًا وَهُوَ الثَّوَابُ وَالتَّلَذُّذُ. وَمِنْ ثَمَّ قَالُوْا لاَ إِسْرَافَ فِي الْخَيْرِ وَلاَ خَيْرَ فِي الإِسْرَافِ.
Artinya :
Adapun mempergunakan atau menyalurkannya pada sedekah dan berbagai jalur kebaikan: makanan, pakaian, dan hadiah yang tidak layak baginya maka tidak termasuk mubadzir. (Penjelasan: tidak termasuk mubadzir), yaitu menurut pendapat yang lebih benar, karena dalam hal demikian itu, ia bertujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang. Oleh karenanya, mereka mengatakan: “Tiada berlebihan dalam kebaikan dan tidak ada kebaikan dalam berlebihan.
 [2] Fathul Qarib
)بَيْعُ عَيْنٍ مُشَاهَدَةٍ) أَيْ حَاضِرَةٍ (فَجَائِزٌ) إِذَا وُجِدَتْ الشُرُوْطُ مِنْ كَوْنِ اْلمَبِيْعِ طَاهِرًا مُنْتَفَعًا بِهِ مَقْدُوْرًا عَلَى تَسْلِيْمِهِ لِلْعَاقِدِ عَلَيْهِ وِلاَيَةٌ.
Artinya :
Jual beli sesuatu yang tampak jelas itu boleh, jika memang memenuhi berbagai persyaratan, seperti barang yang dijual itu suci, bisa dimanfaatkan, bisa diserahkan dan bagi yang bertransaksi mempunyai kuasa (terhadap barang tersebut).
 [3] Hasyiyah al-Jamal
وَالْحَقُّ فِي التَّعْلِيْلِ أَنَّهُ (أَيْ اَلدُّخَانَ) مُنْتَفَعٌ بِهِ فِي الْوَجْهِ الَّذِي يُشْتَرَى لَهُ وَهُوَ شُرْبُهُ إِذْ هُوَ مِنَ الْمُبَاحَاتِ لِعَدَمِ قِيَامِ دَلِيْلٍ عَلَى حُرْمَتِهِ فَتَعَاطِيْهِ انْتِفَاعٌ بِهِ فِي وَجْهٍ مُبَاحٍ. وَلَعَلَّ مَا فِي حَاشِيَةِ الشَّيْخِ مَبْنِيٌّ عَلَى حُرْمَتِهِ وَعَلَيْهِ فَيُفْرَقُ بَيْنَ الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ كَمَا عُلِمَ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ فَلْيُرَاجِعْ.
Artinya :
Dan yang benar dalam ta’lil-nya (alasannya), bahwa rokok itu bermanfaat sesuai dengan tujuan dibelinya yaitu menghisapnya, dan mengingat rokok itu termasuk barang mubah (boleh), karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka menggunakan rokok berarti memanfaatkannya dalam bentuk yang mubah (boleh). Mungkin penjelasan yang terdapat dalam Hasyiyatusy Syaikh, berangkat dari keharamannya. Atas dasar ini, harus dibedakan antara yang sedikit dan yang banyak, seperti telah diketahui dari penjelasan yang kami kemukakan. Karena itu, ia hendaknya mengkaji ulang.
 [4] Hasyiyah Ali asy-Syibramalisi
فَائِدَةٌ - وَقَعَ السُّؤَالُ فِي الدَّرْسِ عَنِ الدُّخَانِ الْمَعْرُوْفِ فِي زَمَانِنَا هَلْ يَصِحُّ بَيْعُهُ أَمْ لاَ وَالْجَوَابُ عَنْهُ الصِّحَةُ ِلأَنَّهُ طَاهِرٌ مُنْتَفَعٌ بِهِ كَتَسْخِيْنِ الْمَاءِ وَنَحْوِهِ كَالتَّظْلِيْلِ بِهِ.
Artinya :
Faidah – Dalam suatu pengajaran muncul pertanyaan tentang rokok yang dikenal pada masa sekarang ini, apakah boleh diperjual-belikan atau tidak? Jawabnya: sah/boleh, karena termasuk barang yang suci dan bermanfaat sama seperti memanaskan air dan lainnya seperti mendinginkan sesuatu dengan air itu.
----------------------------------------------------------------------------------- 
Catatan Kaki :
-[1] Zainudin al-Mailibari, Fathul Mu’in dan dan al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi I’anahtuth Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.), Jilid III, h. 71.
-[2] Ibnu Qasim al-Ghazzi, Fathul Qarib dalam Hasyiyatul Bajuri, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th), Jilid I, h. 340-341.
-[3] Sulaiman al-Jamal, Hasyiyatul Jamal ‘ala Fathil Wahhab, (Beirut: Darul Fikr, t. th.), Jilid III, h. 24.
-[4] Ali asy-Syibramalisi, Hasyiyah Ali asy-Syibramalisi dalam Syamsuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1357 H./1938 M.), Jilid III, h. 381.


Membeli Barang Seharga Rp. 0.50,- dengan Menyerahkan Uang Satu Rupiah (MUKTAMAR NU KE-2 NO.31)

I. Masalah
Apa pendapat Muktamar terhadap orang yang membeli barang seharga Rp. 0.50,- (setengah rupiah) dengan menyerahkan uang sebesar Rp. 1,- (satu rupiah) kemudian ia menerima barang dengan pengembalian Rp. 0.50,-, sahkah jual beli tersebut atau tidak? Karena menyerupai jual beli "muddu ajwah" (campuran)?

II. Putusan
Jual beli tersebut hukumnya sah menurut Imam Syafi’i, dan sebagian ulama Malikiyyah.

III. Referensi
[1] Syams al-Isyraq

قَالَ الدُّسُوْقِي نَقْلاً عَنْ شَيْخِهِ الْعَدَوِي وَالْعَلاََّمَةِ الدَّرْدِيْرِ أَجَازَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ فِي الرِّيَالِ الْوَاحِدِ أَوْ نِصْفِهِ أَوْ رُبُعِهِ لِلضَّرُوْرَةِ كَمَا أُجِيْزَ صَرْفُ الرِّيَالِ الْوَاحِدِ بِالْفِضَّةِ الْعَدَدِيَّةِ وَكَذَا نِصْفِهِ وَرُبُعِهِ لِلضَّرُوْرَةِ وَإِنْ كَانَتِ الْقَوَاعِدُ تَقْتَضِى الْمَنْعَ.

Artinya :
Ad-Dusuqy menukil dari gurunya al-Adawy dan ad-Dardiri bahwa sebagian dari mereka memperbolehkan jual beli mata uang (riyal dengan dirham), seperti satu riyal, setengah atau seperempatnya karena darurat, sebagaimana diperbolehkan menukar satu riyal dengan uang pecahan logam perak, demikian juga setengah riyal atau seperempatnya karena darurat, meskipun menurut kaidah-kaidahnya itu dilarang.

[2] Al-Umm

لَوْ بَاعَهُ ثَوْبًا بِنِصْفِ دِيْنَارٍ فَأَعْطَاهُ دِيْنَارًا وَأَعْطَاهُ صَاحِبُ الثَّوْبِ نِصْفَ دِيْنَارٍ ذَهَبًا لَمْ يَكُنْ بِذَلِكَ بَأسٌ لأَنَّ هَذَا بَيْعٌ حَادِثٌ غَيْرَ الْبَيْعِ الأَوَّلِ.

Artinya :
Seandainya penjual menjual baju dengan harga setengah dinar, kemudian pembeli memberi satu dinar, dan si pemilik baju kemudian memberinya setengah dinar emas, maka yang demikian itu tidak mengapa (sah), karena ini merupakan penjualan yang baru, bukan penjualan yang pertama.

Catatan Kaki:
-------------------------------------------------------------------------
- [1] Muhammad Ali al-Maliki, Syamsul Isyraq fi Hukmit Ta’amuli bil Arwaq, (Mesir: Dar Ihyail Kutub al-Arabiyah, 1921 M), h. 14.
-[2]  Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm, (Mesir: Matba’ah al-Fanniyah al-Muttahidah, 1381 H/1961 M), Cet.ke-1, Jilid III, h.32.

Membeli Barang yang Belum Diketahui Sebelum Akad (MUKTAMAR NU KE-2 NO.30)

I. Masalah
Apa pendapat Muktamar tentang membeli barang yang belum diketahui sebelum akad, seperti: susu dalam kaleng, bawang merah dalam tanah, kelapa dalam sabutnya. Sahkah jual beli semacam ini?

II. Putusan
Jual beli tersebut hukumnya sah. Menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Hanafi, tetapi Imam Syafi’i dalam Qaul Jadid menilai tidak sah.

III. Referensi

[1] Mirqatu Shu’udit Tashdiq


)وَمَا لَمْ يَرَهُ) قَبْلَ الْعَقْدِ حَذَرًا مِنَ الْغَرَرِ أَيْ الْخَطَرِ، لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ أَيِ الْبَيْعِ الْمُشْتَمِلِ عَلىَ الْغَرَرِ فِي الْمَبِيْعِ.  قَالَ الْحِصْنِي وَ فِي صِحَّةِ بَيْعِ ذَلِكَ قَوْلاَنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَصِحُّ وَبِهِ قَالَ الأَئِمَّةُ الثَّلاَثَةُ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا مِنْهُمُ الْبَغَوِي وَالرَّوْيَانِي. وَالْجَدِيْدُ الأَظْهَرُ أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ لأَنَّهُ غَرَرٌ.



Artinya :
Tentang sesuatu yang tidak diketahui sebelum akad karena khawatir adanya tipu daya yang membahayakan, sesuai dengan hadits riwayat Muslim: “Bahwa Rasulullah Saw. melarang jual beli yang mengandung al-gharar” yakni jual beli sesuatu barang yang mengandung unsur tipuan. Menurut al-Hishny, pendapat tiga imam madzhab dan sebagian dari para Imam kita di antaranya al-Baghawi serta al-Rauyany: sah hukumnya jual beli tersebut. Adapan menurut qaul jadid yang jelas itu tidak sah, karena mengandung unsur penipuan.
 
Catatan Kaki :
-[1] Muhammad Nawawi al-Jawi, Mirqatu Shu’udit Tashdiq ‘ala Sullamit Taufiq, (Semarang: Usaha Keluarga, t. th.), h. 53.

Jual Belu “Sende” (MUKTAMAR NU KE-2 NO.29)


Soal :
Bagaimana pendapat Muktamar tentang jual beli “sende”,  yaitu menjual barang dengan perjanjian sebelum akad, bahwa barang tersebut akan dibeli lagi dengan harga tertentu,  sahkah atau tidak jual beli semacam ini? Dan wajibkah pembeli menepati janji?

Jawab :
Hukum jual beli tersebut sah, asal perjanjian tersebut tidak dalam akad atau tidak di dalam majelis khiyar, dan bagi pembeli wajib menepati janjinya. Jual beli seperti inidisebut dengan "bai’ul ‘uhdah" (jual beli dengan janji).

Referensi :
[1] Tarsyih Wa al-Nazha'ir :

)تَنْبِيْهٌ) اعْلَمْ أَنَّ بَيْعَ الْعُهْدَةِ الشَّهِيْرَ بِحَضَرَ مَوْتَ الْمَعْرُوْفَ فِي مَكَّةَ الْمُكَرَّمَةِ بِبَيْعِ النَّاسِ وَبَيْعِ عُدَّةٍ وَأَمَانَةٍ صَحِيْحٌ إِذَا جَرَى مِنْ مُطْلَقِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ وَلَمْ يُذْكَرِ الْوَعْدُ فِيْهِ فِي نَفْسِ الْعَقْدِ وَلاَ ذِكْرٌ بَعْدَهُ فِي زَمَنِ الْخِيَارِ، وَصُوْرَتُهُ كَمَا فِي فَتَاوِي حج أَن يَتَّفِقَا عَلَى بَيْعِ عَيْنٍ بِدُوْنِ قِيْمَتِهَا عَلَى أَنَّ الْبَائِعَ مَتىَ جَاءَ بِالثَّمَنِ رَدَّ الْمُشْتَرِى عَلَيْهِ مَبِيْعَهِ وَأَخَذَ ثَمَنَهُ ثُمَّ يُعْقِدَانِ عَلَى ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَشْتَرِطَاهُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ  . وَإِنْ وَقَعَ خَارِجَ الْعَقْدِ لَزِمَ الْمُشْتَرِيَ مَا الْتَزَمَهُ وَوَعَدَ بِهِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ دَفْعِ الْبَائِعِ الثَّمَنَ فِي الْوَقْتِ الْمَشْرُوْطِ إِيْقَاعُ الْفَسْخِ وَقَبْضُ الثَّمَنِ.
Artinya :
    (Peringatan) Ketahuilah! Bahwa jual beli bertempo yang terkenal di Hadlromaut dan populer di Mekkah dengan sebutan bai’u al-nas, bai’u ‘uddah wa amanah adalah sah jika berlangsung dari muthlaq al-tasharruf (orang yang boleh membelanjakan hartanya secara mutlak) dan perjanjian tersebut tidak disebutkan dalam akad dan setelahnya, yakni dalam masa khiyar.
     Bentuknya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Fatawa Ibn Hajar, kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sepakat untuk menjual sesuatu, dengan catatan jika si penjual kelak datang kembali dengan (membawa uang) senilai barang yang telah dijualnya, maka si pembeli harus mengembalikan barang tersebut dan mengambil kembali uang penjualan semua. Kemudian keduanya melakukan transaksi tanpa mensyaratkan (penjualan kembali barang yang sudah dijual tersebut kepada si penjual) pada waktu akad.
     Jika kesepakatan itu terjadi di luar akad, maka si pembeli harus menepati kesanggupan dan janjinya, dan ketika si penjual memberikan kepada si pembeli nilai harga pada waktu yang disyaratkan, maka si pembeli harus membatalkan akad jual belinya dan menerima harga (uang dari si penjual).

Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya (MUKTAMAR NU KE-2 NO.28)

Soal :
Bagaimana hukum orang yang menerima gadai dengan mengambil manfaatnya, misalnya, sebidang tanah yang digadaikan, kemudian diambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad diadakan demikian itu, baik sudah menjadi kebiasaan atau sebelum akad memakai syarat atau dengan perjanjian tertulis, tetapi tidak dibaca pada waktu akad, hal demikian itu apakah termasuk riba yang terlarang atau tidak?

Jawab :
Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):

  1. Haram: Sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente).
  2. Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat.
  3. Syubhat: (Tidak tentu jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.
Adapun Muktamar memutuskan, bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram).
 
Referensi :
[1] al-Asybah wan Nazha'ir


لَوْ عَمَّ فِي النَّاسِ اِعْتِيَادُ إِبَاحَةِ مَنَافِعِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَلْ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ حَتىَّ يَفْسُدَ الرَّهْنُ؟ قَالَ الْجُمْهُوْرُ لاَ وَقَالَ الْقَفَّالُ نَعَمْ

Artinya :
Seandainya sudah umum di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai bagi pemberi pinjaman/penerima gadai, apakah kebiasaan itu dianggap sama dengan menjadikannya sebagai syarat, sehingga akad gadainya rusak? Jumhur ulama’ berpendapat : “Tidak diposisikan sebagai syarat.” Sedangkan al-Qaffal berpendapat : “Ya (diposisikan sebagai syarat)”.

[2] I'anatut Thalibin

وَجَازَ لِمُقْتَرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَالأَجْوَدِ لِلرَّدِئِ (بِلاَ شَرْطٍ) فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ. وَأَمَّا الْمُقْتَرِضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرِ: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.
------------------------------------------------------------
(قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ.



Artinya :
Diperbolehkan bagi si pemberi pinjaman untuk memperoleh keuntungan (sesuatu kelebihan) dari peminjam, seperti pengembalian yang lebih dalam ukuran atau sifatnya, dan yang lebih baik pada pinjaman yang jelek asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai persyaratan, bahakan disunatkan bagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu (mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya). Adapun peminjaman dengan syarat adanya keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman, maka hukumnya fasid (rusak), sesuai dengan hadis : “Semua yang menarik sesuatu manfaat (keuntungan bagi pemberi pinjaman) maka termasuk riba.” 
 -----------------------------------------------------------
(Ungkapan penulis : “maka hukumnya fasid (rusak).”) Berkata Ali as-Syabramallisi, Dengan ini diketahui bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad. Sedangkan jika keduanya (si peminjam dan pemberi pinjaman) secara kebetulan melakukan praktik tersebut, dan tanpa disyaratkan dalam akad, maka akad tu tidak rusak (boleh).

Mengkhitankan Anak Setelah Beberapa Hari dari Hari Kelahirannya (MUKTAMAR NU KE-1 NO.27)

SOAL : 
Bagaimana hukum mengkhitankan anak sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya? Boleh ataukah tidak? Sedangkan dalam kitab Khazinatul Asrar diterangkan bahwa mengkhitankan anak sebelum berumur 10 tahun tidak boleh.

JAWAB :
Mengkhitankan sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya itu boleh. Adapun sunatnya adalah sesudah berumur 7 hari atau 40 hari atau umur 7 tahun. 

Keterangan, dalam kitab:
1. Mauhibah Dzi al-Fdhl [1]

 فَفِي التُّحْفَةِ فَإِنْ أَخَّرَ عَنْهُ أَي الْخِتَانَ عَنِ السَّابِعِ فَفِي اْلأَرْبَعِيْنَ وَإِلاَّ فَفِي السَّنَةِ السَّابِعَةِ لِأَنَّهَا وَقْتُ أَمْرِهِ بِالصَّلاَةِ أَمَّا مَا ذَكَرَهُ فِيْ خَزِيْنَةِ اْلأَسْرَارِ فَمَحْمُوْلٌ فِيْمَا إِذَا كَانَ الصَّبِيُّ ضَعِيْفًا لاَ يَقْدِرُ اْلإِخْتِتَانَ إِلاَّ بَعْدَ عَاشِرِ سَنَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ

Artinya :
Dalam kitab al-Tuhfah disebutkan, jika mengakhirkan khitan melampaui hari ke tujuh maka dilaksanakan pada hari ke empat puluh (dari kelahirannya), kalau tidak maka pada tahun ke tujuh yang merupakan waktu diperintahkannya untuk melaksanakan shalat. Adapun yang disebutkan dalam kitab Khazinatul Asrar, maka dipahami jika si anak itu lemah tidak mampu berkhitan kecuali setelah berumur sepuluh tahun sesuai dengan pendapat para pakar.

Catatan kaki:
  • [1] Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Jilid IV, h. 706.