Sunday, December 17, 2017

MERAYAKAN MAULID NABI MUHANNAD SAW

SOAL:
Ketika memasuki bulan Robi'ul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Saw dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaa sholawat, barzanji dan pengajian-pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi Saw menghiasi hari-hari bulan itu. Sebenarnya, bagaimana hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw?

JAWAB:
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) telah menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi Saw boleh dilakukan. Hal ini sebagaimana yang telah dituturkan oleh Beliau dalam kitabnya al-Hawi Lil Fatawi berikut ini:

فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعِ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ؟ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا؟ قَالَ: الْجَوَابُ عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذٰلِكَ، هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ. (اَلْحَاوِيْ لِلْفَتَاوِيْ، ج ١، صح: ٢٥١ - ٢٥٢)
Artinya:
Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi Saw pada  bulan Robi'ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara'? Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: "Jawabannya menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi Saw yaitu orang-orang berkumpul, membaca Al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi Saw sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi Saw, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw." (Kitab al-Hawi Lil Fatawi juz 1 halaman 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi Saw itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad Saw ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi Saw untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Alloh SWT:

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا. (يونس: ٥٨)
Artinya:
"Katakanlah (Muhammad), sebab fadhol dan rohmat Alloh (kepada kalian), maka bergembiralah kalian." (QS. Yunus: 58)

Ayat ini jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rohmat Alloh SWT. Sementara Nabi Muhammad Saw adalah rohmat atau anugerah Tuhan[1] kepada manusia yang tiada taranya. Sebagaimana firman Alloh SWT:

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ. (الأنبياء: ١٠٧)
Artinya:
"Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rohmat bagi seluruh alam." (QS. al-Anbiya': 107)

Sesungguhnya perayaan Maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rosululloh Saw. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ: فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ (صحيح مسلم، رقم ١٩٧٧)
Artinya:
Diriwayatkan dari Abu Qotadah Ra, bahwa Rosululloh Saw pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka Beliau menjawab: "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku." (Shohih Muslim no.1977)

Betapa Rosululloh Saw begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Alloh SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu Beliau ungkapkan dalam bentuk puasa.[2]

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahitan (maulid) Nabi Muhammad Saw termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan sholawat, baik Barzanji maupun Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh syari'at Islam. Sayyid Muhammad 'Alawi al-Maliki mengatakan:

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْاِجْتِمَاعَ لِأَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ أَمْرٌ عَادِيٌّ وَلٰكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخِيَرَةِ الصَّالِحَاتِ الَّتِيْ تَشْتَمِلُ عَلٰى مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَى النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِأَنَّهَا مَطْلُوْبَطٌ شَرْعًا بِأَفْرَادِهَا ... وَأَنَّ هٰذِهِ الْاِجْتِمَاعَاتِ هِيَ وَسِيْلَةٌ كُبْرٰى لِلدَّعْوَةِ إِلَى اللّٰهِ وَهِيَ فُرْصَةٌ ذَهَبِيَّةٌ يَنْبَغِيْ أَنْ لَا تَفُوْتَ بَلْ يَجِبُ عَلَى الدُّعَاةِ الْعُلَمَاءِ أَنْ يُذَكِّرُوْا الْأُمَّةَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَخْلَاقِهِ وَآدَابِهِ وَأَحْوَالِهِ وَسِيْرَتِهِ وَمُعَامَلَتِهِ وَعِبَادَاتِهِ وَأَنْ يَنْصَحُوْهُمْ وَيُرْشِدُوْهُمْ إِلَى الْخَيْرِ وَالْفَلَاحِ وَيُحَذِّرُهُمْ مِنَ الْبَلَاءِ وَالْبِدَعِ وَالشَّرِّ وَالْفِتَنِ. (مفاهيم يجب أن تصحح، ص ٢٢٤-٢٢٦)
Artinya:
Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan maulid Nabu Saw merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian-bagiannya) ............. Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik utuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh terlewatkan. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama' untuk mengingatkan umat kepada akhlak, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad Saw. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberi petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memepringatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah. (Mafahim Yajib an Tushohhah, ha. 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibnu Taimiyyah:

يَقُوْلُ بْنُ تَيْمِيَّةَ قَدْ يُثَابُ بَعْضُ النَّاسِ عَلٰى فِعْلِ الْمَوْلِدِ وَكَذٰلِكَ مَا يُحْدِثُهُ بَعْضُ النَّاسِ إِمَّا مُضَاهَاةً لِلنَّصَارٰى فِيْ مِيْلَادِ عِيْسٰى عَلَيْهِ السَّلَامُ وَإِمَّا مَحَبَّةً لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعْظِيْمًا لَهُ وَاللّٰهُ قَدْ يُثِيْبُهُمْ عَلٰى هٰذِهِ الْمَحَبَّةِ وَالْاِجْتِهَادِ لَا عَلَى الْبِدَعِ. (منهج السلف في فهم النصوص بين الظرية والتطبيق، ٣٩٩)

Artinya:
Ibnu Taimiyyah berkata: "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid  Nabi Saw akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Nabi Isa As, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw. Alloh SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan." (Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush bainan Nadhoriyyah wat Tathbiq, hal. 399 )

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi Saw sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca sholawat, mengkaji sejarah Nabi Saw, sedekah dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

CATATAN KAKI:
[1] Penafsiran seperti ini dilakukan oleh Ibnu Abbas Ra. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan فَضْلُ اللهِ itu adalah ilmu. Sedangkan رَحْمَةُ اللهِ sendiri adalah Nabi Muhammad Saw.

[2] Puasa memang sudah sejak dulu dijadikan simbol rasa syukur kepada Alloh SWT. Diceritakan dalam sebuah Hadis ketika Rosululloh Saw dan para sahabat tiba di Madinah, Beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa 'Asyuro (10 Muharram). Rosul bertanya mengapa mereka melakukan puasa tersebut. Orang Yahudi itu menjawab: "Pada hari inilah Alloh menenggelamkan Fir'aun dan menyelamatkan Musa AS. Kami sangat menyukurinya. Oleh karena itu kami berpuasa." Mendengar jawaban itu, Nabi Saw bersabda: "Kami lebih berhak untuk (memuliakan) Musa As (denga berpuasa) daripada kalian." Dengan begitu, Nabi Saw menganjurkan umat Islam berpuasa 'Asyuro sebagai bentuk syukur tersebut. Demikian halnya puasa hari Senin sangat dianjurkan sebagai rasa syukur atas kelahiran Beliau. 

Wallohu A'lam

No comments:

Post a Comment

Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.