Sunday, December 6, 2015

DAUR ULANG AIR MUTANAJJIS


 DESKRIPSI MASALAH:
Air merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan umat manusia. Sedangkan pasokan sumber air bersih yang layak dikonsomsi sering kali kurang mencukupi kebutuhan, terutama pada musim kering. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut ada upaya mendaur ulang air mutanajjis (yang terkena najis), untuk menjadi air bersih yang layak dikonsumsi dengan upaya rekayasa manusia, dengan proses kimiawi. Artinya atas rekayasa manusia secara kimiawi air mutanajjis berubah menjadi air bersih dengan menghilangkan ciri-ciri mutanajjis sebelumnya, yang mencakup warna, bau dan rasa.

 PERTANYAAN:
Apakah air mutanajjis yang telah berubah menjadi air bersih secara kimiawi dapat dihukumi thahir muthahhir?

 JAWABAN:
Air mutanajjis yang telah berubah menjadi air bersih secara kimiawi (yang hilang perubahan warna, bau dan rasanya) tersebut dapat dihukumi thahir muthahhir apabila volume hasil air yang diproses itu mencapai batas minimal dua qullah.

 RUJUKAN:

. Hadis

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ ﷺ وَهُوَ يُسْأَلُ عَنِ الْمَاءِ يَكُوْنُ فِي الْفَلَاةِ مِنَ الْأَرْضِ وَمَا يَنُوْبُهُ مِنَ السِّبَاعِ وَالدَّوَابِّ قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ﷺ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمَلِ الْخَبَثَ قَالَ عَبْدَةُ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْقُلَّةُ هِيَ الْجِرَارُ وَالْقُلَّةُ الَّتِيْ يُسْتَقَى فِيْهَا قَالَ اَبُوْ عِيْسَى وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَاَحْمَدَ وَاِسْحَاقَ قَالُوْا اِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْئٌ مَالَمْ يَتَغَيَّرْ رِيْحُهُ اَوْ طَعْمُهُ وَقَالُوْا يَكُوْنُ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ(
Artinya:
Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw ditanya tentang air yang ada di tanah tandus dan air yang berulang kali didatangi binatang buas dan binatang ternak. Kata Ibn Umar ra Rasulullah saw menjawab: “Bila air sebanyak dua qullah [Dua qullah yaitu ±190 liter atau 58 
cm3], maka tidak membawa najis”. Berkata ‘Abdah: Muhammad bin Ishaq berkata: satu qullah sama dengan satu tempayan dan ukuran yang diambil untuk air minum. Berkata Abu Isa (Tirmidzi): itu pendapat al-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat : bila air mencapai dua qullah, maka ia tidak menjadi najis oleh apapun selama bau atau rasanya tidak berubah. Mereka juga menyatakan: Satu qullah itu sekira-kira lima girbah air. (HR Tirmidzi).


عَنْ اَبِيْ اُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ﷺ اِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْئٌ اِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ(

Artinya:
Dari abu Umamah al-Bahiliy ra ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya air tidak bisa ternajisi oleh apapun, kecuali yang mempengaruhi bau, rasa dan warnanya”. (HR Ibn Majah). 

 Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab Juz 1 halaman 190-191:

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى إِذَا أَرَادَ تَطْهِيْرَ الْمَاءِ النَّجَسِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ نَجَاسَتُهُ بِالتَّغَيُّرِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ طَهُرَ بِأَنْ يَزُوْلَ التَّغَيُّرُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِأَنْ يُضَافَ إِلَيْهِ مَاءٌ آخَرُ أَوْ بِأَنْ يُؤْخَذَ بَعْضُهُ لِأَنَّ النَّجَاسَةَ بِالتَّغَيُّرِ وَقَدْ زَالَ.
)الشَّرْحُ) إِذَا زَالَ تَغَيُّرُ الْمَاءِ النَّجَسِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ نُظِرَ إِنْ زَالَ بِإِضَافَةِ مَاءٍ آخَرَ إِلَيْهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ سَوَاءٌ كَانَ طَاهِرًا أَوْ نَجَسًا قَلِيْلًا أَوْ كَثِيْرًا وَسَوَاءٌ صُبَّ الْمَاءُ عَلَيْهِ أَوْ نَبَعَ عَلَيْهِ. وَإِنْ زَالَ بِنَفْسِهِ أَيْ بِأَنْ لَمْ يَحْدُثْ فِيْهِ شَيْئًا بَلْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِطُلُوْعِ الشَّمْسِ أَوِ الرِّيْحِ أَوْ مُرُوْرُ الزَّمَانِ طَهُرَ أَيْضًا عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ وَحَكَى الْمُتَوَلِّيْ عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْأُصْطُخْرِي أَنَّهُ لَا يَطْهُرُ لِأَنَّهُ شَيْءٌ نَجَسٌ فَلَا يَطْهُرُ بِنَفْسِهِ وَهَذَا لَيْسَ بِشَيْءٍ لِأَنَّ سَبَبَ النَّجَاسَةِ التَّغَيُّرُ فَإِذَا زَالَ طَهُرَ لِقَوْلِهِ ﷺ إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَنْجُسْ وَإِنْ زَالَ بِأَخْذِ بَعْضِهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ بِشَرْطِ أَنْ يَكُوْنَ الْبَاقِيْ بَعْدَ الْأَخْذِ قُلَّتَيْنِ. فَإِنْ بَقِيَ دُوْنَهُمَا لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ. وَيُتَصَوَّرُ زَوَالُ تَغَيُّرِهِ بِأَخْذِ بَعْضِهِ بِأَنْ يَكُوْنَ كَثِيْرًا لَا يَدْخُلُهُ الرِّيْحُ فَإِذَا نَقَصَ دَخَلَتْهُ وَقَصَرَتْهُ وَكَذٰلِكَ الشَّمْسُ فَيَطِيْبُ ثُمَّ إِذَا زَالَ التَّغَيُّرُ وَحَكَمْنَا بِطَهَارَتِهِ ثُمَّ تَغَيَّرَ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى طَهَارَتِهِ وَلَا أَثَرَ لِتَغَيُّرِهِ لِأَنَّهُ مَاءٌ طَاهِرٌ تَغَيَّرَ بِغَيْرِ نَجَاسَةٍ لَاقَتْهُ فَكَانَ طَاهِرًا كَالَّذِيْ لَمْ يَنْجُسْ قَطُّ ذَكَرَهُ صَاحِبُ الْحَاوِي وَهُوَ ظَاهِرٌ لَاخَفَاءَ بِهِ وَاللهُ أَعْلَمُ.قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالٰى وَإِنْ طُرِحَ فِيْهِ تُرَابٌ أَوْ جِصٌّ فَزَالَ التَّغَيُّرُ فَفِيْهِ قَوْلَانِ قَالَ فِي الْأُمِّ لَا يَطْهُرُ كَمَا لَا يَطْهُرُ إِذَا طُرِحَ فِيْهِ كَافُوْرٌ أَوْ مِسْكٌ فَزَالَتْ رَائِحَةُ النَّجَاسَةِ وَقَالَ فِيْ حَرْمَلَةَ يَطْهُرُ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ التَّغَيُّرَ قَدْ زَالَ فَصَارَ كَمَا لَوْ زَالَ بِنَفِسِهِ أَوْ بِمَاءٍ آخَرَ وَيُفَارِقُ الْكَافُوْرَ وَالْمِسْكَ لِأَنَّ هُنَاكَ يَجُوْزُ أَنْ تَكُوْنَ الرَّائِحَةُ بَاقِيَةً وَإِنَّمَا لَمْ تَطْهُرْ لِغَلَبَةِ رَائِحَةِ الْكَافُوْرِ وَالْمِسْكِ.
)اَلشَّرْحُ) هٰذَانِ الْقَوْلَانِ مَشْهُوْرَانِ وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ أَنَّ أَحَدَهُمَا فِي الْأُمِّ وَالْآخَرَ فِي حَرْمَلَةَ وَكَذَا قَالَهُ الْمَحَامِلِيُّ فِي الْمَجْمُوْعِ وَقَالَ الْقَاضِيْ أَبُوْ الطَّيِّبِ الْقَوْلَانِ نَقَلَهُمَا حَرْمَلَةُ وَنَقَلَهُمَا الْمُزَنِيُّ فِي الْجَامِعِ الْكَبِيْرِ وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْمَاوَرْدِيُّ هٰذَانِ الْقَوْلَانِ نَقَلَهُمَا الْمُزَنِيُّ فِي جَامِعِهِ الْكَبِيْرِ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَقَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ نَصَّ عَلَيْهِمَا فِي رِوَايَةِ حَرْمَلَةَ وَقَالَ الْمَحاَمِلِي فِي التَّجْرِيْدِ قَالَ الشَّافِعِي فِي عَامَّةِ كُتُبِهِ يَطْهُرُ وَقَالَ فِي حَرْمَلَةَ لَا يَطْهُرُ كَذَا قَالَ فِي التَّجْرِيْدِ عَنْ حَرْمَلَةَ لَا يَطْهُرُ وَهُوَ خِلَافُ مَا نَقَلَ هُوَ فِي الْمَجْمُوْعِ وَصَاحِبُ الْمُهَذَّبِ وَالْجُمْهُوْرُ عَنْ حَرْمَلَةَ أَنَّهُ يَطْهُرُ وَلٰكِنْ ذَكَرْنَا عَنِ الْقَاضِي أَبِي الطَّيِّبِ وَصَاحِبِ الشَّامِلِ أَنَّهُمَا نَقَلَا عَنْ حَرْمَلَةَ نَقْلَ الْقَوْلَيْنِ فَصَحَّ نَقْلُهُ فِي التَّجْرِيْدِ عَنْ حَرْمَلَةَ وَنَقْلُ الْأَصْحَابِ ثُمَّ اخْتَلَفَ الْمُصَنِّفُوْنَ فِي الْأَصَحِّ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَصَحَّحَ الْمُصَنِّفُ هُنَا وَفِي التَّنْبِيْهِ وَشَيْخُهُ الْقَاضِي أَبُوْ الطَّيِّبِ وَأَبُوْ الْعَبَّاسِ الْجُرْجَانِيُّ وَالشَّاشِيُّ وَغَيْرُهُمْ الطَّهَارَةُ وَهُوَ اخْتِيَارٌ

Artinya:
Penulis (Abu Ishaq al-Syirazi) berkata: “Bila ingin mensucikan air yang terkena najis, hendaknya diperhatikan terlebih dahulu; bila najisnya disebabkan perubahan pada air tersebut sedangkan volumenya lebih dari dua qullah maka air tesebut bisa suci bila: (i) perubahannya hilang dengan sendirinya, atau (ii) dengan cara ditambahi air baru, atau (iii) dengan dibuang sebagiannya. Karena kenajisannya disebabkan perubahan dan perubahan tersebut telah hilang.

(Penjelasan) Bila perubahan air najis telah hilang dan airnya lebih dari dua qullah maka dipertimbangkan dahulu;(i) Bila hilangnya perubahan disebabkan penambahan air baru, maka tanpa khilaf, air tersebut menjadi suci, baik air baru tersebut suci atau najis, sedikit atau banyak, dituangkan atau bersumber dari tempatnya. (ii) Bila perubahannya hilang sendiri, yakni tidak dilakukan rekayasa apapun padanya, yaitu perubahannya hilang karena terkena sinar matahari, angin, atau lewatnya waktu, maka menurut al-madzhab air tersebut suci, dan demikian pula menurut mayoritas ulama’. Al-Mutawalli meriwayatkan pendapat Abu Sa’id al-Ushtukhri yang menyatakan, bahwa air tersebut tidak menjadi suci. Sebab ia sudah menjadi najis sehingga tidak bisa suci dengan sendirinya. Namun pendapat ini tidak berarti apa-apa (tidak menjadi masalah), mengingat sebab kenajisannya adalah perubahan. Bila perubahan itu hilang maka air tersebut menjadi suci kembali berdasarkan sabda Nabi Saw.: “Bila air telah menjadi dua qullah maka ia tidak najis”. (iii) Bila perubahan kondisi air hilang karena dibuang sebagian, maka tanpa terdapat khilaf, air itu menjadi suci, namun dengan syarat volume sisa air setelah pembuangan sebagiannya masih mencapai dua qullah. Bila yang tersisa kurang dari dua qullah, maka tanpa terdapat khilaf, air tersebut tidak kembali suci. Hilangnya perubahan kondisi air dengan membuang sebagiannya, bisa digambarkan, sekira airnya banyak dan tidak terkena angin, kemudian saat airnya berkurang, angin bisa masuk dan menguranginya. Begitu pula bila terkena matahari, sehingga air tadi bisa menjadi bagus.

Kemudian bila perubahan kondisi air tadi sudah hilang dan telah kita hukumi suci, lalu air tersebut berubah lagi, maka ia tetap suci, dan perubahan (kedua) tidak mempengaruhi kesuciannya. Sebab air tersebut adalah air suci yang berubah bukan karena najis yang mengenainya. Maka air tersebut tetap suci seperti halnya air yang belum pernah terkena najis sama sekali. Demikian penuturan penulis kitab al-Hawi (al-Mawardi). Keterangan ini cukup jelas dan tidak samar lagi. Wallohu a’lam.

Penulis berkata: “Bila air itu dimasuki debu atau kapur (gamping: Jawa) sehingga perubahannya hilang, maka dalam hal ini ada dua qoul (pendapat). Dalam kitab al-Umm Imam Syafi’i berkata: “Air itu tidak bisa menjadi suci. Sebagaimana tidak bisa menjadi suci pula bila air itu diberi kapur barus atau misk kemudian bau najisnya hilang.” Namun dalam Harmalah ia mengatakan: “Air itu bisa menjadi suci”. Dan ini merupakan pendapat al-Ashoh, sebab perubahannya sudah hilang. Seperti halnya bila perubahannya hilang sendiri atau karena ditambah air baru. (Debu atau kapur /gamping) ini berbeda dengan kapur barus dan misk, sebab bisa jadi perubahan baunya masih ada. Air yang ditambahi kapur barus dan misk tidak menjadi suci dikarenakan dominasi bau kapur barus dan misk mengalahkan perubahan baunya tadi.”

Penjelasan : Kedua qoul ini masyhur. Penulis menyebutkan, bahwa salah satunya terdapat dalam kitab al-Umm, sedangkan yang satunya lagi dalam riwayat Harmalah. Demikian dikatakan pula oleh al-Mahamili dalam al-Maju’. Al-Qadhi Abu Thayyib berkata: “Kedua qoul ini dikutip oleh Harmalah dan juga oleh al-Muzani dalam al-Jami’ al-Kabir”. Syekh Abu Hamid dan Al-Mawardi berkata: “Kedua qoul ini dikutip oleh al-Muzani dalam kitabnya, al-Jami al-Kabir, dari al-Syafi’i.” Penulis kitab al-Syamil mengatakan: “Al-Syafi’i mengatakan dengan jelas (nash) kedua qoul ini dalam riwayat Harmalah.” Dalam al-Tajrid al-Mahmili brkata: “Dalam mayoritas kitabnya, al-Syafi’i berkata: “Air itu menjadi suci.” Sementara dalam riwayat Harmalah ia berkata: “Air itu tidak menjadi suci”. Begitu pula kutipan al-Mahamili dalam al-Tajrid dari Harmalah, “Air itu tidak menjadi suci.” Maka kutipannya ini berbeda dengan kutipannya (sendiri) dalam al-Majmu’, kutipan penulis al-Muhadzdzab dan kutipan mayoritas ulama dari Harmalah yang menyatakan, bahwa air tersebut menjadi suci. Namun (tadi) telah kami sebutkan raiwayat dari al-Qadhi Abu Thayyib dan penulis al-Syamil, bahwa mereka berdua mengutip dari Harmalah, bahwa ia mengutip dua qoul dari al-Syafi’i. Maka kutipannya dalam kitab al-Tajrid dari Harmalah tadi benar dan (benar pula) kutipan para ashhab. Kemudian para penulis kitab fiqh berbeda pendapat tentang manakah yang lebih shohih dari dua qoul tersebut? Penulis dalam kitab al-Muhadzdzab ini, dan dalam al-Tanbih, begitu pula gurunya, al-Qadhi Abu Thayyib, Abul Abbas, al-Jurjani, al-Syasyi, dan yang lain, membenarkan riwayat yang menyatakan bahwa air tersebut menjadi suci. Itu adalah pendapat pilihan.

 Hasyiyah al-Qolyubi wa ‘Umairah Juz I halaman 21-22:

)وَلَا تَنْجُسُ قُلَّتَا الْمَاءِ بِمُلَاقَاةِ نَجَسٍ) لِحَدِيثِ «إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ» صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُ. وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ «فَإِنَّهُ لَا يَنْجُسُ» وَهُوَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: «لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ» أَيْ يَدْفَعُ النَّجَسَ وَلَا يَقْبَلُهُ. (فَإِنْ غَيَّرَهُ) أَيْ الْمَاءُ الْقُلَّتَيْنِ (فَنَجَسٌ) لِحَدِيثِ ابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ «الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ» (فَإِنْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِنَفْسِهِ) أَيْ مِنْ غَيْرِ انْضِمَامِ شَيْءٍ إلَيْهِ كَأَنْ زَالَ بِطُولِ الْمُكْثِ (أَوْ بِمَاءٍ) انْضَمَّ إلَيْهِ (طَهُرَ) كَمَا كَانَ الزَّوَالُ سَبَبَ النَّجَاسَةِ (أَوْ بِمِسْكٍ وَزَعْفَرَانٍ) وَخَلٍّ أَيْ لَمْ تُوجَدْ رَائِحَةُ النَّجَاسَةِ بِالْمِسْكِ، وَلَا لَوْنُهَا بِالزَّعْفَرَانِ، وَلَا طَعْمُهَا بِالْخَلِّ. (فَلَا) يَطْهُرُ لِلشَّكِّ فِي أَنَّ التَّغَيُّرَ زَالَ أَوْ اسْتَتَرَ بَلْ الظَّاهِرُ الِاسْتِتَارُ.
قَوْلُهُ: (أَيْ لَمْ تُوجَدْ إلَخْ) يُفِيدُ أَنَّ أَحَدَ الْأَوْصَافِ لَا يَسْتُرُ غَيْرَهُ، فَلَوْ زَالَ الرِّيحُ بِالْخَلِّ أَوْ الزَّعْفَرَانِ طَهُرَ وَكَذَا الْبَقِيَّةُ، وَأَنَّهُ لَا يُفْرَضُ فِي التَّقْدِيرِيِّ إلَّا مَا يُوَافِقُ صِفَةَ الْوَاقِعِ فَقَطْ، وَفَارَقَ الطَّاهِرَ بِغِلَظِ أَمْرِ النَّجَاسَةِ، كَذَا قِيلَ، وَفِيهِ تَأَمُّلٌ دَقِيقٌ. قَوْلُهُ: (لِلشَّكِّ إلَخْ) قَالَ شَيْخُنَا: مَحَلُّ الشَّكِّ إنْ ظَهَرَ رِيحُ الْمِسْكِ مَثَلًا وَإِلَّا بِأَنْ خَفِيَ رِيحُهُ وَرِيحُ النَّجَاسَةِ مَعًا فَإِنَّهُ يَطْهُرُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
Artinya:
(Air dua qullah tidak menjadi najis karena terkena najis), berdasarkan hadis: “Jika air mencapai dua qullah, maka ia tidak membawa najis.” Hadis ini dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan yang lain. Dalam riwayat Abu Daud dan riwayat yang lainnya, dengan sanad shohih: “Sesungguhnya air dua qullah itu tidak menjadi najis.” Itulah maksud sabda Nabi Saw. “Tidak membawa najis.” Yakni menolak dan tidak menerimanya. (Jika najis tersebut membuatnya berubah) yakni membuat berubah air dua qullah itu (maka ia menjadi najis), berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah dan selainnya: “Air tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali yang dapat mempengaruhi bau, rasa dan warnanya.” (Jika perubahan itu hilang dengan sendirinya) yakni bukan karena tercampur dengan sesuatu, semisal perubahannya hilang karena diam terlalu lama. (atau karena air lain) yang digabungkan, (maka ia menjadi suci). Sebagaimana yang hilang adalah sebab najisnya, (atau karena misk dan za’faron), dan cuka, yakni bau najis hilang lantaran misk, warna najis hilang karena za’faron dan rasa najis hilang karena cuka, (maka air itu tidak) menjadi suci. Sebab masih diragukan, apakah perubahan air itu hilang atau tertutupi? Bahkan yang zhahir adalah tertutupi.

Ungkapan al-Mahalli: “(yakni bau najis hilang ...)” Memberi pengertian, bahwa salah satu sifat tidak bisa menutupi yang lainnya. Oleh sebab itu, bila bau najis hilang dengan sebab cuka atau za’faron, maka air tersebut suci [mungkin yang tepat adalah tidak suci. Sehingga redaksinya bukan طَهُرَ tetapi لَمْ يَطْهُرْ ]. Begitu pula yang lainnya. Ungkapannya tadi juga memberi pengertian bahwa dalam najis taqdiri hanya diandaikan perkara yang sesuai dengan sifat yang ada. Air najis berbeda dengan air yang suci dengan beratnya perkara najis. Demikian dikatakan, dan di situ ada pembahasan mendalam. Ungkapan al-Mahalli: “(sebab masih diragukan ...)” Guruku berpendapat: “Keraguan itu terjadi bila misalnya bau misk tercium. Bila tidak, sekira baunya dan bau najis sama-sama samar, maka air tersebut suci menurut pendapat yang mu’tamad.

✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧
Sumber: Buku “Kumpulan Muktamar Nu (1926-2010)” penerbit Khalista Surabaya halaman 644-650

No comments:

Post a Comment

Yuk kita saling berkomentar dengan baik dan sopan untuk menumbuhkan ukhuwah dan silaturahmi sesama sahabat blogger. Terima Kasih.